Membaca Museum #3: The museum comes to school in Columbia: teaching packages as a method learning

Kali ini saya membaca sebuah artikel berjudul The museum comes to school in Columbia: teaching packages as a method learning (Ivonne Delgado Ceron & Clara Isabel Mz-Recaman). Artikel ini dimuat dalam buku The Presented Past: Heritage, museums and education (ed. Peter G. Stone & Brian L. Molyneaux) yang terbit pertama pada 1994. Saya mencetak mandiri versi ebook terbitan 2006.

Saya memilih artikel ini karena harus fokus pada isu museum dan pendidikan. Lagipula judul artikel tampak menarik karena masih jarang saya dengar ada museum di Indonesia -Yogya khususnya- yang mendatangi sekolah. Yang terjadi ialah museum didatangi pelajar -terutama lewat program Wajib Kunjung Museum-.

Menurut penulis, sepertinya sudah bukan waktunya lagi memandang museum sebagai tempat untuk menyelamatkan dan melestarikan objek-objek dari masa lalu. Museum harus menempatkan diri sebagai institusi yang mampu menjawab beragam persoalan masyarakat modern. Dengan demikian museum tidak lagi terjebak pada stigma sebagai pengumpul materi kebudayaan semata. Oleh sebab itu museum harus bekerja bersama dalam sebuah sistem pendidikan yang tentunya memiliki tantangan yang sama, memberi solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat modern.

Sementara itu di dunia pendidikan juga mengalami sedikit persoalan terkait pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Para siswa dihadapkan pada kewajiban untuk menghapal nama, tanggal, dan peristiwa, tanpa diajak untuk melakukan analisis. Di sinilah museum berperan dalam menyediakan tempat untuk menyuarakan kebebasan berpendapat. Museum berkewajiban untuk melestarikan tinggalan dari masa lalu untuk tujuan pendidikan dan komunikasi untuk masa depan.

Pendidikan dan museum

Ketika belajar sejarah, anak-anak seharusnya bukan diberikan pengetahuan tentang masa lampau, melainkan kesadaran bahwa masa lampau ada di sekeliling mereka. Hal itu hanya bisa dilakukan ketika kita mengganti sistem pengajaran tradisional (yang hanya menuntut anak-anak menghapal angka tahun dan nama serta peristiwa) dengan aktivitas yang membuat anak-anak mampu belajar mengenai lingkungan mereka secara langsung.
It is not the storing of set of prefabricated ideas, images, feelings or beliefs, etc., but  learning to look, listen, think, feel, imagine, believe, understand, choose and desire...it implies learning to recognise oneself as a human being...and acquiring the ability to give back to the world one's own version of a living, active being, who is at the same time a self-manifestation and a self-realisation (Peters & Dearden 1985, p.38)
Tinggalan bersejarah seperti gereja, plaza kota, museum bisa digunakan oleh guru dan diintegrasikan ke dalam strategi untuk mengajarkan ilmu-ilmu sosial. Kontak langsung dengan lingkungannya membuat anak-anak mengembangkan fakta ke ide dan observasi ke penjelasan. Dengan demikian lingkungan pun menjadi sebuah metode pengajaran dengan sendirinya.

Pendekatan dinamis untuk menggunakan koleksi museum sebagai bahan di dalam pengajaran sangat dimungkinkan. Pameran dan program-program lainnya harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang spesifik seperti menciptakan rasa antusias, merangsang rasa ingin tahu, mengajarkan teknik dasar sebuah keahlian, mempromosikan sistem belajar yang aktif, memperjelas proses dan metode, dan untuk menyediakan informasi dan memancing kesadaran.

Museum tidak akan mengubah pengunjung menjadi ahli di bidang-bidang tertenu, namun menguatkan mereka, baik individu maupun kelompok, untuk membangun kapasitas guna mendapatkan pengetahuan di dalam konteks baru.

The 'Museum Comes to Your School' project
Penulis menggunakan contoh program yang dilakukan oleh The Museo del Oro atau Museum Emas. Museum ini menyiapkan sebuah program ke sekolah yang dilengkapi dengan paket mengajar -semacam peralatan dan perlengkapan- yang didasarkan pada koleksi arkeologi masyarakat pra Kolombia.

