Taman Mini Indonesia Indah: Masihkah terperangkap dalam masa lalu?
Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah |
Kini TMII dilengkapi wahana-wahana yang terkesan futuristik. Namun koleksi-koleksi awal TMII, seperti anjungan dan museum terlihat statis, seperti terjebak dalam masa silam.
Mengintip Museum Transportasi di TMII
Tak terlihat petugas yang memberikan aba-aba atau pengarahan terkait dengan aturan di jalan raya. Begitu suasana yang saya rekam di Taman Lalu Lintas, suatu siang di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Museum Transportasi menjadi tujuan utama saya di TMII kali ini. Saya ingin mendapatkan cerita tentang sejarah perkembangan transportasi di Indonesia. Bagi saya yang saat ini bergelut di bidang pariwisata, aspek transportasi menjadi hal yang menarik untuk diamati.
Saya memulai penjelajahan dari ruang modul darat. Beragam miniatur lokomotif dan benda-benda terkait perkeretaapian yang tersimpan di dalam lemari kaca menyambut saya. Beberapa di antaranya tidak memiliki keterangan, beberapa lagi dengan keterangan yang terpisah jauh dari objek koleksi. Presentasinya pun tidak bisa dibilang menarik meskipun koleksinya bagus.
Keterangan koleksi yang tidak menyatu dengan koleksi [kiri]; Foto lama tanpa cerita [kanan] |
Seorang pengunjung berusaha mengamati diorama tanpa cahaya. |
Aneka bis yang pernah beroperasi di DKI Jakarta. Sayangnya koleksi tidak dilengkapi dengan keterangan. |
Pengunjung harus mendongak untuk membaca poster [kiri] Teks dan gambar yang tumpang tindih [kanan] |
Saya menjadi bertanya-tanya tentang tujuan Museum Transportasi. Mengutip dari portal TMII, tujuan Museum Transportasi ialah “memberikan informasi dan tambahan pengetahuan kepada para pengunjung mengenai transportasi dan sejarah perkembangan teknologi transportasi sekaligus sebagai tempat rekreasi yang edukatif”.
Poster presentasi yang ditempatkan di luar ruangan dengan ukuran teks yang tak terbaca kian menyulitkan pengunjung untuk mendapatkan informasi di dalamnya. |
Sebenarnya tak perlu jauh-jauh ke Eropa atau bertandang ke negeri tetangga untuk mencari inspirasi tentang penyajian koleksi museum yang apik. Cukup berkunjung ke Museum Polri di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta. Mereka menyusun “story telling” yang cukup baik. Lalu tata pamer koleksi yang menarik serta pencahayaan yang mendukung. Selain itu terdapat beberapa koleksi yang disediakan sebagai media interaksi dengan pengunjung. Yang lebih mengesankan ialah terdapat pojok anak yang dilengkapi dengan seperangkat permainan terkait dengan dunia kepolisian.
Ruang pamer di Museum POLRI |
Namun Museum Transportasi bukanlah satu-satunya museum di TMII. Masih ada 15 museum lainnya yang belum saya sambangi. Dengan konsep akbar yang melahirkan TMII, sudah semestinya kondisi Museum Transportasi tidak mewakili wajah museum-museum lainnya.
Konsep Akbar dan PR Besar
Kunjungan ke Disneyland di Amerika Serikat dan Timland di Thailand pada 1971 ternyata sangat menginspirasi Ibu Tien Soeharto. Sekembalinya ke tanah air, beliau ingin menuangkan gagasannya ke dalam sebuah proyek yang lebih lengkap dan sempurna. Hebatnya, beliau tak menyalin mentah-mentah konsep Disneyland dan Timland.
Jika sekarang kita mengenal Ridwan Kamil lewat rencananya membangun Disneyland di Bandung, maka Ibu Tien cukup mengadopsi konsepnya saja. Dengan demikian apakah artinya Ibu Tien lebih pantas dimasukkan ke dalam jajaran tokoh ekonomi kreatif Indonesia? Beliau menekankan pentingnya untuk menyesuaikan konsep yang akan diwujudkan dengan kondisi di tanah air. Hal itu mencakup materi yang digunakan dan nafas spiritual yang akan diusung di dalamnya. Maka muncullah proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Menikmati miniatur Kepulauan Nusantara dari kereta gantung. |
Seketika saya teringat dengan proyek mercusuar Sukarno. Begitu banyak monumen yang dibangun di era 1950an hingga menjelang lengsernya Sukarno dari tampuk kekuasaan. Proyek itu juga menelan biaya yang tak sedikit. Lagi-lagi untuk menempatkan Indonesia ke dalam posisi negara yang patut disegani di dunia internasional. Bahwa negara kepulauan terbesar di dunia yang baru merdeka ini bisa juga tampil gagah di mata dunia lewat monumen-monumen bernuansa modern yang spektakuler.
Di dalam kompleks seluas 150 ha tersebut terdapat 33 rumah adat yang mewakili seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Selain itu ada sekitar 16 museum yang menampilkan beragam sajian koleksi. Lalu aneka taman dan tempat ibadah. Ada juga sarana rekreasi yang bernuansa futuristik yang jauh dari nuansa ke-Indonesiaan.
Replika tongkonan di anjungan Sulawesi Selatan. Pintu dalam kondisi terkunci. Petugas jaga sedang tidak di tempat. |
Ketika disinggung tentang unsur “baru” dalam museum yang dibangunnya, Ibu Tien memberikan jawaban strategis, “Kita bisa menyebut ini museum saat ini karena suatu hari nanti semua yang ada di sini akan menjadi sesuatu yang kuna”.
