Balada Kopi Kemiren

Sedikit biji kopi yang dijemur salah seorang warga di Desa Kemiren
Ketika kamu berdagang kopi, cukuplah perjualbelikan kopinya. Jangan manusianya.

Kopilah yang menuntun saya ke Banyuwangi. Daerah di ujung timur Pulau Jawa ini tiba-tiba menarik perhatian saya. Sempat suatu ketika saya menanyakan iseng kepada penyeduh kopi paling ngehits saat ini di Yogya tentang keberadaan kopi Banyuwangi di dalam wadah kaca koleksi kopinya. Namun, saya tak mendapat jawaban memuaskan dan malah dikira “tengkulak” kopi dari sana.

Desa Kemiren menjadi titik tolak untuk mencari tahu lebih banyak tentang kopi di Banyuwangi. Kenapa Kemiren, kenapa bukan Kali Bendo? Karena Kemiren berada di halaman depan mesin pencari google. Lagipula Desa Kemiren sudah menggelar acara minum kopi dalam dua tahun terakhir ini. Kian menegaskan bahwa budaya ngopi begitu kuat di sana. Sedari awal saya tak hanya mencari pohon kopi melainkan juga budaya ngopi di suatu tempat.

Meskipun demikian, kedatangan saya ke Kemiren oleh orang Banyuwangi tidak dibaca sebagai pencarian akan kopi melainkan hasrat untuk berenang di kolam pemandian. Mungkin pemandian di Kemiren memang super heboh sehingga muncul sebagai ikon Desa Kemiren.

Tak seperti ketika mampir ke Bangka yang penuh dengan warung kopi nan hidup sejak pagi, di sepanjang jalan utama Desa Kemiren hanya ada tiga warung makan. Lho, warung kopinya mana?

“Orang Kemiren itu kalau ngopi, kopinya beli lalu digoreng dan ditumbuk sendiri,” ujar seorang bapak menjawab keheranan saya. “Di dalam rumah orang Osing pasti tersedia kopi hitam,” tambahnya. Mungkin itu sebabnya mereka tak menyediakan warung kopi karena tiap rumah sudah mandiri menyeduh kopinya masing-masing.

Istilah “sekali seduh kita bersaudara” pun menari-nari di kepala. Apakah itu berarti kopi merekatkan hubungan antar manusia hanya ketika terjadi kunjungan ke rumah? Tidak seperti gambaran saya di awal yang menempatkan istilah itu di dalam warung kopi. Sama halnya ketika saya meresapi cerita Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas-nya Andrea Hirata yang mendeskripsikan warung kopi sebagai titik pertemuan yang meretas sekat pembatas. Rasa-rasanya “sekali seduh kita bersaudara” itu pas sekali untuk kondisi di dalam sebuah warung kopi tradisional. Namun, tampaknya saya belum sepenuhnya memahami istilah itu untuk konteks Osing khususnya di Desa Kemiren.

Orang-orang di warung juga menyarankan kami untuk pergi ke Kali Bendo atau Kampung Anyar. Karena di sanalah letak perkebunan kopi. Kami harus menunggu mobil bak terbuka yang biasanya lewat tiap pukul 13.00. Menurut mereka tidak ada kebun kopi di Desa Kemiren. Padi menjadi tulang punggung pertanian di sini.

Lebih mudah menjumpai sawah ketimbang kebun kopi di Kemiren
Lalu kenapa bisa muncul citra Kemiren sebagai daerah yang memiliki budaya ngopi yang cukup kuat? Festival Ngopi Sepuluh Ewu bisa jadi kunci untuk memecahkan rasa penasaran saya. Festival yang sudah digelar dua kali ini ternyata cukup ampuh untuk mencitrakan Kemiren sebagai daerah kopi di Banyuwangi. Bahkan, spanduk festival tahun kemarin masih dipasang di depan warung tempat saya nongkrong.

Warga menyebut Pak Iwan sebagai inisiator dari acara tersebut. Pak Iwan yang sebenarnya pendatang di Kemiren ini membangun sebuah hunian bernama Sanggar Genjah Arum. Di dalam kompleks rumahnya kita bisa menjumpai beberapa rumah dengan arsitektur tradisional Banyuwangi. Beberapa tulisan yang saya baca menyebut Pak Iwan melakukan konservasi atas arsitektur tradisional Banyuwangi yang terancam punah atau bahkan sudah punah.

Pak Iwan ini pencicip (tester) kopi kelas dunia. Begitu yang saya tangkap dari banyak tulisan dan pendapat beberapa teman yang pernah jumpa langsung dengannya. Maka tak heran jika kopi menjadi pintu masuk untuk melebur dengan warga Desa Kemiren.

Saat kami mencoba bertandang ke sana Sanggar Genjah Arum seperti tak berpenghuni. Tenang sekali. Dan memang sangat indah. Seperti rumah impian jika saya punya banyak uang. Rumah-rumah tradisional berkumpul di dalamnya. Ditambah dengan kehadiran beberapa pohon buah yang menyenangkan seperti durian :)

Artike-artikel yang saya baca memberi kesan bahwa jika kita berkunjung ke Kemiren maka jangan lewatkan untuk mampir menyeruput kopi asli Osing di Sanggar Genjah Arum. Saya membayangkan bahwa Genjah Arum ini bisa diakses publik karena menyediakan ruang seperti warung kopi. Wah, pastinya saya tak akan melewatkan momen tersebut.