Program ini merupakan proyek pionir, dikenal sebagai 'The Museum Comes to Your School', dimulai pada 1986 dan diikuti setahun uji coba dan investigasi dari proyek-proyek pendidikan museum di Eropa dan Amerika Utara. Program ini resmi diluncurkan di Kolombia pada 1987.

Proyek ini dikembangkan oleh tim Pelayanan Pendidikan Museo del Oro, dibantu guru-guru dan para antropolog. Mereka menyusun tiga tema umum yang berhubungan dengan perbedaan di dalam kebudayaan pekerja emas di Kolombia; (1) A Look at our Ancient History, (2) The Muiscas and their Pottery, (3) The Muiscas and their Stone Tools, dan diujicobakan pada para siswa di Bogota.

Berdasarkan pengalaman tersebut paket-paket kemudian dimodifikasi dan ditambah; (4) Trading among the Pasto Indians, (5) The Chief of the Pasto Indians. Melihat kesuksesan uji coba di Bogota, museum memutuskan untuk memperkenalkan program ini ke khalayak yang lebih luas. Pada 1988 program ini diluncurkan di Bogota dan museum-museum regional di sembilan kota lainnya.

Penggunaan paket untuk mengajar merupakan metode yang efisien untuk menunjukkan informasi dan melibatkan siswa ke dalam aktivitas belajar mengajar. Paket tersebut didesain tidak hanya untuk mengkomunikasikan fakta dan ide, tapi juga memberikan siswa pengalaman dalam mengikuti metode ilmiah, selain itu juga menambah kemampuan riset mereka.

Apa saja bentuk paket pengajarannya? Tiap paket terdiri dari contoh-contoh objek pra sejarah yang asli, sebuah buku panduan, poster dan petunjuk untuk aktivitas, permainan dan hiburan.

Aktivitas yang dilakukan berupa membagi beberapa artefak ke masing-masing kelompok untuk diobservasi. Lalu objek-objek tersebut diperiksa oleh tiap siswa. Tiap kelompok akan mendiskusikannya dan memperdebatkan aspek-aspek seperti bagaimana objek tersebut dibuat, terdiri dari bahan apa saja, apa artinya dan fungsinya di masa lalu dan apakah itu berkaitan dengan beberapa aspek dalam kehidupan siswa.Setelah itu guru akan memandu siswa untuk menggali lebih dalam mengenai objek yang bersangkutan di dalam situasi budaya mereka dan mereka diminta untuk membuat perbandingan dengan pengalaman mereka masing-masing.

Penulis juga menekankan poin perbandingan dalam aktivitas tersebut. Bahwa penggunaan perbandingan menjadi strategi belajar yang efektif karena hal itu membantu siswa untuk melihat hubungan di antara benda-benda/hal-hal. Penggunaan materi di sini sangat penting karena hal itu bisa membangun ketertarikan dan keingintahuan siswa. Penelitian juga mengamini bahwa kegiatan observasi pada gambar dan pengalaman yang mereka dapatkan lebih mudah diingat ketimbang penjelasan secara lisan/oral.

Jadi berdasarkan artikel ini saya melihat museum pada saat itu -1986- memiliki inisiatif untuk mendekatkan koleksi kepada para siswa melalui medium pendidikan. Yang terpenting museum menawarkan metode alternatif dalam pengajaran ilmu-ilmu sosial -dalam hal ini sejarah-. Saya sangat takjub mengingat itu terjadi di era 80-an dan ketika melihat kondisi museum di sini rasanya kemajuan dalam hal pendekatan ke publik kok ya lebih tertinggal dibanding era 80-an.

Tulisan ini merupakan bagian dari menantang diri sendiri untuk bisa konsisten membaca artikel terkait museum selama 30 hari tanpa berhenti. Apa yang dituliskan di sini merupakan hasil membaca kembali artikel-artikel tersebut.

Catatan: Saya bolos satu hari, Sabtu (18 April 2015) dan tidak menulis hasil bacaan karena mengerjakan PR untuk Museum Sonobudoyo.

Comments

doni said…
terimakasih infonya,
sangat menarik dan bermanfaat,,
KWA Wardani said…
Terimakasih sudah mampir Mas Doni :)

Popular Posts