Taman Mini Indonesia Indah: Masihkah terperangkap dalam masa lalu?

Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah
Kini TMII dilengkapi wahana-wahana yang terkesan futuristik. Namun koleksi-koleksi awal TMII, seperti anjungan dan museum terlihat statis, seperti terjebak dalam masa silam.

Mengintip Museum Transportasi di TMII

Anak-anak tampak sibuk dengan kendaraan masing-masing. Ada yang mengendarai “motor”. Ada pula yang memancal becak. Rambu-rambu lalu lintas pun diletakkan di beberapa titik. Namun, semua aktor yang mengendarai kendaraan di lapangan kecil itu terkesan asal saja. Seperti permainan tanpa aturan.

Tak terlihat petugas yang memberikan aba-aba atau pengarahan terkait dengan aturan di jalan raya. Begitu suasana yang saya rekam di Taman Lalu Lintas, suatu siang di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Museum Transportasi menjadi tujuan utama saya di TMII kali ini. Saya ingin mendapatkan cerita tentang sejarah perkembangan transportasi di Indonesia. Bagi saya yang saat ini bergelut di bidang pariwisata, aspek transportasi menjadi hal yang menarik untuk diamati.

Saya memulai penjelajahan dari ruang modul darat. Beragam miniatur lokomotif dan benda-benda terkait perkeretaapian yang tersimpan di dalam lemari kaca menyambut saya. Beberapa di antaranya tidak memiliki keterangan, beberapa lagi dengan keterangan yang terpisah jauh dari objek koleksi. Presentasinya pun tidak bisa dibilang menarik meskipun koleksinya bagus.
Keterangan koleksi yang tidak menyatu dengan koleksi [kiri]; Foto lama tanpa cerita [kanan]
Ada lagi diorama tentang “Pembangunan Jalan Kereta Api Pertama Th 1864” yang tidak didukung dengan pencahayaan yang apik. Seorang pemandu yang sedang mengantar rombongan anak TK menyesalkan kondisi tersebut. Ia memberikan penjelasan singkat bahwa lampu di dalam diorama sedang mengalami kerusakan. Mungkin kerusakan itu sudah terjadi sejak bertahun-tahun yang silam.
Seorang pengunjung berusaha mengamati diorama tanpa cahaya.
Miniatur beragam bis yang pernah beroperasi di DKI Jakarta cukup menggoda saya. Sayangnya, lagi-lagi mereka disimpan di dalam lemari kaca yang mengingatkan saya pada lemari kaca toko kelontong. Tanpa pencahayaan dan yang membuat emosi ialah tidak dilengkapi dengan keterangan koleksi. Walhasil, meskipun saya terkesima dengan bentuk-bentuk bis yang dipamerkan namun tak ada cerita yang bisa dibagi.
Aneka bis yang pernah beroperasi di DKI Jakarta. Sayangnya koleksi tidak dilengkapi dengan keterangan.
Rasa frustasi semakin memuncak ketika memasuki ruang koleksi Modul Pusat. Ruangan ini tak ubahnya seperti ruang pembantaian. Saya dipaksa mendongak jika ingin mengetahui informasi dalam poster presentasi yang diletakkan di tempat yang tidak strategis. Belum lagi desain poster yang terkesan asal buat dan tidak mengindahkan etika desain. Teks “membunuh” gambar yang membuat pembaca harus berjuang keras untuk membaca informasi di dalamnya.
Pengunjung harus mendongak untuk membaca poster [kiri] Teks dan gambar yang tumpang tindih [kanan]
Ruang-ruang selanjutnya sudah tak menarik lagi bagi saya. Penyajian koleksi di museum ini seperti setengah hati. Bisa jadi juga tak pernah mengalami perubahan sejak diresmikan pada 1991. Tak ada konsep “story telling” yang kuat untuk ditawarkan kepada pengunjung. Tata cahaya dan peletakan koleksi yang asal-asalan semakin menambah keengganan saya untuk berlama-lama di sini.

