Ekspedisi Banyuwangi [Hari 1]

Kendaraan yang akan mengantarkan kami ke Banyuwangi

Banyuwangi, 27 Januari 2015

Perjalanan berkereta Yogyakarta - Banyuwangi

Kereta Sri Tanjung akan mengantarkan kami ke Banyuwangi hari ini. Berawal dari niat untuk mengulik tentang cerita kopi di sana hingga rencana kunjungan ke salah satu tempat wisata arus utama membuat saya, Krisna, dan Mbak Mel berlibur di saat orang kebanyakan bekerja :)

Kami berangkat pk. 07.30 dari Stasiun Lempuyangan. Dengan harga tiket Rp 105.000, kami menempati gerbong 1. Kondisi gerbong seperti berasal dari era 80an. Kesan lawasnya begitu kental. Heran juga dengan PT KAI yang membuat kebijakan penarikan subsidi kereta eko jarak jauh dari Januari hingga akhir Februari 2015 ini. Gerbong butut kok ya dikasih harga mahal.

Ini menjadi perjalanan pertama saya berkereta ke daerah paling timur Pulau Jawa. Pun jadi perjalanan paling lama dengan kereta. Rasa bosan pasti datang lebih cepat. Namun, kami beruntung karena mendapatkan pinjaman "radio" gratis di seberang tempat duduk. Bayangkan, nonstop dari Yogyakarta hingga Surabaya. Agak terganggu atau kresek-kresek jika kereta melewati jembatan atau saat pintu gerbong lupa ditutup.

Radio itu berwujud mahasiswi semester 4 di salah satu kampus swasta di Yogyakarta. Baru kali ini saya dengar ada orang yang tidak berhenti bicara selama itu. Ada saja yang diobrolin. Diawali dari pembicaraan dengan satu orang lalu merembet ke dua orang lainnya yang duduk berdekatan.

Petugas membawa pop mi yang sudah diseduh air panas dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Pop mi ini termasuk makanan yang laris manis. Tapi, kami tetap tak tergoda :)
Kami selalu membawa bekal dari rumah ketika bepergian dengan kereta. Lebih murah, minim sampah, dan lebih sehat :)
Sebenarnya antara terpaksa dan tidak si mendengarkan siaran dari kubu sebelah. Namun, karena isu yang diangkat seringkali bikin ketawa jadi ya didengarkan saja. Heran juga ternyata ada orang-orang yang membahas bencana jatuhnya QZ8501 dengan bersenda gurau. Mereka membicarakan nestapa orang lain dengan canda yang tak pada tempatnya. Miris.

Yang paling parah ialah, -sama dengan pengalaman saat berkemah di Sadranan- si Radio mengklaim kalau di Pulau Jawa ini tak ada tambang. Padahal titik akhir perjalanannya ialah Surabaya. Tak jauh dari situ ada Lapindo yang sudah memporakporandakan Sidoarjo. Itu adalah efek orang kurang piknik yang lepas dari sangkar. Sempit!

Oh ya, dari siaran mereka kami juga menangkap tentang persepsi pekerjaan. Teman ngobrol si Radio kebetulan mahasiswa geologi. Sementara si Radio mengambil jurusan perencanaan kota. Kira-kira begini percakapan mereka.

Mahasiswa Geologi: Kira-kira kalau di tambang jadi karyawan gajinya ya 10 sampai 15 juta lah. Tapi mending masuk ke AMDAL aja. Duitnya bisa lebih besar. 
Radio: Oh gitu ya. 
Mahasiswa Geologi: Iya, mending besok "main"nya di AMDAL aja. Mudah.
Radio: Iya, ntar geologi kan butuh buat peta perencanaan tu, ntar aku yang buatin.

Ckckckck, pantas saja AMDAL sekarang isinya perlu dipertanyakan. Tidak heran karena sejak di bangku kuliah si pembuat kebijakan ini orientasinya memang sudah uang. Kali ini saya benar-benar sedih.

Masih banyak lagi isi siaran yang bikin terpingkal-pingkal. Bisa sepuluh halaman kalau saya ceritakan semua di sini. Di Surabaya kami berpisah dengan Si Radio. Karena sudah merasa teman, lawan bicara si Radio membawakan barang bawaannya turun dari kereta.

Pintu air Jagir yang bisa disaksikan saat memasuki Stasiun Surabaya Gubeng
Gerbong 1 mulai panas karena pendingin ruangan tak bekerja optimal. Mbak Mel mulai gerilya mengecek gerbong-gerbong lainnya. Dari Surabaya gerbong 1 yang awalnya berada di depan kemudian pindah jadi gerbong paling akhir.

Akhirnya di Stasiun Pasuruan kami bedol desa ke gerbong yang lebih kosong dengan pendingin ruangan yang lebih bekerja lebih optimal. Harga gerbong ini pasti lebih mahal. Bisa mencapai Rp 170.000 per tempat duduk.