Menurut saya, konsep yang diusung oleh TMII merupakan konsep akbar untuk mencitrakan dan menguatkan nasionalisme Indonesia. Sebuah pemikiran yang terwujud dalam bentuk apik. Akan sangat sayang jika wujud-wujud pemikiran Ibu Tien tidak diterapkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Apalagi tantangan dari pengunjung usia muda cukup berat. Mereka tak lagi tertarik dengan hal yang berbau tradisional. Jangan sampai pula mereka hanya memanfaatkan TMII sebagai sarana rekreasi. Hal tersebut tentu akan melenceng dari tujuan TMII. TMII didirikan untuk mendidik dan memperkaya pengetahuan bangsa Indonesia mengenai kebudayaan Indonesia, sekaligus menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air.
Anjungan-anjungan di TMII menjadi pintu gerbang untuk perkenalan tahap awal terkait seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Namun sayangnya tak ada hal baru yang ditawarkan oleh tiap anjungan kepada pengunjung. Manekin yang mengenakan pakaian adat, foto-foto yang kebanyakan tidak dilengkapi dengan keterangan, serta koleksi kain seakan menjadi koleksi abadi dengan penyajian yang monoton. Hasilnya, anjungan-anjungan tersebut hanya menjadi tempat persinggahan untuk melepas lelah serta tempat favorit untuk berfoto narsis.
Apalagi jika petugas anjungan tidak berada di tempat seperti saat saya berkunjung ke anjungan Provinsi Sulawesi Selatan. Lengkap sudah. Masuk tak bisa, papan informasi pun tak ada. Jadilah pada akhirnya saya hanya leyeh-leyeh sambil menikmati arsitektur tongkonan yang tak saya ketahui filosofinya.
Suguhan berupa tari-tarian, pentas wayang, dan musik tradisional masih mendominasi. Padahal kebudayaan tak hanya sekedar itu. Menurut saya masih banyak hal yang bisa diperkenalkan oleh tiap anjungan. Semisal sisi arsitektur dan tata cara kehidupan masyarakatnya.
Sebagian besar pengunjung di TMII memilih untuk rekreasi. |
Ketika ada kegiatan menarik yang ditawarkan, saya yakin TMII akan mengalami kunjungan balik berkali-kali. Karena saya tidak percaya pada slogan “Keliling Indonesia Dalam Satu Hari di TMII”. Seorang penulis, menyatakan setidaknya butuh waktu satu minggu untuk mengunjungi seluruh objek yang ada di dalam TMII. Saya bahkan mematok waktu dua minggu setelah pengalaman seharian yang cukup melelahkan akibat fasilitas transportasi di TMII yang payah.
Aspek transportasi di dalam kawasan seluas 150 ha ini mendesak untuk dibenahi. TMII memang menyediakan bus dan mobil wisata untuk berkeliling. Tapi akan sangat memberatkan bagi pejalan “kere” seperti saya karena harus terus membayar untuk bisa berpindah- pindah ke titik yang diinginkan. Bagaimana dengan sistem satu kali bayar yang bisa berlaku selama satu hari di dalam TMII? Rasanya lebih masuk akal.
Tidak terasa sudah 39 tahun TMII hadir untuk memperkaya pengetahuan tentang Indonesia. Saya tidak bisa membayangkan jika Ibu Tien tak pernah mencetuskan ide untuk membangun miniatur Indonesia ini. Maka tak ada tempat tujuan para generasi muda untuk mengenal Indonesia.
Walau begitu, saya pun menolak untuk lupa. Saya yakin ada banyak pengorbanan yang dikeluarkan saat mengawali pembangunan TMII di masa silam. Tak hanya besaran jumlah uang negara yang digunakan saat itu. Namun juga penduduk yang direlokasi dari kediamannya. Oleh sebab itu, sudah seharusnya TMII berupaya untuk tetap menjaga tujuan hidupnya dan terus berbenah untuk pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Dirgahayu!
Daftar bacaan:
Anderson, Benedict. 1973. “Notes in Contemporary Indonesian Political Communication” dalam Indonesia, vol 16, hlm. 39-80.
Harlow, Elizabeth Ann. 2005. ”Packaging The Past: Interpreting History in British Open Air Museums”.
Hitchcock, Michael. 2005. “We Will Know Our Nation Better: Taman Mini and Nation Building in Indonesia” dalam Museums, Collection, and Interpretation.
Hitchcock, Michael & Nick Stanley. 2010. “Outdoor Ethnographic Museums, Tourism and Nation Building in Southeast Asia” dalam Michael Hitchcock, Victor T. King & Michael Parnwell, Heritage Tourism in Southeast Asia. Denmark: NIAS Press, hlm. 72-82.
Resnick, Mitchel. 2004. “Edutainment? No Thanks. I Prefer Playful Learning” dalam Associazione Civita Report on Edutainment.
Salazar, Noel B. “Imagineering Cultural Heritage for Local to Global Audience”.
Website:
Anak Agung Ayu Wulandari. "Taman Mini Indonesia Indah: Entertainment or Education?" diakses pada 25 April 2014
Museum Transportasi diakses pada 25 April 2014
Raden Trimutia Hatta. "Ridwan Kamil: Bukan Tak Mungkin Disneyland Ada di Bandung" diakses pada 25 April 2014
Skansen Museum diakses pada 25 April 2014
Comments