Catatan Kecil: Kemah di Pantai Sadranan


Pantai Sadranan, 9-10 Januari 2015

Jangan sekali-kali kemah di pantai jelang akhir pekan. Sumpek!

Pantai Sadranan tak begitu ramai saat kami tiba sekitar pukul 14.30. Sebenarnya sedikit beresiko memilih Jumat sebagai waktu untuk berkemah di tempat wisata yang sedang naik daun. Tapi kami berusaha untuk berpikir positif bahwa di hari ini pastinya tak akan seramai Sabtu dan Minggu.

Tak ada lahan untuk berkemah persis di tepi pantai karena sudah menjelma menjadi deretan pondok wisata dan cottage-cottage. Maka kami pun memutuskan untuk mendirikan tenda tak jauh dari warung Pak Jarwo. Satu-satunya lahan yang dirasa cukup aman dari “serangan” ombak di malam hari.

Namun, sepertinya kesalahan besar untuk memilih lokasi kemah di dekat warung. Meskipun dekat dengan kamar mandi tetapi cahaya dari warung cukup mengganggu. Mengurangi rasa “kemah” di alam.

Niat awal berkemah di pantai itu untuk menikmati debur ombak sambil bercerita tentang apapun. Melihat bintang pasti jadi salah satu agenda penting selain memasak dan berenang. Namun, polusi cahaya menghalangi kami menikmati langit bertabur bintang.

Tapi kami sedikit beruntung karena masih bisa mengenali rasi waluku. Untuk bisa melihatnya lebih jelas kami berjalan agak jauh dari tenda, hampir mendekat ke ujung paling timur pantai ini.

Pemandangan seperti ini tak saya jumpai ketika berkemah pada 2006. Saat itu saya kemah di Pantai Sundak yang berada persis di sisi timur Pantai Sadranan. Langit bermandikan bintang ketika malam datang. Tak ada polusi cahaya. Mendekati tengah malam beberapa bintang menjatuhkan diri dan kami menyebut harap dalam hati. Ah, semua tinggal kenangan. Kini kawasan pantai tak lagi bisa dinikmati dengan syahdu di malam hari. Orang-orang lebih menyukai terang dari pencahayaan buatan manusia ketimbang ciptaan Sang Pencipta.

Karena tak bisa melihat bintang dengan jelas kami pun kembali ke tenda. Leyeh-leyeh di atas tikar dan berbagi ruang dengan kotak makan, piring, dan beragam peralatan masak lainnya. Kami memang berkomitmen untuk membawa alat masak dan makanan-makanan olahan sendiri, tanpa penyedap rasa, tanpa sampah kemasan :)

Alat-alat permainan yang dibawa hanya dipakai sekali saja. Kantuk ternyata datang lebih cepat. Ingin mengisi obrolan dengan cerita-cerita seram namun kondisi tertepa cahaya warung menjadikan suasana kurang mendukung. Pasti tidak akan greget kalau cerita horor. Lebih baik berbaring sambil memandang dua tenda di seberang kami. Empat orang duduk di dekat api unggun. Suara perempuan lebih mendominasi. Sebuah tontonan yang cukup menghibur sampai sekelompok “pengacau” datang.

***
Mereka datang dengan mobil. Saya tak tahu pasti jumlahnya. Dari keributan yang dihasilkan sepertinya lebih dari lima orang. Para lelaki membangun tenda tepat di samping tenda tetangga kami –empat orang yang sedang menikmati api unggun-. Berbekal permisi mereka mendapatkan izin dari si tetangga yang beringsut masuk ke dalam tenda masing-masing. Pesta telah usai.

Tenda yang mereka dirikan berukuran jumbo. Cukup untuk berdiri sempurna orang dewasa –tinggi 165 cm-. Terlihat kokoh seperti tenda Basarnas. Kami pun mengece mereka sebagai kelompok pecinta alam yang sedang reunian dengan kemah di tepi pantai.

Setelah tenda berdiri seorang utusan dikirim untuk memberitahukan rombongan perempuan yang menunggu di warung. Padahal tanpa pemberitahuan tenda ukuran jumbo itu pastilah terlihat dari warung yang jaraknya tidak sampai 15 m.