Saya menjadi bertanya-tanya tentang tujuan Museum Transportasi. Mengutip dari portal TMII,  tujuan Museum Transportasi ialah “memberikan informasi dan tambahan pengetahuan kepada para pengunjung mengenai transportasi dan sejarah perkembangan teknologi transportasi sekaligus sebagai tempat rekreasi yang edukatif”.
Poster presentasi yang ditempatkan di luar ruangan dengan ukuran teks yang tak terbaca kian menyulitkan pengunjung untuk mendapatkan informasi di dalamnya.
Jika begitu, apakah tata pamer Museum Transportasi sudah disesuaikan dengan tujuannya? Atau justru mencerminkan kenyataan transportasi di Indonesia yang tak lepas dari kesan semrawut. Transportasi yang idealnya membuat jarak jauh menjadi dekat justru menjauhkan jarak yang dekat. Sama halnya dengan presentasi museum yang menyusahkan pengunjung untuk bisa menyerap informasi yang disajikan. Maka saya simpulkan bahwa antara tujuan museum dengan implementasinya jauh panggang dari api.

Sebenarnya tak perlu jauh-jauh ke Eropa atau bertandang ke negeri tetangga untuk mencari inspirasi tentang penyajian koleksi museum yang apik. Cukup berkunjung ke Museum Polri di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta. Mereka menyusun “story telling” yang cukup baik. Lalu tata pamer koleksi yang menarik serta pencahayaan yang mendukung. Selain itu terdapat beberapa koleksi yang disediakan sebagai media interaksi dengan pengunjung. Yang lebih mengesankan ialah terdapat pojok anak yang dilengkapi dengan seperangkat permainan terkait dengan dunia kepolisian.
Ruang pamer di Museum POLRI
Andai kata penataan koleksi terhambat dengan pendanaan, museum bisa menyiasatinya dengan merancang program-program kreatif yang menarik. Rancangannya bisa dalam bentuk tema-tema terkait dengan dunia transportasi. Misalnya “Ular Besi yang Menyatukan Pulau Jawa” untuk menceritakan sejarah masuknya moda transportasi kereta api di Jawa. Bisa juga tentang “Perjalanan Perahu Nusantara” untuk mendongengkan cerita tentang kehebatan teknologi perahu nenek moyang Indonesia. Tentunya masih banyak tema kreatif yang bisa diusung oleh Museum Transportasi.

Namun Museum Transportasi bukanlah satu-satunya museum di TMII. Masih ada 15 museum lainnya yang belum saya sambangi. Dengan konsep akbar yang melahirkan TMII, sudah semestinya kondisi Museum Transportasi tidak mewakili wajah museum-museum lainnya.

Konsep Akbar dan PR Besar

Kunjungan ke Disneyland di Amerika Serikat dan Timland di Thailand pada 1971 ternyata sangat menginspirasi Ibu Tien Soeharto. Sekembalinya ke tanah air, beliau ingin menuangkan gagasannya ke dalam sebuah proyek yang lebih lengkap dan sempurna. Hebatnya, beliau tak menyalin mentah-mentah konsep Disneyland dan Timland.

Jika sekarang kita mengenal Ridwan Kamil lewat rencananya membangun Disneyland di Bandung, maka Ibu Tien cukup mengadopsi konsepnya saja. Dengan demikian apakah artinya Ibu Tien lebih pantas dimasukkan ke dalam jajaran tokoh ekonomi kreatif Indonesia? Beliau menekankan pentingnya untuk menyesuaikan konsep yang akan diwujudkan dengan kondisi di tanah air. Hal itu mencakup materi yang digunakan dan nafas spiritual yang akan diusung di dalamnya. Maka muncullah proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Menikmati miniatur Kepulauan Nusantara dari kereta gantung.
Skema pembangunan TMII diumumkan pada November 1971. Negara menggelontorkan anggaran sekitar $26 juta. Sebuah angka yang cukup fantastis pada masa itu. Namun mungkin tak ada artinya jika dibandingkan dengan kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Sebagai negara yang sedang lepas landas, masyarakat Indonesia butuh sebuah tempat untuk mengenal diri, bangsa, dan tanah airnya. Dengan demikian semangat nasionalisme dapat terus terjaga.

