Biennale XII Jogja Di Mataku
Sebenarnya agak malas kalau harus mengulang berkunjung ke Biennale XII Jogja. Pasalnya pada saat pembukaan saya menyaksikan karya-karya yang dipamerkan di Jogja National Museum. Oh, dari banyak karya seniman sohor tersebut hanya satu yang saya sedikit pahami. Itu juga masih meraba-raba dan tak pasti. Namun, karena penasaran dengan komentar seorang teman tentang sebuah pertanian dengan memanfaatkan medium batang pisang maka saya pun bersepeda ke Taman Budaya Yogyakarta sore ini.
Karya yang dipamerkan di sini tak sebanyak yang bisa dilihat di Jogja National Museum. Sedikit sekali. Mungkin karena biennale kali ini menggunakan banyak lokasi.
Saya pun berjumpa dengan instalasi batang pisang lengkap dengan tanaman-tanaman yang menyembul dari tubuhnya. Aneka rupa tanaman. Yang saya kenali hanya kangkung. Sayangnya saya tak melihat judul dan nama seniman penciptanya. Sudah malas duluan karena pasti di sana tak ada informasi mengenai karya.
Kebetulan ada seorang petugas yang sedang menyemprot tanaman pada media batang pisang. Menurut dia instalasi "rumit" ini menggambarkan kehidupan. Ah, entahlah saya tetap tak bisa mengerti. Dia pun tak begitu paham. Yang paling dia mengerti hanya karya Ugo Untoro berjudul Deru. Kaki-kaki kuda yang ditaruh di langit-langit seolah-olah menyingkirkan bunyi desing pesawat yang memekakkan telinga. Seperti sebuah simbol untuk mengkritik polusi suara. Saya hanya bisa berujar, "Oooooo, gitu tha."
Masih terngiang-ngiang karya-karya rumit yang saya saksikan sore tadi, malam ini saya mencoba menelusuri lewat bantuan Mbah Google. Dan bertemulah saya dengan berita yang mengangkat karya Ugo Untoro. Ternyata interpretasi Mbak penyemprot tanaman tadi meleset jauh. Kalau tak percaya, coba baca "Akhir Kisah Tragis Kuda dalam Karya Berjudul Deru".
Rasanya saya tertipu. Tapi bukankah itu tak sepenuhnya kesalahan Mbak penyemprot tanaman? Malah dia tak bersalah sama sekali. Para seniman itulah yang bersalah. Lho, kok saya menghakimi tanpa proses pengadilan begini? Oh iya, maafkan saya karena terlalu jauh bertindak.
Lalu saya mulai berkeluh kesah seperti berikut:
Kenapa si yang berprofesi sebagai seniman ini sukanya "menyiksa" pengunjung? Kenapa tak buat kami mengerti dengan mudah karya-karya agung kalian? Bukankah kalian sudah memutuskan untuk mempublikasikan karya kepada khalayak ramai? Berarti target yang menikmati karya kalian tidak hanya sebatas kolektor atau orang-orang yang mengerti seni kan? Lalu kenapa tak mau berbaik hati menuliskan pikiran kalian terkait karya dalam satu atau dua paragraf?
Menonton video berisi foto-foto di balik pembuatan karya membuat seorang teman berpendapat bahwa usaha bin upaya para seniman ini tak berbanding lurus dengan pemahaman pengunjung. Maaf jika saya melakukan penyamarataan. Yang datang ke biennale saya yakini tidak seratus persen mengerti seni. Saya berani jamin.
Eh, atau jangan-jangan hanya saya dan beberapa teman saja yang memiliki kemampuan mencerna karya seni yang rendah. Sementara 99 % pengunjung merupakan pengunjung cerdas nan kritis. Kalau begitu, hancurlah awak. Salah sendiri kenapa tak pintar :(
Deru, Ugo Untoro |
Kaki kuda asli dalam "Deru", Ugo Untoro |
Bertani di batang pisang |
Bertani di batang pisang |
Comments