Sekarang, Candi Itu Tempat Piknik Kekinian


Satu dekade silam saya bersama teman seangkatan menginap di Candi Ijo. Kami kelelahan dan malas pulang sehabis survei rute untuk ospek jurusan. Beratap langit teduh kami berbaring di atas kaki candi. Sebagian lagi bergadang dan mengambil tempat beralas matras di halaman candi. Bintang jatuh banyak sekali. Dalam hati saya pun menyelipkan sebait doa. Ah, indah sekali saat itu. Saat Candi Ijo belum populer. Belum dilirik sebagai tempat untuk menghabiskan sore menanti momen matahari terbenam. Pun belum terlintas sebagai tempat untuk foto selfie yang kekinian.

Saya seperti bernostalgia sesaat. Lalu segera tersadar dengan teriakan seorang anak kecil yang merengek minta difoto berkali-kali. Mereka sedang piknik keluarga rupanya. Si anak pun rupanya sudah sangat akrab dengan kamera. Di sudut yang lain sekelompok remaja sibuk mengatur tongsis agar bisa merekam wajah keseluruhan anggota geng. Sementara itu sepasang remaja asik berduaan di bawah pohon talok tak jauh dari candi utama. 

Ternyata saat ini Candi Ijo tak perlu menunggu akhir pekan atau sore hari untuk mendapat perhatian dari pengunjung. Di hari kerja, di teriknya siang, pengunjung seolah rela bertandang ke sini. Demi mendapatkan foto-foto diri terbaik. Maka saya pun cukup kesulitan untuk mengabadikan Candi Ijo dalam keadaan "bersih". Ya, pasrah saja. Harusnya saya bersyukur bahwa dunia candi-candi mulai digandrungi publik.

Tapi memang saya tak bisa dapat kondisi sempurna dari efek kepopuleran candi ini. Beberapa pasang remaja rela naik ke tubuh candi untuk duduk di relung yang sudah tak lagi dihuni oleh arca. Saya masih gagal paham mengapa mereka sampai punya pikiran untuk nangkring di relung arca. Kenapa tidak puas duduk di kaki candi saja. "Karena mereka bisa," tutur seorang teman merespon keheranan saya. 

Belum lagi pasangan-pasangan yang ngumpet di dalam candi perwara yang baru dikonservasi. Satu pasang saya dapati berduaan di dalam candi. Si lelaki baru saja menyelesaikan rokoknya. Abu dan puntung rokok tertinggal di lantai candi. Saya pun menegur dan memberi tahu bahwa tindakannya salah. Semoga saja ingat dan tidak diulangi di candi yang lain.

Melihat fenomena yang sebenarnya tak aneh ini saya jadi bertanya-tanya. Apakah memang sistem pendidikan kita yang mencetak manusia-manusia seperti yang saya ceritakan tadi? Artinya ada efek domino yang disadari atau tidak melanda hampir seluruh remaja Indonesia saat ini. Remaja kini lebih suka mengabadikan foto diri. Tak peduli tentang cerita atau sejarah tempat yang dikunjungi. Yang penting eksistensi tercapai. Apakah hal itu juga akan terjadi di era saya ketika teknologi saat ini sudah dikenal? Ah, sudahlah. Sepertinya saya mulai lelah.

Comments

rakai said…
asyiikkkk....

Popular Posts