Seketika saya teringat dengan proyek mercusuar Sukarno. Begitu banyak monumen yang dibangun di era 1950an hingga menjelang lengsernya Sukarno dari tampuk kekuasaan. Proyek itu juga menelan biaya yang tak sedikit. Lagi-lagi untuk menempatkan Indonesia ke dalam posisi negara yang patut disegani di dunia internasional. Bahwa negara  kepulauan terbesar di dunia yang baru merdeka ini bisa juga tampil gagah di mata dunia lewat monumen-monumen bernuansa modern yang spektakuler.

Di dalam kompleks seluas 150 ha tersebut terdapat 33 rumah adat yang mewakili seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Selain itu ada sekitar 16 museum yang menampilkan beragam sajian koleksi. Lalu aneka taman dan tempat ibadah. Ada juga  sarana rekreasi yang bernuansa futuristik yang jauh dari nuansa ke-Indonesiaan.
Replika tongkonan di anjungan Sulawesi Selatan. Pintu dalam kondisi terkunci. Petugas jaga sedang tidak di tempat.
Dengan komponen di dalamnya, TMII bisa dikategorikan sebagai open air museum. Mungkin sedikit memiliki persamaan dengan Skansen, open air museum pertama di dunia  yang dibangun pada 1891 di Swedia. Bedanya, jika Skansen menggunakan bangunan yang berasal dari masa lalu maka TMII harus membuat replika dari bangunan-bangunan adat di seluruh Indonesia.

Ketika disinggung tentang unsur “baru” dalam museum yang dibangunnya, Ibu Tien memberikan jawaban strategis, “Kita bisa menyebut ini museum saat ini karena suatu hari nanti semua yang ada di sini akan menjadi sesuatu yang kuna”.

Menurut saya, konsep yang diusung oleh TMII merupakan konsep akbar untuk mencitrakan dan menguatkan nasionalisme Indonesia. Sebuah pemikiran yang terwujud dalam bentuk apik. Akan sangat sayang jika wujud-wujud pemikiran Ibu Tien tidak diterapkan sesuai dengan perkembangan zaman.

Apalagi tantangan dari pengunjung usia muda cukup berat. Mereka tak lagi tertarik dengan hal yang berbau tradisional. Jangan sampai pula mereka hanya memanfaatkan TMII sebagai sarana rekreasi. Hal tersebut tentu akan melenceng dari tujuan TMII. TMII didirikan untuk mendidik dan memperkaya pengetahuan bangsa Indonesia mengenai kebudayaan Indonesia, sekaligus menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air.

Anjungan-anjungan di TMII menjadi pintu gerbang untuk perkenalan tahap awal terkait seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Namun sayangnya tak ada hal baru yang ditawarkan oleh tiap anjungan kepada pengunjung. Manekin yang mengenakan pakaian adat, foto-foto yang kebanyakan tidak dilengkapi dengan keterangan, serta koleksi kain seakan menjadi koleksi abadi dengan penyajian yang monoton. Hasilnya, anjungan-anjungan tersebut hanya menjadi tempat persinggahan untuk melepas lelah serta tempat favorit untuk berfoto narsis.

Apalagi jika petugas anjungan tidak berada di tempat seperti saat saya berkunjung ke anjungan Provinsi Sulawesi Selatan. Lengkap sudah. Masuk tak bisa, papan informasi pun tak ada. Jadilah pada akhirnya saya hanya leyeh-leyeh sambil menikmati arsitektur tongkonan yang tak saya ketahui filosofinya.

Suguhan berupa tari-tarian, pentas wayang, dan musik tradisional masih mendominasi. Padahal kebudayaan tak hanya sekedar itu. Menurut saya masih banyak hal yang bisa diperkenalkan oleh tiap anjungan. Semisal sisi arsitektur dan tata cara kehidupan masyarakatnya.


