|
Durian yang masih dipohon, siap untuk dipetik :) |
Durian menjadi salah satu buah favorit saya. Aromanya yang menyegat serta rasanya yang khas bikin saya mabuk kepayang.
Jika sedang musim begini, durian sangat mudah dijumpai di tepi-tepi jalan. Banyak penjual menjajakan durian dengan harga miring. Tapi tentu saja itu untung-untungan. Seorang teman sebulan yang lalu membeli durian berharga murah di depan TVRI Jogja. Aromanya memang memikat, namun setelah dicicipi rasanya hambar.
Ajakan seorang teman untuk berkunjung ke tempat pembibitan durian menarik juga. Maka berangkatlah kami dengan sepeda motor ke Kali Bawang, Kulon Progo. Jarak tempuhnya cukup lumayan dari Kota Jogja. Sekitar satu jam. Kami melewati rute Godean – Pasar Bendo (Kali Bawang). Di sana kami dijemput Mas Madun yang akan menemani seharian ini.
Dari Pasar Bendo kami menuju Dusun Kajoran, lokasi pembibitan durian. Pemandangan selama perjalanan sungguh indah. Sayangnya cuaca kurang bersahabat. Jika cerah, ada satu titik di mana kita bisa melihat Merapi dan Merbabu dengan sangat jelas. Perbukitan yang dihijaukan oleh pepohonan ini mengingatkan saya pada latar tempat komik Donal Bebek zaman SD dulu. Wah, bisa betah kalau menyepi di sini.
Sekitar 15 menit kami tiba di titik tujuan. Oleh Mas Madun, kami diajak singgah ke kediaman Pak Sugito. Dan beruntung sekali Pak Sugito ada di rumah.
|
Jelajah lokasi pembibitan durian |
Kami disambut senyum hangat Pak Sugito. Beliau menjadi pelopor pembibitan durian Menoreh Kuning dan Jambon asli Kali Bawang. Saat ini Pak Gito tengah mengembangkan varian durian Menoreh Gurih.
“Orang dulu itu kalo bertani ya tani naluri,” kata Pak Gito di sela-sela percakapan kami perihal sejarah pembibitan durian di Dusun Kajoran. Jadi, tani naluri yang disampaikan Pak Gito itu ialah bertani sesuka hati. Lempar biji cokelat, tumbuh, dan kemudian menyerahkan kepada alam untuk merawatnya. Begitu juga dengan durian. Jadi, tak ada perawatan khusus pada tanaman. Hasilnya pun jadi tak maksimal.
|
Pembibitan dari biji |
Pak Gito pun memulai kisahnya. Awalnya ia berkeliling ke dusun-dusun di Kali Bawang. Ia mencicipi satu per satu durian lokal untuk menentukan kualitas yang terbaik. Hasil perjalanan itu membuat Pak Gito melakukan upaya okulasi. Tak tanggung-tanggung, Pak Gito sudan menyelami dan merasakan asam garam dunia okulasi durian lokal ini sekitar 20 tahun. “Ya, jatuh bangun Mbak. Tapi tetap saya lakukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi,” timpal Pak Gito.
Tak lama kemudian, Pak Gito masuk ke bagian belakang rumah dan kembali dengan satu durian ukuran jumbo. “Silakan dicoba, ini durian Menoreh Kuning,” kata Pak Gito menawari kami. Begitu durian dibelah, hmmmmm... aromanya langsung menggoda. Itulah Menoreh Kuning hasil ketekunan Pak Gito selama 20 tahun belakangan ini. Usaha Pak Gito itu juga diapresiasi lewat pemberian sertifikasi untuk durian Menoreh sebagai varietas unggul nasional oleh Menteri Pertanian pada 2007.
|
Durian menoreh kuning |
Warna dagingnya kuning mentega. Jelas memikat mata. Begitu digigit, teksturnya kesat dan tak berserat. Rasanya dominan manis. Pahit hanya muncul sesekali. Dagingnya pun gampang ditumpas sampai habis hingga hanya menyisakan biji yang licin. Saya sebagai penggemar durian menyatakan bahwa durian Menoreh Kuning ini juara. Meskipun saya lebih menyukai durian dengan kombinasi manis dan pahit yang imbang, namun kelebihan-kelebihan Menoreh Kuning mampu menaklukkan indra perasa saya.
