Kesan 100% Yogyakarta
Buku saku yang dibawa pulang. |
Pertunjukkan 100 % Yogyakarta semalam sungguh menghibur. Betul-betul membikin hati bahagia. Selain itu juga menyentil perasaan yang terlalu jarang disentil.
Kami bertepuk tangan di beberapa bagian. Untuk memberi dukungan. Untuk menunjukkan bahwa kami ada di posisi yang sama dan merasa terwakili oleh teman-teman di atas panggung. Untuk mengungkapkan rasa setuju. Juga untuk sekedar bertepuk tangan.
Dibuka oleh seorang pegawai Badan Pusat Statistik, pertunjukan dibuka dengan uraian angka-angka. Tentang komposisi populasi manusia penghuni Yogyakarta. Tentang data manusia yang bersekolah di Yogyakarta. Bahkan tentang persentase jenis burung di Yogyakarta dibandingkan dengan total yang ada di Pulau Jawa.
Lalu, satu per satu pendukung 100% Yogyakarta tampil memperkenalkan diri. Mereka dipilih berdasarkan lima parameter, yaitu usia, jenis kelamin, agama, komposisi keluarga, dan lokasi tempat tinggal. Informasi yang disampaikan berbeda tiap orang. Ada yang hanya memperkenalkan nama dan aktivitas. Ada juga yang menyisipkan humor hingga pantun. Hingga orang yang ke seratus dan pertunjukkan inti pun dimulai.
Pengelompokan berdasarkan tempat tinggal. |
Pergerakan pertama, orang-orang berkumpul sesuai dengan tempat tinggal. Di layar tampak batas-batas wilayah di Provinsi Yogyakarta. Dari Sleman hingga Bantul kita bisa melihat persentase berapa orang yang berasal dari tempat-tempat tersebut. Ow, ini keren sekali. Mereka menyajikan statistik dalam bentuk pertunjukan nan dinamis. Andai saja pelajaran statistik dulu seperti ini. Saya takut akan meraih juara olimpiade :D
Selanjutnya ada dua papan besar bertuliskan SAYA dan BUKAN SAYA. Orang-orang kemudian berkumpul sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Semisal, siapa yang pernah melanggar hukum? Bagi yang merasa maka akan berkumpul di titik SAYA, sementara sisanya berkumpul di BUKAN SAYA. Begitu seterusnya.
Yang menarik, peserta 100% Yogyakarta ini sangat beragam. Dari ibu rumah tangga, anak bayi, aktivis kespro, transgender, korban 65, ODHA, veteran, simbah-simbah, hingga anggota kelompok garis keras yang knalpot motornya sering kami dengar ketika masa kampanye atau perayaan ultah organisasinya.
Yang menarik lagi, presentasi statistik tidak monoton. Ada beragam cara penyajian. Selain menggunakan papan SAYA dan BUKAN SAYA, mereka juga menggunakan payung berwarna, trap, membagi domain panggung menjadi beberapa bagian, menggunakan papan warna-warni, hingga suasana gelap yang direspon dengan cahaya senter sebagai jawaban. Pokoknya keren banget lah!
Penyajian data lewat trap/tangga |
Mereka juga menggelar sesi interaksi dengan penonton. Beberapa penonton yang disaring berdasarkan kriteria tertentu seperti pekerjaan formal, seniman, akademisi, diberi kesempatan untuk melontarkan pertanyaan yang sifatnya non personal.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan cukup beragam. Dari yang berhubungan dengan Jogja, seperti tingkat rasa aman, keinginan terhadap pembangunan kota, moda transportasi, hingga hal-hal yang lebih personal seperti ketakutan akan masa depan.
Anak-anak pun diberi ruang khusus. Mereka diberi pertanyaan seputar dunia anak, misalnya siapa yang punya kamar sendiri, siapa yang di masa depan membayangkan akan terlibat dalam sebuah peperangan, atau siapa yang mau merawat orang tua ketika mereka menghadapi masa tuanya?
Sebagian besar pertanyaan yang dilemparkan menarik bagi saya. Jawaban yang didapatkan pun cukup bikin ketawa atau ternganga. Satu pertanyaan dengan jawaban yang bikin takjub, “Siapa yang ke sini naik bus?” Hanya satu peserta dari 100 orang yang naik bis ke TBY. Sisanya naik selain bis :) Setidaknya cukup mewakili moda transportasi yang digunakan oleh sebagian besar warga Jogja.
Peserta yang naik bis ke TBY :) |
Menurut saya isu personal seperti, siapa yang dalam setahun ini tidak melakukan hubungan seks, mungkin bisa diganti. Atau siapa yang sudah pernah selingkuh, lebih baik diganti dengan siapa yang membuang sampah tidak pada tempatnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja tidak hanya ditujukan pada peserta di atas panggung. Penonton pun diajak untuk melakukan refleksi terhadap diri sendiri. Sehingga acara ini bukan saja bersifat menghibur melainkan memberikan efek samping. Kita jadi berpikir ulang terhadap perilaku keseharian kita untuk menciptakan Jogja yang lebih nyaman dihuni tentunya.
Namun, abaikan saja kritik saya itu. Acara ini 100% sangat kreatif. Angka-angka dalam statistik disajikan dengan penuh warna. Ceria. Segar dan meninggalkan kesan. Memberikan ruang untuk orang-orang yang tak bisa bersuara menyuarakan pendapatnya. Saya merasa beruntung pas ada di Jogja karena acara ini bagian dari tur 100 tempat di dunia. Dan Yogyakarta menjadi kota pertama di Indonesia yang disinggahi.
Comments