Anyer-Panarukan: Rumah Ayam di Stasiun Anyer Kidul (8)

Sketsa -kasar banget- keletakan Stasiun Anyer Kidul
Ternyata salah satu pengabdian terakhir bangunan bersejarah itu ialah menjadi rumah bagi para ayam.  Oh, terlampau banyak tinggalan sejarah di negeri ini. Susah merawatnya.

Siapa sangka bangunan yang nyaris ambruk ini dahulu pernah menjadi pusat keramaian masyarakat Cikoneng, Serang. Mereka berangkat menuju Rangkas Bitung atau kota-kota sekitar. Membawa hasil bumi untuk dijual di kota atau hanya sekedar membawa uang secukupnya untuk menikmati hiburan. Kesibukan itu bermula sejak awal 1900an dan perlahan-lahan redup hingga akhirnya mati pada 1981.

“ANJERKIDUL”, penanda identitas stasiun itu bisa dijumpai di dinding bangunan sisi barat dan selatan. Lumut dan rayap menjadi musuh utama bagi kelangsungan keberadaannya. Beberapa huruf terancam lenyap dalam hitungan tahun. Huruf-huruf itu tampaknya menjadi sasaran empuk dan nikmat bagi para rayap.
Identitas stasiun yang perlahan dilumat rayap

Identitas stasiun yang mulai pudar dimakan lumut
“Kurang tahu, apakah memang karena kalah saing dengan darat. Kalau rugi kan emang ga difungsikan lagi. Kalau rugi, kayaknya,” terang Pak Ishak (68) tentang hal ihwal penutupan Stasiun Anyer Kidul. Alasan klasik untuk menghentikan sebuah bisnis yang tak lagi menguntungkan. Jika tak ada lagi keuntungan sementara beban operasional tak kenal kata turun maka sudah waktunya menutup lapak. Sebuah ironi yang masuk akal.
Papan penanda kepemilikan milik PT KAI yang bersandar pada jendela bangunan stasiun
Begitulah, moda transportasi di negara kita memang penuh persaingan. Para pengusaha bis harus terseok-seok di tengah harga tiket pesawat yang semakin terjangkau. Begitu juga kapal, harus mencari siasat agar tetap bisa berlayar. Tak terkecuali kereta. Ternyata punya sejarah pernah kalah saing dengan truk, bus, dan mobil pribadi. Mungkin juga persaingan itu masih berlangsung hingga kini.

Kereta api punya sejarah yang cukup panjang dalam sistem transportasi umum di Indonesia. Sebagai akibatnya ia memiliki aset bersejarah yang belimpah. Baik yang masih beroperasi maupun yang tinggal nama.
Bantalan bata ini seharusnya sejajar dengan posisi rel yang kini lenyap tak bersisa
Bagi orang yang menyenangi segala hal berbau masa lalu, saya sangat menyayangkan aset-aset PT KAI yang teronggok karena disengaja maupun tidak disengaja. Meskipun itu hanya sebuah stasiun kecil di ujung barat Pulau Jawa. Stasiun kecil yang merekam kisah orang-orang kecil tentunya. Tetap miris melihat kondisinya seperti ini. Bangunan utama minim atap sehingga pohon pisang pun tak segan hidup di dalamnya. Peron yang sudah ditutup dinding. Sementara fungsinya berubah menjadi rumah bagi para ayam. Tak ada lagi jejak kejayaan masa lalu.

Kebetulan sekali pada saat kami sibuk mengintip isi peron si pemilik ayam datang dan menyilakan kami masuk. Di dalam sini terasa sekali bahwa dinding ini baru, terbuat dari batu kali (atau karang ?) dengan perekat gamping. Di bagian luar diberi pelapis semen namun di bagian dalam tak diberi acian, persis seperti di dalam bunker Jepang.