Sebagian besar pengunjung di TMII memilih untuk rekreasi.
TMII harus menemukan cara yang atraktif untuk memikat hati pengunjung. Pendekatan edutainment menurut saya juga tak tepat lagi. Pengunjung sebaiknya tak hanya disuguhi dengan atraksi atau pertunjukan kesenian saja yang menempatkan mereka dalam posisi pasif. Mungkin TMII harus mencoba metode playful learning yang menyediakan banyak sarana menarik yang mengajak pengunjung untuk aktif mengeksplorasi TMII. Bisa saja dengan menciptakan permainan-permainan seperti treasure hunt untuk lebih mengenali berbagai koleksi di TMII.

Ketika ada kegiatan menarik yang ditawarkan, saya yakin TMII akan mengalami kunjungan balik berkali-kali. Karena saya tidak percaya pada slogan “Keliling Indonesia Dalam Satu Hari di TMII”. Seorang penulis, menyatakan setidaknya butuh waktu satu minggu untuk mengunjungi seluruh objek yang ada di dalam TMII. Saya bahkan mematok waktu dua minggu setelah pengalaman seharian yang cukup melelahkan akibat fasilitas transportasi di TMII yang payah.

Aspek transportasi di dalam kawasan seluas 150 ha ini mendesak untuk dibenahi. TMII memang menyediakan bus dan mobil wisata untuk berkeliling. Tapi akan sangat memberatkan bagi pejalan “kere” seperti saya karena harus terus membayar untuk bisa berpindah- pindah ke titik yang diinginkan. Bagaimana dengan sistem satu kali bayar yang bisa berlaku selama satu hari di dalam TMII? Rasanya lebih masuk akal.

Tidak terasa sudah 39 tahun TMII hadir untuk memperkaya pengetahuan tentang Indonesia. Saya tidak bisa membayangkan jika Ibu Tien tak pernah mencetuskan ide untuk membangun miniatur Indonesia ini. Maka tak ada tempat tujuan para generasi muda untuk mengenal Indonesia.

Walau begitu, saya pun menolak untuk lupa. Saya yakin ada banyak pengorbanan yang dikeluarkan saat mengawali pembangunan TMII di masa silam. Tak hanya besaran jumlah uang negara yang digunakan saat itu. Namun juga penduduk yang direlokasi dari kediamannya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya TMII berupaya untuk tetap menjaga tujuan hidupnya dan terus berbenah untuk pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Dirgahayu!


Daftar bacaan:
Anderson, Benedict. 1973. “Notes in Contemporary Indonesian Political Communication” dalam Indonesia, vol 16, hlm. 39-80.

Harlow, Elizabeth Ann. 2005. ”Packaging The Past: Interpreting History in British Open Air Museums”.

Hitchcock, Michael. 2005. “We Will Know Our Nation Better: Taman Mini and Nation Building in Indonesia” dalam Museums, Collection, and Interpretation.

Hitchcock, Michael & Nick Stanley. 2010. “Outdoor Ethnographic Museums, Tourism and Nation Building in Southeast Asia” dalam Michael Hitchcock, Victor T. King & Michael Parnwell, Heritage Tourism in Southeast Asia. Denmark: NIAS Press, hlm. 72-82.

Resnick, Mitchel. 2004. “Edutainment? No Thanks. I Prefer Playful Learning” dalam Associazione Civita Report on Edutainment.

Salazar, Noel B. “Imagineering Cultural Heritage for Local to Global Audience”.

Website:
Anak Agung Ayu Wulandari. "Taman Mini Indonesia Indah: Entertainment or Education?" diakses pada 25 April 2014

Museum Transportasi diakses pada 25 April 2014

Raden Trimutia Hatta. "Ridwan Kamil: Bukan Tak Mungkin Disneyland Ada di Bandung" diakses pada 25 April 2014

Skansen Museum diakses pada 25 April 2014




Comments

Popular Posts