Tembok Pemisah di Stasiun Senen

Warung-warung di Stasiun Senen kini sudah bertembok
Ada pemandangan baru yang cukup asing buat saya di Stasiun Senen. Jejeran warung-warung di sisi barat stasiun diberi tembok pembatas. Pintu masuk hanya disediakan di sisi utara saja. Sementara itu beberapa warung memasang bel di tembok. Mungkin untuk memudahkan jika ada konsumen yang berminat dengan barang-barang yang dijajakan.

Beberapa pemilik warung menyediakan bel di tembok luar
Tembok pembatas itu merupakan salah satu bagian dari upaya penertiban kawasan stasiun. Mungkin PT KAI berpikir tembok tersebut dapat menciptakan pemandangan yang lebih indah. Konyol sekali.

Kini penumpang yang hendak mengisi perut atau sekedar leyeh-leyeh bersama segelas kopi sembari menunggu kereta datang akan sedikit kesulitan. Akses yang biasanya terbuka untuk menuju ke warung-warung itu kini sudah ditutup. Tampaknya negara ini memang hobi untuk mempersulit sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah.

Sementara itu gerai Indomaret dan Dunkin Donuts menempel pada bangunan stasiun. Mereka bisa bernapas tenang tanpa harus tertutupi tembok pembatas nan tinggi. Calon penumpang digiring “paksa” untuk menghabiskan uang mereka di dalam kios-kios bermodal besar tersebut. Warung-warung kecil terpaksa gigit jari.

Harga menu warung Padang yang diletakkan di  tembok luar
Tapi ada hal besar yang tercabut dari penembokan warung-warung di Stasiun Senen tersebut. Ruang interaksi sosial dibekukan entah atas nama apa. Digantikan dengan satu tatanan yang rapi tapi kaku. Terlihat tertata namun melenyapkan dengan paksa sisi humanisme di dalamnya. Terkesan memanusiakan manusia padahal merancang sebuah sistem untuk para robot.

Bentuk protes para pemilik warung di Stasiun Senen
Mengutip pernyataan seorang teman, “Stasiun kini dingin dan tidak bersahabat lagi”. Saya mengamini pernyataannya. Meskipun bukan orang yang rajin wara-wiri dengan kereta namun saya menyukai moda transportasi ini. Sisi romantis selama berkereta menurut saya masih belum mampu ditandingi oleh moda transportasi lainnya. Terutama jika itu kereta ekonomi atau bisnis. Para penumpang biasanya menjelma menjadi makhluk sosial yang sebenar-benarnya. Interaksi dapat terbangun dari dua orang atau lebih yang tak saling kenal. Belum lagi suara-suara yang dihasilkan oleh kereta selama perjalanan. Meskipun tidak memberikan kenyamanan penuh namun perjalanan dengan kereta ini terasa seperti candu.

Lantas kini satu per satu elemen yang menghangatkan atmosfer stasiun dan kereta dihapus satu per satu. Awalnya para pengantar tidak lagi diperbolehkan masuk ke dalam peron. Musnahlah sudah tradisi mengantar hingga ke gerbong. Terasa ada yang kurang dari cita rasa “Indonesia” di stasiun. Stasiun menjadi steril.

Kemudian cobalah tengok, pedagang-pedagang kecil lambat laun menghilang dari pemandangan di stasiun. Lebih khusus lagi ekonomi akar rumput dihilangkan dengan paksa dari sistem yang telah ada. Yang berhak menduduki stasiun adalah pemain-pemain berkantong tebal. Mungkin mereka dianggap lebih mampu menata barang dagangannya dengan cara yang lebih elegan.

Tembok yang membatasi warung-warung dengan area "steril" Stasiun Senen
Oh rasanya saya seperti meracau saja. Iya. Karena saya pun tak mampu berbuat apa-apa. Saya dan sebagian besar orang mungkin masih berada di pihak yang membutuhkan kereta api. Eh, atau pindah ke moda transportasi yang lain saja. Mencari sisi romantis bersama bis sepertinya harus ditingkatkan intensitasnya :)

Comments

Popular Posts