Membaca Museum #1: Museum Education in the Context of Museum Functions [Cornelia Bruninghaus-Knubel]

Selama ini ketika berkunjung ke museum saya kok lebih banyak mengkritik ketimbang memuji. Begitu juga ketika mengikuti sebuah program jalan-jalan ke museum. Alih-alih bahagia atau takjub dengan kreativitas anak muda penyelenggara saya justru malah prihatin melihat acara yang masih terjebak dengan semangat bersenang-senang tanpa isi. Tapi apakah saya akan selamanya protes atau "ngece"? 

Timbunan ingatan yang tak penting itu membikin saya menantang diri saya sendiri. Selama ini saya mengkritik apakah sudah mengantongi dasar teori tertentu atau hanya atas azas logika? Nah, dari situ saya terpikir untuk puasa kritik dan memperbanyak makanan bacaan terkait museum. Maka sebagai pembuka saya memilih tema "museum educator".

Beberapa bulan yang lalu Dinas Kebudayaan Yogyakarta membuka lowongan untuk staf "museum educator". Saya pun sempat bertanya ke dua orang yang bekerja di museum terkait hal itu. Apakah mereka paham yang dimaksud dengan "museum educator"? Ternyata jawabannya tak seperti apa yang saya pahami, mereka mengatakan bahwa "museum educator" itu tak jauh berbeda dengan pemandu museum. Sementara menurut saya "museum educator" merupakan orang-orang yang bekerja memberikan roh pada museum. Mereka bekerja untuk menghasilkan program museum, menjadikan museum lebih hidup karena menawarkan banyak aktivitas kepada pengunjung. Tak hanya di situ "museum educator" juga pastinya berperan dalam proses penyajian koleksi museum agar bisa dipahami oleh publik/pengunjung.

Nah, saya menemukan sebuah artikel dalam buku keluaran UNESCO Running A Museum: A Practical Handbook [2004]. Penulisnya Cornelia Bruninghaus-Knubel, saat itu menjabat kepala departemen pendidikan Museum Wilhelm Lehmburck, Duisburg, Jerman. Poin-poin yang dibahas antara lain: Collections and education; Developing and managing museum education; Museum education and the community; Designing educational programs:the basic principles; Choice of teaching and learning methods in museum education; Museum publications; Types of didactic material common ly used in museums; Extra mural activities; Informal education.

Saya tentunya tak akan menyoroti satu per satu poin yang diangkat oleh Bu Cornelia. Tapi pertanyaan awalnya untuk museum bisa menjadi pijakan yang sama untuk mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan "museum educator". Sebenarnya museum itu untuk apa sih? Apa tujuan semua usaha untuk mengumpulkan, merestorasi, dan memamerkan objek-objek tersebut? Tentunya bukan hanya sebagai lahan penelitian bagi peneliti atau area bekerja untuk kurator kan? Bukan juga hanya sebatas kebanggaan dalam merepresentasikan kebudayaan dari sebuah bangsa.

Pengetahuan dan koleksi yang ada di dalam museum diperkenalkan kepada publik -ke semua orang dari beragam usia dan latar belakang- untuk membuat mereka berpartisipasi di dalam kancah pengetahuan dan kebudayaan. Maka dari itu penting sekali dipertimbangkan bahwa setiap hal yang akan dilakukan di museum harus ditujukan untuk melayani dan meningkatkan pengetahuan masyarakat.

Dalam isu pendidikan, museum menjadi bagian dari sektor informal. Museum memperluas pendidikan formal dan menawarkan cara yang berbeda untuk belajar, menikmati, dan berdialog. Yang saya gambarkan -mengutip dari Bu Cornelia- merupakan kondisi yang super ideal tentunya :)

Sementara itu di dalam museum, sektor pendidikan akan menambahkan dan melengkapi pemahaman dan cara untuk menikmati koleksi dan tata pamer. Peran penting sektor pendidikan di semua lini manajemen museum menjadikan sektor ini sebagai satu dari tujuan di dalam kebijakan museum. Tanpa sebuah komitmen dalam bentuk kebijakan, sektor pendidikan museum hanya akan dilihat sebagai cara memasarkan museum untuk meningkatkan jumlah kunjungan.

Issues in the planning and management of museum Programmes (from Eileen -Greenhill, Museum and Gallery Education, Leicester University Press, 1991) [diambil dari artikelnya Bu Cornelia]
Tampaknya kita mengalami masalah global yang sama. Di era yang super cepat berubah ini orang-orang cenderung melupakan atau meninggalkan sejarah mereka sendiri. Begitu juga dengan budaya dan tradisi yang semakin tergerus. Orang-orang pun seakan kekurangan pengetahuan mengenai kebudayaan orang lain. Nah, Bu Cornelia menempatkan museum sebagai institusi yang mampu mempromosikan dan meningkatkan kesadaran terhadap kekayaan pusaka alam, budaya, dan saujana.

Dari Bu Cornelia juga saya baru tahu kalau berdasarkan General Assembly ICOM yang kedelapan pada 1965, museum harus mempekerjakan staf khusus sektor pendidikan. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan peran pendidikan di dalam museum. Orang-orang yang mengisinya memiliki kualifikasi sebagai guru yang kemudian diberikan pelatihan tambahan dalam disiplin museum atau akademisi (termasuk kurator) yang sebaliknya diberikan tambahan pelatihan di dalam metode pendidikan.