Pak Gito mengajak kami melihat tempat pembibitan miliknya. Jalanan naik turun menjadi medan yang harus kami lalui. Tapi lingkungan di sini sungguh menyegarkan mata. Sejauh mata memandang hanya hijau pepohonan yang terlihat. Ya, meskipun kondisi seperti ini hanya berlaku selama musim hujan.
|
Lokasi pembibitan |
“Air menjadi kendala utama perkebunan durian di daerah ini,” ujar Mas Madun. Kondisi dataran tinggi seperti Dusun Kajoran ini pada awalnya memang dianggap tak memungkinkan untuk dijadikan perkebunan durian. Namun, bagi Pak Gito tak ada yang tak mungkin. Kebutuhan air disiasati dengan menarik dari sungai dan menyalurkannya ke tiap petak bibit. Usaha Pak Gito pun membuahkan hasil. Di lahan miliknya ini, Pak Gito menghasilkan ribuan bibit durian dengan okulasi dan biji.
|
Proses okulasi |
“Orang-orang dulu bilang ga mungkin ada kebun durian di sini, nyatanya Pak Gito bisa membalikkan pernyataan mereka sekarang,” imbuh Mas Madun. Kegigihan Pak Gito itu pun mendapat respon dari pemerintah. Pemerintah kemudian membuat Embung (kolam penampungan air) di lokasi pembibitan pada 2012.
|
Embung bantuan pemerintah |
Di lokasi pembibitan ini Pak Gito mengembangkan teknik okulasi kaki tiga. “Kaki tiga membuat pohon durian lebih kokoh,” terang Pak Gito. Teknik yang saya ketahui di bangku SMP ini baru saya lihat bentuk nyatanya hari ini. Begitu juga dengan proses okulasi. Pak Gito juga menjelaskan perbedaan pohon durian Menoreh Kuning dengan Menoreh Jambon. Jadi mulai sekarang jika melihat pohon durian di Kali Bawang saya sudah bisa menentukan jenisnya. Namun, itu hanya kesombongan semu karena beberapa meter kemudian saya sudah tak bisa membedakan lagi. Pohon yang kian tinggi menyebabkan daun-daun tiap varian menjadi seragam di mata saya.
|
Daun durian menoreh jambon |
Terobosan lain yang diciptakan Pak Gito ialah memendekkan tinggi pohon durian. Pohon durian yang hidup liar biasanya memiliki ketinggian hingga puluhan meter. Hal itu ternyata mempersulit perawatan. Maka, Pak Gito sengaja membuat pohon durian yang tingginya sekitar 4-6 m saja agar lebih mudah dirawat. Ketinggian pohon juga akan membantu saat panen tiba. Jadi, empat atau lima tahun lagi lahan milik Pak Gito ini akan diramaikan oleh pohon durian “kate”. Bagi saya itu lebih menyenangkan karena bisa memandang leluasa buah durian yang masih menggantung di cabang-cabang pohon.
|
Laboratorium pembibitan durian |
Untuk urusan pupuk, Pak Gito menjatuhkan pilihan pada pupuk organik. Keputusan itu diambilnya setelah melakukan serangkaian eksperimen. Ya, Pak Gito ini tipe petani peneliti yang suka bereksperimen sekedar untuk mengetahui sesuatu. Menurut hasil percobaannya, tanah yang terkontaminasi pupuk kimia akan mengalami penurunan kualitas. Untuk kasus durian, pohon yang diberi asupan pupuk kimia akan menuntut air lebih banyak. Itu berarti masalah di tengah sulitnya mendapatkan air di daerah ini. Maka, sejak itu –sekitar 20 tahun yang lalu- Pak Gito menggunakan pupuk kandang yang diolah dari kotoran kambing miliknya.
|
Daun durian menoreh kuning |
Tak beda jauh dengan pupuk. Hama yang kerap mengintai tanaman durian diantisipasi dengan menggunakan olahan beberapa jenis empon-empon. Ramuan yang terdiri dari tuba, gadung, kunyit, dan jahe ini bisa mengatasi hama jamur dan ulat. Bahan-bahan itu cukup ditumbuk dan diambil sarinya dengan perbandingan 1:1, 1 kg tuba, 1 kg gadung, 1 kg kunyit, dan 1 jahe untuk kebutuhan 1 liter air. Sari empon-empon difermentasikan selama 6 hari. Tapi, tiap hari harus selalu dikocok. Nah, setelah itu baru dicampur dengan air dan siap disemprotkan ke tanaman durian. “Kok seperti mau masak saja ya Pak,” ucap saya ketika mendengar ramuan tradisional pengusir hama itu.
Begitulah Pak Gito, petani konsisten yang kecerdasannya terpancarkan lewat kesederhanaan tingkah lakunya. Saya belajar banyak dari Pak Gito hari ini. Tidak hanya tentang proses pembibitan durian Menoreh, pupuk dan pestisida organik, namun juga tentang nilai-nilai dalam hidup.
“Nah, kita punya durian lokal yang berkualitas kenapa harus memilih durian impor?” ujar Pak Gito menutup perjumpaan kami.
|
Pak Sugito
* Sesungguhnya tulisan ini merupakan hasil perjalanan pada Februari 2013. Saya mengirimkannya ke situs perjalanan the.travelist.com. Mereka menyebut bahwa tulisan ini akan dipublikasikan di media mereka. Saya pun dengan penuh kesadaran etis tak mengunggahnya di blog pribadi. Namun hingga Januari 2014 tulisan saya tak kunjung dimuat :(. Jadi, daripada tulisan ini sia-sia akhirnya saya publikasikan di blog pribadi. Oh, malangnya nasib blogger amatir seperti saya T_T.
|
Comments