Saat melewati Leces saya teringat pabrik kertas lawas yang diakuisisi PT RNI. Dari Leces ke Ranuyoso pemandangannya cukup bagus. Kami menembus deretan hutan sengon. Efek dramatis tercipta karena ketinggian rel lebih rendah dibanding dengan hutan di sekitarnya. Kalau disyuting pasti keren sekali :)

Menuju Stasiun Tanggul, tiba-tiba ada pengumuman dari ruang masinis. Isinya tentang stasiun pemberhentian berikutnya dan himbauan untuk memastikan tidak ada barang bawaan yang tertinggal. Wah, dari Lempuyangan sudah ada 15 stasiun yang disinggahi, tapi kok baru sekarang ada pengumuman. Mungkin ketika lepas dari Surabaya Gubeng para petugas jauh lebih selo. Mungkin.

Rumah bambu di Rambipuji
Di daerah Rambipuji, mungkin masuk Jember, saya melihat ada banyak rumah bambu besar. Awalnya saya berasumsi mungkin itu kandang ayam. Tapi sepertinya bukan karena di beberapa titik, di rumah bambu tersebut terdapat truk yang melakukan bongkar muat bambu. Apakah itu tempat penyimpanan bambu. Saya belum bertanya pada mbah google.

Waktu singgah di stasiun Jember terbilang cukup lama. Ternyata ada inspeksi mendadak dari pegawai Dishub. Pantas saja, di beberapa stasiun sebelum memasuki Stasiun Jember para petugas mengisi kotak P3K dengan kresek yang berisi obat-obatan. Biasanya kotak P3K itu tanpa penghuni. Saat menuju stasiun ini pengumuman disampaikan dalam dua bahasa. Bahkan saat kereta berhenti lagu "Selimut Tetangga" diputar hingga dua kali. Mungkin bagian dari efek sidak.

Kami menikmati senja yang indah saat melewati Stasiun Kotok. Bulat kuning matahari yang siap turun dari singgasananya itu mengingatkan saya pada adonan mentega ibu saya yang akan digunakan untuk mengoles permukaan kue nastar agar kian cantik. Sulit sekali untuk mengabadikan momen ini dengan kamera. Jadi, saatnya menikmatinya dengan ciptaan Tuhan yang paling jos bernama mata.

Sekitar pk. 20.00 kami tiba di Stasiun Karang Asem, Banyuwangi.

Banyuwangi

Mas Helmy yang menghubungkan kami dengan pemilik homestay sudah menunggu di depan pintu masuk stasiun. Bersamanya ada seorang mahasiswa Geodesi UGM asal Solo yang juga akan menjelajahi bumi Blambangan.

Ternyata tempat kami menginap hanya sepelemparan batu dari stasiun. Tidak sampai lima menit jalan kaki. Nama penginapannya "AZKA" yang kelak saya ketahui diambil dari nama cucu  pertama si pemilik homestay.

Sebelum menempati kamar kami berbincang santai di ruang tamu. Intinya, semua orang menanyakan tujuan kami. Ketika kami bilang bahwa Desa Kemiren menjadi tujuan utama mereka sepertinya agak heran. Lho, kenapa bukan Ijen? Tiap orang yang ke Banyuwangi mestinya singgah ke Ijen. Lalu, nama Ijen selalu mewarnai hari-hari kami selama di Banyuwangi.

Lucunya, ketika bicara transportasi menuju Ijen, mereka bilang tidak ada transportasi umum. Hal yang memang kami temukan sebagai fakta keesokan harinya. Menurut mereka, dulu memang ada transportasi menuju Ijen, -yang pastinya tidak sampai ke titik Paltuding-. Namun, karena masyarakat lebih memilih kendaraan bermotor maka transportasi menuju PT Chandi Ngrimbi, tempat yang dijadikan titik kumpul para pejalan yang ingin menumpang truk ke Paltuding, menghilang. Hal tersebut berlaku juga pada transportasi umum menuju Desa Kemiren.

Mas Helmy bercerita bahwa memang saat ini angkutan umum di Banyuwangi seperti hidup segan mati tak mau. Warga kota memilih kendaraan pribadi ketimbang harus membayar Rp 5000 jauh dekat -hitungan melewati satu terminal-. Sementara wisatawan yang ingin berkunjung ke destinasi indah nan memukau di Banyuwangi seperti "dipaksa" untuk menyewa motor/mobil atau naik ojek.

Mas Geodesi misalnya. Ia mengambil paket blue fire Kawah Ijen senilai Rp 200.000. Menurut informasi perjalanan dimulai pk. 23.00 WIB. Lalu mereka akan turun dari Ijen sekitar pk. 09.00 atau 10.00 WIB. Murah atau mahal? Saya juga belum bisa menilai.

Diarahkan terus menerus ke Ijen sebenarnya agak bikin malas juga. Setiap orang kemudian seakan ingin tahu atau kepo tentang rencana kami di Banyuwangi. Meskipun demikian, ujung-ujungnya selalu saja disodori kawah Ijen. Kawah Ijen itu seperti Malioboro di Yogyakarta. Belum ke kawah Ijen ya sama saja belum pernah menginjakkan kaki di bumi Blambangan.

Tabik!

Comments

Popular Posts