Ekspedisi Banyuwangi [Hari 2]: Menyantap Nasi Tempong & Bahasa Osing

Warung Bu Dawisah di tepi jalan utama Desa Kemiren (dok. Armely)

Desa Kemiren, Banyuwangi, 28 Januari 2015

Rasa-rasanya tak akan kasruh meskipun terus “ditempong”.

Hanya ada dua motor yang diparkir di depan warung ketika kami datang. Beberapa orang lelaki sedang menyantap panganannya masing-masing. Bu Dawisah, pemilik warung tampaknya baru saja menyelesaikan ulekan sambal untuk nasi tempongnya.

Nasi tempong, panganan khas Banyuwangi yang berada di urutan teratas mesin pencari google ini menjadi menu pembuka kami hari ini. Bu Dawisah menanyakan tingkat kepedasan sambal yang kami pesan. Kami bilang sedang-sedang saja. Tak enak juga memulai hari dengan sarapan yang terlampau pedas.

Mengulek sambal istimewa :)
“Kalau orang Osing makan nasi tempong langsung pakai tangan,” jelas Bu Dawisah ketika satu di antara kami menanyakan keberadaan sendok. Saya pun mencoba saran Bu Dawisah. Meskipun konsekuensi setelah menyantapnya tangan akan terasa panas. Tapi tak apalah. Saya ikut cara lokal.

Nasi tempong ini sebenarnya seperti nasi rames pada umumnya. Pembedanya ada pada sambal dengan tingkat kepedasan luar biasa. Krisna yang biasanya doyan melahap semua makanan serba pedas nyaris menangis. Rasanya seperti ditempong atau ditempeleng.

Bisa saja tiap tempat menyajikan sambal yang membuat orang merasa ditempong. Lalu apa keunikan sambal tempong ini? Kuncinya ada pada jenis tomat yang digunakan. Mereka menggunakan tomat ranti sebagai teman cabe dan bawang di dalam cobek. Tomat ranti ini akan memberikan rasa asam pada sambal. Jadi rasa sambal tempong ini meskipun pedas luar biasa tapi tetap segar yang bikin mulut tidak bisa berhenti mengunyah.

“Orang sini pakenya tomat seperti ini Mbak, jelek,” ujar Bu Dawisah ketika kami menanyakan jenis tomat yang digunakan. Ah, tentu saja tidak Bu. Mana ada tomat yang jelek. Tomat jelek itu jika ia datang dari Cina. Ups.

Penampakan tomat ranti (dok. Armely)
Lagipula jika tomatnya jelek tak mungkin bisa menciptakan sambal luar biasa enak seperti ini. Yang perlu dicatat ialah kami memesan sambal tanpa penyedap rasa. Dan rasa sambal tetap nikmat.

Sebagian besar masyarakat Banyuwangi memang menggunakan tomat ranti untuk bahan memasak. Tak jauh dari warung Bu Dawisah saya juga menjumpai kebun bibit yang menjual bibit ranti. Ranti disebut tanpa kata tomat. Rasanya ingin saya bawa pulang ke Yogya meskipun tak yakin mampu membuatnya bertahan hidup.

Menurut Litbang Pertanian Jatim, tomat ranti sudah populer di Madura sejak masa pendudukan Belanda. Namun saat itu Belanda menghembuskan isu bahwa mengkonsumsi ranti menyebabkan kebodohan akut. Udang di balik batu si Belanda ialah agar pribumi tak memakan sayuran lezat penuh gizi itu. Cerita yang sama dijumpai pada kopi.

Nasi tempong dengan lauk yang sederhana
Nasi tempong yang kami pesan tandas. Hanya menyisakan rasa pedas yang menagih. Pengunjung warung pun datang silih berganti. Ada yang makan di tempat. Ada pula yang dibawa pulang. Para pembeli ini memancing rasa penasaran. Apakah mereka ini warga Desa Kemiren atau desa tetangga?

Warung Bu Dawisah ini bagi saya nyaman sekali. Meskipun berada tepat di tepi jalan utama Desa Kemiren namun tetap bikin betah. Mungkin karena dinaungi oleh beringin besar di depannya. Eyup kata orang Jawa. Teduh. Jika dipadu dengan angin sepoi-sepoi maka seorang insomnia pasti akan terlelap di bangku yang saya duduki saat ini. Lalu jika insomnia itu pecinta kucing maka tidurnya akan sempurna karena di warung ini terdapat seekor Garfield berwujud hitam keabu-abuan yang super malas.

Anggota gerombolan pemalas Desa Kemiren :)
Untunglah sambal tempong ini pedasnya bikin mata melek. Jadi kami tetap berada di dalam rel percakapan yang mengangkat isu seputar Osing.