Namun, saya sedang tak beruntung. Menurut informasi warga, Pak Iwan sedang ke Amerika. Sanggar Genjah Arum pun tutup. Saya pun mencoba menyelidik. Masih dari informasi warga, ternyata tak semua orang bisa masuk ke Genjah Arum. Pendapat warga diamini oleh beberapa teman yang pernah beruntung singgah ke sana. Memang tak semua orang bisa ngopi  di sana. Saya kecelik tulisan para blogger. Atau mungkin “warung” kopi di Genjah Arum buka pada saat-saat tertentu. Kalau begitu silakan mencoba peruntungan jika ke Kemiren :)

Dari beberapa penuturan warga, Pak Iwan memberikan pelatihan kepada pemuda Desa Kemiren untuk mengolah kopi. Lalu mereka membuat produk kopi sendiri sebagai cinderamata ketika berkunjung ke Kemiren. Saat festival kopi berlangsung katanya kita bisa melihat para ibu menggoreng dan menumbuk kopi dengan cara tradisional.

Tiba-tiba Desa Kemiren tak hanya dikenal karena komunitasnya yang masih kuat menjalankan adat istiadat. Kopi menjadi isu baru yang mampu memanggil penikmat kopi amatiran seperti saya untuk singgah ke sini.

Lalu bagaimana pendapat beberapa warga tentang festival Ngopi Sepuluh Ewu itu? Sepenangkapan saya, mereka masih abu-abu untuk menilai baik tidaknya festival kopi ini. Mereka bercerita bahwa saat festival berlangsung Pak Iwan memberikan bubuk kopi gratis (ada yang bilang 250 gr, ada juga yang berpendapat 1 kg) ke tiap rumah. Lalu warga pun menyajikannya gratis untuk setiap tamu yang datang. Acaranya digelar di sepanjang jalan utama Desa Kemiren. Ruang tamu pindah ke depan rumah dan itu menyenangkan menurut mereka.

Tak hanya kopi yang gratis. Panganan ringan pun disediakan tiap rumah secara gratis. Nah, di sini mulai ada pendapat bernada miring. Jika kopi yang dibagikan gratis kepada mereka, mungkin tak masalah jika harus menyajikan gratis kepada pengunjung. Namun, bagaimana jika harus ditambah dengan menggratiskan panganan untuk menyambut orang-orang yang jumlahnya tak sedikit?

Kalau dipikir-pikir, festival kopi ini bukanlah gagasan dari warga. Penyelenggaraannya mampu menyedot perhatian para pejalan dari penjuru Nusantara bahkan dunia. Mungkin ada satu dua pejalan yang tak menghabiskan waktunya berkunjung ke obyek wisata lain di Banyuwangi. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui oleh pemerintah Banyuwangi. Namun, mengapa warga juga turut menanggung ongkos acara yang jadi bagian dalam promosi pariwisata Banyuwangi? Toh, urat nadi mereka tergantung pada padi di sawah, bukan pada kopi ataupun pariwisata.

Lantas kenapa harus kopi? Kenapa bukan padi? Kenapa tidak memperkuat kehadiran padi dalam konteks kehidupan keseharian warga Osing? Apakah kita pun harus turut mengikuti kehendak pasar, ketika cokelat sedang naik daun maka kembangkan cokelat, ketika kentang sedang berjaya maka jatuhkan pilihan pada kentang. Ketika semua hal itu bisa dikawinkan dengan pariwisata maka tak ada jalan lain selain menyilangkan antar komoditas. Agar lebih tumbuh, agar lebih sejahtera, keberlanjutan dipikir belakangan saja. Tapi bukankah pariwisata yang terburu nafsu justru akan menimbulkan masalah baru? Ah, mungkin rentetan pertanyaan itu hanya ada di kepala saya yang kebetulan masih dangkal dalam memetakan masalah kopi di Kemiren.

“Kita ini seperti diperalat,” tutur seorang warga. Pernyataannya merespon pertanyaan-pertanyaan saya tentang geliat kopi di Kemiren. Bahwa ada seorang pendatang yang membangun hunian di sini kemudian “merangkul” warga lewat kopi. Lantas siapa yang diuntungkan dengan kegiatan tersebut, warga atau pendatang? Sebagai informasi, Desa Kemiren ini dikenal sebagai tempat tinggal komunitas Osing “terakhir” karena masih menjalankan dengan penuh kesadaran segala aturan-aturan hidup orang Osing. Dan ketika hal itu dipandang sebagai sebuah potensi maka saya serahkan sepenuhnya kepada Anda. Bagaimana jika potensi tersebut kemudian disandingkan dengan kepentingan pemilik modal? :)

Ketika kami mulai menelusuri ruang-ruang di Desa Kemiren, barulah saya sadari bahwa tak begitu banyak pohon kopi di sini. Hanya satu atau dua rumah yang punya pohon kopi. Itu pun tak banyak. Mungkin untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja. Seorang bapak mengarahkan kami ke kebun dengan lebih dari dua pohon kopi di belakang desa. Menurut dia, bibit kopi didatangkan dari Kampung Anyar. Dan saya tebak jenis robusta lah yang ditanam di sini karena ketinggiannya dari muka air laut hanya sekitar 400 m.

Ketika bertanya ke tiga orang simbah yang saya jumpai selama berkeliling, mereka mengaku meminum kopi hitam sedari dulu. Kopi yang mereka minum ialah kopi olahan sendiri. Mungkin sedikit melegakan bagi saya bahwa bisa memperkuat dugaan saya bahwa warga Kemiren memang peminum kopi. Namun, apakah mereka memang terbiasa berbagi kopi lewat sebuah acara massal masih perlu penelusuran lebih lanjut.

Dari serpihan informasi tentang Kemiren dan kopinya saya kok malah tergoda dengan sentilan seorang teman, “Justru penasaran kenapa tempat ini dinamakan Kemiren. Mana pohon kemirinya?.”

Comments

Popular Posts