Bûûn Koeffie Jogja: Racikan Kopi Berkualitas Dari Tangan Petani Kopi [Jurnal Kopi]

Produk andalan Bûûn Koeffie yang tertera pada gerobak angkringannya
“Kita kan punya budaya sendiri dalam menyeduh kopi, jadi ngapain pakai mesin,” ujar Pak Eko sambil menyiapkan racikan kopi pesanan kami. Pemilik angkringan kopi “Bûûn Koeffie” itu juga sekaligus petani kopi di Bogor (Cariung). Ada sekitar 6 ha lahan kopi miliknya yang sebagian besar pohonnya merupakan warisan zaman Belanda. Dalam praktiknya ia juga mengajak petani lokal untuk berpindah dari menyadap nira untuk bahan baku ciu menjadi pemelihara kopi yang bermartabat. Mungkin berdasarkan pengalaman itu juga salah satu produk kopi Pak Eko dinamakan Kopi Miring. Kami menyebutnya plesetan dari Topi Miring –sejenis minuman keras-.
Saat pemesanan, kita ditawari kadar kopi yang ingin diseruput.
Perjumpaan awal dengan angkringan kopi ini terjadi beberapa hari yang lalu saat kami melewati perempatan kantor walikota Yogya. Kedai kopi dengan konsep tanpa sekat ini sangat mencuri perhatian saya. Apalagi saya sempat sekilas membaca menu “kopi bakar” dalam daftar yang tertera dalam papan menunya. Wah, patut dicoba ini!
Kopi saring susu
Kami memilih duduk di depan “gerobak” kopi yang ditarik dengan sepeda lipat ini. Sambil memerhatikan Mas Fajar –peracik kopi- dan Pak Eko meracik pesanan, kami pun melontarkan banyak pertanyaan seputar usaha mereka.
Infografis kopi di Bûûn Koeffie
Kopi yang kami seruput di Bûûn Koeffie merupakan robusta jenis Sunda Surlili yang dicampur dengan Bajawa. Kebetulan semuanya berasal dari kalangan kopi organik. Surlili mengacu pada sebutan untuk monyet. Pak Eko menambahkannya di belakang varian kopinya karena di perkebunan kopi miliknya masih banyak dijumpai monyet.
Juara saya di Bûûn Koeffie, kopi bakar tanpa susu :)
Pak Eko sudah menekuni kopi sejak 10 tahun yang lalu. Sementara profesi petani kopi dijalani selama tiga tahun belakangan ini.

Sebagai petani Pak Eko berusaha melakukan perlawanan terhadap industri yang terbiasa berkuasa atas harga. Jika biasanya konsumen lokal hanya bisa menikmati rasa kopi kualitas kelas dua maka Bûûn Koeffie menghadirkan kopi “specialty” atau kelas satu. Apa daya, ketika ditawarkan ke dunia industri harga kopi yang mengalami perlakuan serius dengan yang biasa saja dihargai sama. Maka lebih baik kopi kelas satu ini diseruput oleh orang kebanyakan.
Proses peracikan es kopi klasik. Aroma kopinya nempel hingga seruput terakhir.
Begitu pula perlakuan terhadap petani kopi. Menurut dia, petani juga perlu diedukasi dalam hal budidaya kopi. Bahwa tidak perlu untuk menebang hutan demi membuka perkebunan kopi karena sebenarnya pohon kopi membutuhkan tanaman pelindung yang berukuran lebih tinggi. Begitu pula tentang penggunaan pupuk. Meskipun belum menceritakan lebih banyak tentang pemupukan, namun Pak Eko lebih mendukung untuk melakukan regenerasi terhadap pohon-pohon kopi warisan Kolonial Belanda. Salah satunya dengan cara pemangkasan rutin agar selalu tumbuh tunas yang baru.
Berbincang dengan Mas Fajar. Interaksi menjadi poin penting yang ingin diusung oleh Bûûn Koeffie.
Ketika disinggung soal roasting kopi, Pak Eko dengan rendah hati menyebut dirinya bukan seorang ahli. Meskipun dia mencari profil roasting serta melakukan roasting sendiri. “Tidak semua kopi bisa disamakan roastingnya. Kandungan air, ukuran biji, suhu, karakter biji, jenis mesin merupakan variabel yang membuat kepala ini ‘pecah’,” kelakar Pak Eko menunjukkan kompleksitas dalam meroasting kopi. Jadi, jika ada orang yang sudah mengaku diri sebagai seorang roaster tapi gagu ketika ditanya tentang profil kopi hasil roastingnya maka Anda patut mempertanyakannya.
Mocca galau ala Bûûn Koeffie
Tak perlu khawatir soal harga di Bûûn Koeffie. Sekitar 80 % peminum kopi di Indonesia meminum kopi sachet. Sisanya meminum kopi dari biji yang segar namun harus merogoh kocek lumayan dalam. Maka untuk sampai pada edukasi konsumen, Bûûn Koeffie menawarkan harga bersahabat untuk tiap gelas kopinya. Kopi berkualitas layak untuk dinikmati oleh semua orang.
Daftar menu di Bûûn Koeffie
Kopi bakar yang mampu melelehkan hati saya dapat ditebus dengan Rp 7.000,-. Kopi bakar ini semacam kopi jos saya pikir. Hanya saja arang diganti dengan kopi yang disangrai langsung di atas api. Lalu es kopi klasik yang masih bisa mempertahankan aroma kopi hingga seruputan yang terakhir dihargai Rp 8.000. Anggaran Rp 9.000,- untuk segelas mocca galau. Disebut galau karena rasa cokelat dan kopi seperti balapan di dalam mulut. Dan memang saya akui itu terjadi.
Penampakan angkringan kopi Bûûn Koeffie
Sepeda untuk menarik gerobak kopi
Sementara itu kopi saring –ala Vietnam Drip namun lebih sederhana- dengan susu dibanderol Rp 9.000,-. Untuk kudapan, cukup sisihkan Rp 6.000,- untuk sepotong ketan leleh saus cokelat dipadu kacang merah tumbuk.

Ketan siram saus coklat kacang merah :)
Jika biasanya kedai kopi beroperasi sore hingga dini hari maka Bûûn Koeffie mengajak konsumennya untuk terjaga sedari pagi. Kedai kopi seyogyanya bukan hanya sekedar tempat nongkrong namun juga tempat untuk memulai aktivitas. Maka, Bûûn Koeffie hadir sejak pk. 07.00 dan mengakhiri pelayanannya pk. 21.00. Jadi, mari melawan arus utama –nongkrong di warung kopi sore atau malam hari- dengan memulai hari di Bûûn Koeffie, menyeruput kopi berkualitas langsung dari petani kopi.

Pak Eko petani kopi dan pemilik Bûûn Koeffie Jogja
Untuk lihat lokasi, silakan klik tautan berikut:

Comments

Anonymous said…
Mantap...saya sudah pernah hangout di marihhh...sukses terus ya pak Eko, Mas Fadjar dan satu lagi afwan,lupa namanya...:D

Popular Posts