Lalu suara riuh mereka menjadi teman baru kami. Saya memutuskan untuk masuk ke tenda, bersiap tidur. Saya sempatkan untuk menulis catatan kecil tentang pengalaman malam hari di Sadranan. Namun, suara tawa mereka yang sok asik sungguh mengganggu. Satu suara menyatakan bahwa ia amat menyenangi cahaya lampu. Ya ampun, kenapa harus berkemah kalau masih juga tergantung dengan cahaya buatan manusia itu. Konyol.

***
Mungkin sudah masuk pk. 02.00 pagi. Suara cempreng seperti bebek membangunkan saya. Kali ini lebih berisik ketimbang rombongan reuni pecinta alam. Mereka saling berteriak meminta tali, memesan mi instan, kopi, dan hal-hal lain yang tak penting. Tapi yang benar saja, ini pk. 02.00 pagi!

Samar-samar saya mendengar jejak langkah mendekat ke tenda. Hilir mudik seolah jalan di dekat tenda adalah akses utama. Mereka sepertinya tak menghiraukan bahwa ada manusia-manusia lain yang sedang lelap dan lantas terbangun akibat volume suara dengan desibel tinggi.

Dari dialegnya, saya teringat dengan suara-suara yang berasal dari asrama mahasiswa Polewali Mandar di seberang kontrakan di Yogya. Seolah-olah setiap kata harus dikeluarkan dengan nada tinggi. Kali ini melengking yang tidak enak didengar. Sumpah, sangat mengganggu.

Beberapa di antara mereka, yang tidak terlibat pendirian tenda, kongkow-kongkow di warung sambil menikmati mi instan. Obrolannya diwarnai ke-soktahuan yang menjadi-jadi. Satu orang di antara mereka tampaknya berperan sebagai narasumber karena sudah tinggal lebih lama di Yogya ketimbang yang lainnya.

Dari mulutnya keluarlah pernyataan bahwa Yogyakarta tak akan dilanda banjir karena dilindungi oleh pegunungan. Mungkin yang bersangkutan tidak pernah keluar rumah ke daerah Gejayan atau Jl. Colombo ketika hujan. Mungkin juga tak berteman dengan akun FB Keliling Yogya sehingga tak tahu perkembangan terkini Kota Yogya. Yang paling membuat saya sedih ialah pernyataan bahwa Surabaya itu masuk ke zona waktu Indonesia Tengah. Oh, dapat informasi apa selama di sekolah?

Yang paling menyebalkan ialah fakta bahwa mereka membongkar tenda sekitar pk. 09.00. Kami kira mereka sengaja datang pagi lalu mendirikan tenda dan menginap satu malam di Sadranan. Tapi ternyata setelah membuat kegaduhan yang tidak perlu tenda itu hanya digunakan beberapa jam saja. Kenapa tidak tidur di mobil? Kenapa tidak berpikir bahwa ada manusia-manusia lain yang sedang lelap di dalam tenda yang sudah jauh lebih dulu berdiri sebelum mereka datang?

***
Seringkali kita sebagai pejalan, terlebih ketika pergi berombongan, merasa bisa berbuat seenaknya. Karena ramai. Karena kita punya massa. Karena jika ramai kepercayaan diri bisa mencapai level tertinggi. Memberikan toleransi kepada pejalan yang lain seperti dianggap sesuatu yang tak perlu dilakukan. “Ngapain, wong kita jumlahnya lebih banyak kok!”. 

Hal sederhana seperti mengurangi volume suara saat bicara atau tertawa sering luput dari kesadaran. Barangkali kita merasa bebas berteriak di malam hari karena berpikir penghuni lain di pantai ini pastinya sudah tertidur lelap. Tiba-tiba kita lupa bahwa ada beberapa orang yang mudah terganggu tidurnya karena faktor suara. Belum lagi ketika kita memainkan cahaya senter untuk bercanda dengan teman sendiri. Kita lupa bahwa cahayanya tak hanya menerpa si teman melainkan juga orang lain.

Selembar kaos yang kita kenakan bertuliskan “Save Our Adventure” seolah bisa menegaskan bahwa kita adalah pejalan sejati. Pejalan tulen. Pejalan yang pejalan. Sebuah simbol yang membuat kita bangga dan merasa keren meski sudah merugikan orang lain.

Pejalan-pejalan seperti ini di mata saya tak lebih dari orang-orang yang kurang piknik tapi merasa sudah melakukan perjalanan ke berbagai penjuru dunia. Pejalan yang hanya ambisius akan kunjungan ke satu tempat namun melupakan esensi dari perjalanan itu sendiri.

Comments

Popular Posts