Terlebih setelah Pak Idin, yang juga sepupu Bu Dawisah, datang. Beliau mengajak kami memasuki ranah bahasa Osing. Bagi saya ketika mereka bercakap-cakap rasanya terdengar sedikit aneh. Ada dialek Madura, Bali, Banyumasan, dan Jawa dalam lafal yang mereka ucapkan. Tak ada kata yang bisa saya mengerti.

Menetap hampir 11 tahun di Yogya ternyata tak membantu saya untuk mengenali bahasa Osing yang sebenarnya masih satu akar dengan bahasa Jawa pada umumnya. Meskipun saya suka mendengar mereka ngobrol tapi lama-lama bikin pusing juga. Tapi tak menyebabkan trauma atau kasruh dalam bahasa Osing. Saya justru makin penasaran.

Mereka melafalkan "ai" untuk huruf "i" yang berada di akhir kata. Misalnya, bupati dilafalkan bupatai, kopai untuk kopi, dan matai untuk mati. Jika "sing" dalam bahasa Jawa yang saya kenal berarti yang, maka "sing" dalam bahasa Osing artinya ialah tidak.

Bagi Pak Idin bahasa menjadi sesuatu yang menarik. Di manapun ia berada sebisa mungkin ia akan mempelajari bahasanya. Bahasa membantunya untuk melebur dengan lingkungan yang baru.
Ketika ia mengetahui bahwa saya berasal dari Jambi ia pun berkisah tentang pengalamannya selama di Muara Bungo, Jambi. Saat itu ada tetangganya yang meminjam tokok besi padanya. Ia bingung dan bertanya pada si peminjam. Ternyata alat yang dimaksud ialah palu. Satu kosakata baru masuk ke dalam kamus hidup Pak Idin. Satu kosakata lama bagi saya yang mungkin hampir 11 tahun ini tidak pernah saya gunakan. Perasaan rindu menyeruak dalam tawa saya.

Pengalaman lainnya ialah ketika Pak Idin berjumpa dengan teman baru sesama orang Jawa. Dari dialek teman barunya ia bisa tahu asal daerah mereka. Kemampuannya membuat saya takjub. Rasanya pasti keren sekali jika bisa tahu asal pasti seseorang hanya dari dialek yang ia gunakan.

Sesal tak dapat ditolak. Kicauan Agustinus Wibowo untuk mempelajari bahasa masyarakat destinasi telat saya baca. Meskipun itu untuk kasus bahasa asing tapi ternyata tetap berlaku bahkan untuk di Pulau Jawa. Bahwa nikmatnya bahasa persatuan itu belum tentu dirasakan oleh semua orang di Jawa ini. Lagi-lagi saya terlalu menyepelekan persoalan bahasa Jawa.

Jika cerita para pejalan yang ke Jepang menuturkan bahwa mereka pada akhirnya terpaksa menggunakan bahasa tarzan untuk berkomunikasi maka saya mengalaminya di Kemiren. Ketika mencoba berbincang dengan seorang simbah yang sedang merontokkan padi saya merasa sangat kesulitan. Untuk bertanya nama sudah susah sekali. Boro-boro ke pertanyaan selanjutnya yang lebih mendalam. Saya hanya mendapatkan lokasi rumah karena ada rumah yang masih dalam pandangan, lalu saya tunjuk, dan si simbah mengiyakan.

Hal yang sama saya alami pada simbah-simbah berikutnya yang saya jumpai di Kemiren. Namun, meskipun kesulitan berkomunikasi kami tetap bisa ngobrol. Saya mencoba menggunakan bahasa Jawa Ngoko, Bahasa Indonesia, dan bahasa isyarat ketika ngobrol. Lumayan berhasil.

Lalu saya teringat cerita Bu Nah saat makan malam pertama di Banyuwangi. Dulu ada satu keluarga dari Australia (kalau tidak salah) yang tertarik bahasa Osing. Mereka memutuskan tinggal dan belajar bahasadi Desa Kemiren. Setelah lancar mereka pulang kembali ke tanah airnya.

Sebuah bentuk pengorbanan untuk mendalami bahasa baru. Dengan bahasa sekat-sekat pembatas seakan sirna. Ya, meskipun si beberapa kasus berlaku untuk bahasa tubuh. Tapi saya mengamini pendapat Pak Idin bahwa bahasa itu selalu jadi hal yang menarik.

Pembuka nasi tempong sebagai amunisi untuk mencari cerita kopi di Desa Kemiren hari ini kian sempurna dengan kata kasruh yang menempel di kepala. Namun begitu tampaknya kami tetap membutuhkan seorang penerjemah untik mengeksplorasi desa ini. Untuk meminimalkan asumsi dan menekan ke-soktahuan.

Comments

Popular Posts