Namun, sayangnya hampir 40 tahun berjalan (2004), pendidikan masih diperlakukan sebagai kepentingan kedua di dalam museum. Berarti tidak begitu penting. Meskipun di dalam museum tersebut terdapat departemen khusus pendidikan, namun tetap saja posisinya rendah di dalam struktur organisasi museum.

Seperti apakah orang-orang yang mengisi pos "museum educators" ini? Di banyak negara, tidak ada pelatihan khusus untuk mempersiapkan orang-orang yang akan mengisi sektor pendidikan di museum. Namun demikian, yang terbaik untuk seorang "museum educator" harus memiliki kualifikasi (biasanya pada jenjang S2) dari berbagai latar belakang. Sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan arkeologi, biologi, sejarah, fisika, psikologi, atau manajemen pendidikan yang akan menyediakan pengetahuan dasar pedagogi. Sebagai tambahan, pelatihan museologi mutlak dibutuhkan, apakah melalui kursus (kali ini dibaca sebagai sekolah lagi :D) atau melalui pengalaman sebagai seorang "trainee" di sebuah museum. Beberapa kursus pengajaran mungkin dibutuhkan, tapi penting untuk dipahami bahwa belajar di museum bisa menjadi sangat berbeda dari belajar di sekolah.

Jadi kalau museum hanya punya satu staf untuk pendidikan -dan biasanya dibilang lebih baik ada daripada tidak sama sekali- itu kayak hemsyong juga karena pasti ga bisa fokus. Ya masak pendidikan  S2 tapi harus mengurusi pekerjaan administrasi kayak memesan tiket, mendistribusikan materi publikasi atau mencetak materi belajar mengajar karena dia tidak memiliki asisten untuk mengurusi hal-hal administrasi. Ini seperti mengerjakan semua hal sendirian, dari riset hingga cetak materi. Sebenarnya akan tidak efektif juga tak ekonomis sih.

Nah, untuk menyiasatinya menurut Bu Cornelia boleh lah dibuka lowongan untuk pekerja paruh waktu yang bisa menangani urusan kantor. Tapi staf itu juga dilatih dalam hal komunikasi, presentasi, dan hal-hal yang terkait dengan pekerjaannya. Untuk itulah seorang "museum educator" harus jadi pemimpin atau manajer seperti dalam sebuah tim.

Selain itu pekerjaan "museum educator" ini juga membangun relasi dengan "museum educator" dari museum lain. Tentunya untuk tetap mendapatkan informasi terbaru terkait museum dan juga berjejaring.

Karena sedari awal harus meramu bahan untuk disajikan dan ditawarkan kepada pengunjung, maka "museum educator" ini dianggap sebagai orang yang paling dekat dengan pengunjung. Mereka memiliki pengetahuan yang mumpuni terkait harapan dan kemungkinan reaksi yang akan muncul dari kelompok masyarakat yang berbeda.

Maka tak heran jika "museum educator" dipandang sebagai ahli museum dalam hal hubugan dengan publik/pengunjung. Mereka dituntut untuk bisa memahami kebutuhan dan harapan dari kelompok pengunjung yang berbeda. Mereka harus menyumbangkan informasi vital terkait persepsi, kemampuan intelektual, dan ketertarikan dari publik terhadap museum.

Mereka juga harus mengetahui metode pendekatan yang akan ditawarkan, apakah itu ditujukan untuk pengunjung individu dewasa atau anak-anak, kelompok khusus atau sekolah? Pengunjung kemudian tidak lagi ditempatkan hanya sebagai konsumen dari produk kebudayaan dan pengetahuan, melainkan sebagai mitra dalam proses belajar bersama.

Terkait dengan metode penyampaian informasi kepada publik, Bu Cornelia menyinggung soal pendekatan klasik pemanduan dengan media bicara. Menurut dia, daripada menjelaskan semua informasi kepada pengunjung, biarkan pengunjung mengeksplorasi dan mencari tahu, menjelaskan dan mengalami apa yang mereka lihat. Museum educator membantu untuk menemukan makna bagi diri mereka.

Nah, pastinya hal itu membutuhkan seperangkan peralatan untuk pengunjung bisa melakukan eksplorasi. Saya sepakat sekali dengan poin ini. Hal itu yang menurut saya dibutuhkan oleh museum-museum di Indonesia. Ketika kita selalu berkutat pada tampilan dan koleksi maka kita akan mengabaikan publik/pengunjung. Yang kita butuhkan adalah museum yang "hidup" lewat program-programnya yang melibatkan pengunjung. Jika tidak demikian maka museum akan -lagi-lagi- terjebak pada target untuk mendatangkan pengunjung sebanyak-banyaknya tanpa melihat manfaat apa yang bisa diberikan oleh museum.

Jadi, apakah sudah tergambar apa sebenarnya "museum educator"? Apakah mereka hanya berperan sebagai pemandu museum? Atau mereka berperan sebagai orang yang mengkomunikasikan nilai-nilai yang beragam dan aspek-aspek budaya, sejarah, dan alam kepada pengunjung? Silakan menyimpulkan sendiri :)


Tulisan ini merupakan bagian dari menantang diri sendiri untuk bisa konsisten membaca artikel terkait museum selama 30 hari tanpa berhenti. Apa yang dituliskan di sini merupakan hasil membaca kembali artikel-artikel tersebut.

Comments

Popular Posts