Legitnya Tempoyak Ikan Toman di Warung Pa' Udo Jambi


Tempoyak Ikan Toman
"Makanan khas Jambi itu apa Nu?" ujar seorang teman ketika berada di Jogja. Saya pun tak bisa langsung menjawab cepat. Harus berpikir dulu. Di kepala hanya tertinggal kata "tempoyak" yang biasanya diolah bersama ikan patin. Lalu selain tempoyak*, apa lagi ya?

Begitulah kebuntuan dalam jawaban saya ketika ditanya perihal kuliner khas Jambi. Lahir dan dibesarkan di negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah tak menjadikan saya mengenal masakan otentik daerah ini. Maka bagi saya ini sama saja dengan bencana.

Sedari kecil saya hanya mengenal makanan tempoyak ikan patin. Itupun tak pernah saya cicip karena sedikit tak tahan dengan aromanya. Hingga di sebuah kesempatan pada 2009 saya mencicipi tempoyak ikan juaro di Muarajambi. Masakan tersebut diracik oleh seorang Nyai** dari teman saya. Itulah kali pertama saya jatuh cinta pada masakan tempoyak dan tak hendak menghindarinya lagi.

Tak mau berlarut-larut dalam kebutaan mengenai kuliner khas Jambi, maka saya pun mengajak seorang teman, Eglek, untuk melakukan petualangan rasa.

Pilihan saya jatuh pada rumah makan Pa' Udo -yang sepertinya baru beroperasi- yang muncul dalam advetorial Tribun Jambi [3/1]. Saat saya mengutarakan niat tersebut, Eglek tampak tak yakin. Ia justru menceritakan rumah makan khas Jambi yang lain yaitu rumah makan Salma. Menurutnya Salma lebih terkenal dan menjadi rujukan orang-orang yang ingin mencicipi rasa khas Jambi. Tapi saat ini saya kan sedang bertualang. Jadi tak ada salahnya menguji rasa di Pa' Udo.

Pa' Udo menempati sebuah rumah besar persis di tepi jalan. Halamannya sangat luas. Tapi kami sempat bingung karena tak menemukan tanda-tanda sebuah rumah makan. Hanya ada banyak mobil yang sedang parkir. Ternyata bagian rumah yang dijadikan tempat makan ada di bagian belakang. Karena ketidaktahuan maka kami lewat pintu samping.

Hanya ada dua orang yang kemungkinan besar baru selesai menyantap makanan. Selebihnya ada sekitar tiga orang pegawai rumah makan. Kok sepi sekali di waktu-waktu yang tak jauh dari jadwal makan siang ini? Mungkinkah ini sebuah pertanda?

Interior RM Pa' Udo. Sedikit aneh untuk restoran yang mengusung kuliner lokal
Seorang pegawai datang membawa buku menu dan daftar pesan. Saya memesan tempoyak ikan toman*** (bagian badan) dan sate ikan gabus. Raut muka Eglek sedikit aneh saat itu. Seperti tak nyaman. Apakah saya salah mengambil keputusan? Kenapa saya lagi-lagi spontan memilih masakan tempoyak? Padahal kan ingin mencicipi kuliner khas yang lain.

Buku menu RM Pa'Udo. Cobalah menu Ikan Nila Masak Kerutup -yang tak sempat saya coba-
Tak lama berselang, satu paket makanan telah tersaji di atas meja. Ada beberapa menu yang tidak saya pesan namun hadir, seperti tahu & tempe, tumis kangkung, serta sate ikan gabus yang berjumlah empat sementara saya hanya memesan satu.

Seperti sajian di rumah makan Padang ketika kita memesan satu paket
Kuah tempoyak ikan toman yang mendarat di lidah seakan menghancurkan ingatan saya tentang rasa masakan tempoyak yang pernah saya cicipi di Muarajambi. Rasa masakan tempoyak ikan toman Pa' Udo ini manis sekali meskipun diselingi dengan rasa pedas. Hanya saja rasa manis tetap mendominasi. Mana mungkin saya menyeruput kuahnya. Saya seperti menyantap gudeg dengan bekal cabe rawit. Alhasil saya hanya menamatkan ikannya saja. Sungguh awal yang kurang baik bagi sebuah petualangan rasa.

Lalu bagaimana dengan sate ikan gabus? Mungkin lebih tepat jika sebutan sate untuk menu yang satu ini diganti pepes. Karena sama sekali tak ada persinggungannya dengan kuliner sate yang jamak ditemui. Tak ada tusuk, tak ada jejak pembakaran. Yang ada hanya ikan gabus yang dihaluskan, dibungkus oleh daun pisang yang dikunci lidi, dikukus, dan disajikan. Adakah unsur sate di sana? Untuk rasanya sedikit membantu kehancuran rasa tempoyak ikan toman. Ikan gabus cukup terasa ditambah dengan rasa bumbu yang cenderung asin.

Jangan tanya soal harga. Saya hendak menangis saat membayarnya. Harga memang tercantum di buku menu. Tapi tak menyangka jika hasil akhirnya semahal ini. Bisa jadi ini penilaian yang sangat subyektif. Tapi hendaknya harus berhati-hati jika ingin makan di sini. Pilihan menu yang kita inginkan akan dilengkapi oleh menu-menu pengiring yang tak kita minta. Contohnya seperti "sate" ikan gabus. Saya hanya memesan satu, sementara yang datang empat. Jika tak bertanya saya mengira bahwa sate yang saya pesan merupakan paket berisi empat "tusuk". Begitu pula dengan tempe, tahu, dan tumis kangkung. Maka selalu bertanya ketika makan di Pa' Udo.

Bagian depan RM Pa' Udo
Kejadian buruk ini tak menyurutkan niat saya untuk mengeksplorasi kuliner khas Jambi. Saya pun sudah memasang daftar tempat-tempat yang akan dikunjungi berikutnya. Mumpung pulang kampung, saya harus melakukan hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya :)


Catatan:
*durian yang dimerfentasi
**sebutan untuk nenek
***cek di sini untuk keterangan mengenai ikan tomang

Harga:
Tempoyak ikan toman: Rp 18.000
Nasi putih: Rp 4.000
"Sate" ikan gabus: Rp 7.000
Jus alpukat: Rp 8.000
Es Teh: Rp 5.000
Kerupuk: Rp 5.000

Lokasi:
RM Pa' Udo
Jl. Yusuf Singadikane 51, Jambi [depan LPMP Jambi]


Comments

Popular Posts