Tak ada yang bisa menceritakan kapan peron ini diberi tembok. Saat dinding ini ditambahkan pada peron, Pak Ishak sedang merantau ke Lampung. Begitu pulang dinding sudah ada.
Kandang ayam penghuni peron staisun kereta
Pak Ishak pun memberikan rekonstruksi penumpang yang hendak naik kereta. Bagaimana ketika membeli tiket di loket. Lalu jika ia memiliki barang, maka barang akan ditimbang dengan sebuah alat yang diletakkan di atas pondasi berbentuk segitiga. Setelah itu barulah penumpang menaiki kereta.
Pondasi bekas tempat meletakkan timbangan barang
Menurut Pak Ishak dahulu di depan stasiun pernah menjadi terminal dokar. Mungkin sekitar 1958. Daerah di sekitar tempat ini sangat ramai. Saya membayangkan dokar parkir di depan stasiun. Para kusir menunggu kereta tiba sambil memberi makan kuda atau sekedar duduk di atas dokar. Begitu penumpang turun Pak kusir akan kembali sibuk mengantar mereka ke tujuan selanjutnya. Bisa jadi ke Carita. Ya, itu hanya imajinasi saya.
Pak Ishak menceritakan alur penumpang yang akan naik kereta
Kereta digunakan untuk mengangkut orang dan barang. Pak Ishak yang lahir dan besar di sini pun sering menggunakan kereta. Tujuan orang ke Rangkas Bitung bermacam-macam. Ada yang berbelanja. Ada pula yang menjual barang belanjaan seperti kelapa atau durian. Menurut ingatannya, dulu banyak sekali pohon kelapa di daerah ini. Kalau kebun durian memang agak jauh ke barat.

Pak Ishak juga sempat menyinggung kondisi jalan raya Anyer. Jalan dahulu memang belum diaspal, tapi datar dan bagus.
“Tapi dulu bagus ma, ga kayak model sekarang jalan di Cilegon segala macam, datar aja rata, ga gelombang-gelombang,” tuturnya. 
Jalan raya Daendels di depan stasiun
Mengenai komplek perumahan pegawai kereta api, Pak Ishak pun mengajak kami melihat bangunan-bangunan lama yang masih bertahan. Kesannya memang agak sedikit kumuh. Karena sampah belum dikelola dengan baik. Rumah lama lebih awet ketimbang yang baru. Setidaknya begitu menurut pendapat Pak Ishak.
Lingkungan di belakang rumah Ode
Lain lagi penuturan Ibu Supiatun (46). Anak seorang juru langsir kereta, Ibu Supiatun lahir di rumah bedeng di kompleks stasiun ini. Menurut pengamatannya, satu per satu rumah ambruk. Mungkin sejak 1985. Roboh sendiri.

Sama seperti Pak Ishak, Ibu Supiatun juga menunjukkan kepada kami bekas rumah Kepala Stasiun dan Ode (petugas perawat rel kereta). Kami pun sudah melihat-lihat. Kondisinya sama, tidak terawat meskipun terlihat ditempati.

Ibu Supiatun sering sekali menggunakan kereta api. Dalam ingatannya, tiket kereta berukuran kecil, berwarna hijau, dan tidak begitu tebal. Persis seperti karton. Sayangnya karena tidak pernah membayar, maka Ibu Supiyatun tak ingat berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk naik kereta ke Rangkas Bitung.

“Paling ke Rangkas, Anyer, Cilegon. Cuman main dan belanja. Belum ada mobil. Naik kereta. Orang-orang berjualan daun singkong, kayu bakar. Dibawa ke Cilegon,” begitu kisahnya. Ayahnya pun ketika sedang libur sering juga mengumpulkan kayu bakar lalu disatukan dalam ikatan-ikatan kecil untuk kemudian dibawa ke Cilegon. Satu ikat kayu bakar dijual sekitar 25 perak. Mungkin itu terjadi menjelang 1980.
Stasiun Anyer Kidul
Kisah Pak Ishak dan Ibu Supiatun membantu imajinasi saya untuk mereka ulang kondisi Stasiun Anyer Kidul tempo dulu. Apa yang kami dengar kali ini memang bukan kisah-kisah besar. Bukan cerita tentang kunjungan Gubernur Jenderal. Bukan pula tentang kisah kepala kerbau sebagai persembahan saat upacara pembangunan stasiun. Hanya cerita dari orang-orang kecil di stasiun yang kecil. Stasiun yang merana, siap ambruk atau diambrukkan.

Jadi, kondisi seperti apa yang lebih baik. Stasiun Anyer Kidul dibiarkan tanpa perawatan kemudian hancur perlahan. Atau difungsikan sebagai rumah bagi para ayam, namun tetap ditelantarkan tanpa perawatan?

Memoar Anyer –Stasiun Anyer Kidul-, 5 Juni 2011

Comments

Popular Posts