Kopi Luwak dan Ingatan Tentang Kopi
Kopi Lencoh dan secangkir kopi di angkringan. |
Ada yang bilang kalau cita rasa itu bisa memanggil semua ingatan tentang peristiwa.
“Kopi rasa air
akuarium,” seloroh seorang teman yang juga penyeduh kopi menanggapi kopi luwak.
Begitu saja responnya –sambil tertawa ngece-
tentang rasa kopi luwak yang digadang-gadang sebagai kopi termahal di dunia itu.
Ia bersama teman-teman penyeduh lainnya jengah –mungkin lebih tepatnya bosan-
dengan kepopuleran kopi luwak. Menurut mereka kopi luwak biasa saja, tak perlu
diangkat sedemikian tinggi. Masih banyak kopi lain yang punya cita rasa
berkelas tapi harganya cukup bersahabat. Lagipula ia memasukkan aspek “perikehewanan”
dan kebersihan dalam produksi kopi luwak. Jadi jika kopi yang tak harus melalui
proses fermentasi lewat feses luwak masih berlimpah, kenapa pula harus merogoh
kocek dalam-dalam hanya untuk segelas kopi rasa air akuarium?
Yang diutarakan
oleh teman penyeduh itu sifatnya hanya opini. Toh, dia mengakui hal itu tak
bisa diberlakukan kepada semua kopi luwak. Ada kopi luwak yang memang enak.
Tapi cita rasa enak itu juga bisa didapat dari kopi-kopi lainnya.
Percakapan kopi
luwak itu tak disangka justru memanggil ingatan saya tentang kopi. Aneh. Apa
hubungannya kopi luwak dengan ingatan?
Kapan pertama
kali saya mengenal rasa kopi? Sepanjang usaha saya mengingat, rasa kopi mampir
ke lidah saya saat berlibur ke rumah nenek di Jogja. Saya lupa usia saya saat
itu. Tapi masih sangat kecil karena sepeda putih teman saya bermain masih
diberi roda tambahan sebagai penyeimbang.
Kopi tamu pertama
yang meninggalkan jejak kopi dalam ingatan saya itu bercita rasa manis.
Tampaknya seseorang yang memberi saya kopi itu telah menambahkan gula ke
dalamnya. Saya tak ingat siapa orangnya. Saya hanya ingat bahwa saya merengek
minta kopi karena melihat paman saya minum kopi.
Lantas apakah
kejadian kopi pertama itu menyebabkan saya gandrung akan kopi? Tentu saja
tidak. Kembali ke dunia anak kecil, saya tetap minum susu. Perjumpaan dengan
kopi baru diawali lagi ketika saya menginjak SMA. Kopi yang saya konsumsi untuk
menemani belajar kebut semalam itu ialah kopi instan.
Begitu juga saat
kuliah, masih kopi instan yang saya teguk. Beberapa kali saya sempat mampir ke
warung kopi untuk memesan kopi dengan gula. Saat itu warung kopi masih belum
populer di Jogja. Hanya ada Manut dan Blandongan. Kopi yang disajikan berupa
kopi kental dalam cangkir ukuran mini. Sesekali saya akan mampir ke Kedai Kopi
atau It’s Coffee atau Excelco untuk mendapatkan kopi yang diolah dengan mesin.
Saya juga tak kenal istilah robusta atau arabika di tempat-tempat itu. Yang
saya tahu hanya kopi hitam pekat atau kopi yang sudah dimodifikasi dengan susu.
Saat saya merantau
ke Jakarta petualangan kopi tanpa gula pun dimulai. Informasi tentang efek tak
sehat dari gula dalam kopi menyebabkan saya mempertimbangkan penambahan gula ke
kopi. Jadilah saya mengonsumsi kopi pahit tiap pagi sebelum bekerja. Kopi yang
saya minum saat itu masih kopi bubuk yang menurut “dewa” kopi di Jogja sudah
dicampur dengan jagung.
Aroma dari
Bandung memiliki magnet yang kuat untuk menarik saya berkunjung ke pabriknya
langsung. Dua kali saya menenggelamkan diri dalam aroma kopi di pabrik milik
Pak Wid itu. Di sanalah saya mengenal arabika dan robusta dalam karung goni dengan
usia tertua 7 tahun. Dari Pak Wid juga saya belajar tentang filosofi kopi.
Di Lasem saya mampir ke warung kopi Pak Gendut di depan kelenteng. Di sanalah saya melihat para pengopi melakukan atraksi melukis rokok dengan kopi. Namanya kopi lelet. Senior saya pernah mempraktikkannya di sebuah sore selepas ekskavasi di Gresik. Saya tak akan lupa jejak manis kopi dari cangkir-cangkir kopi di Lasem dan Gresik ini.
Saat sempat mampir ke Bangka, saya tak mau melewatkan momen nongkrong di warung kopi. Gambaran warung kopi yang dinarasikan Andrea Hirata -meskipun itu narasi tentang Belitung- menari-nari di kepala. Kopi dimasak bersama air lalu dituangkan ke dalam gelas-gelas. Kami duduk di depan warung sembari mengudap jajan pasar khas Bangka. Sayangnya saat itu bukan waktu bagi warga berkumpul nongkrong di warung kopi. Jadi saya belum mendapatkan gambaran utuh tentang suasana warung kopi di sana.
Perkenalan dengan
seorang penyeduh mengantarkan saya ke kebun kopi di lereng Merapi. Di kebun
kopi milik Pak Kasno itu saya melihat buah kopi arabika varietas Kartika untuk
kali pertama. Merah buahnya menyebarkan aroma manis. Di situ pula saya tahu
bahwa kulit beserta daging buah kopi bisa diolah untuk menjadi minuman bernama
cascara. Setelah diseduh cascara lebih mirip teh. Saya menyebutnya teh kopi.
Lepas dari Merapi
saya berkunjung ke Plalangan, Lencoh, Boyolali. Masih di lereng Merapi, saya
menyaksikan beberapa pohon kopi yang kono sudah ditanam sejak jaman Belanda.
Ada juga pohon kopi muda peninggalan Megawati saat menyumbang bibit kopi ke
daerah ini. Bersama Mas Wondo saya berkeliling kebun dan rumah warga. Kopi di
sana tumbuh tak teratur. Ada yang menjadi tanaman pembatas di kebun. Ada pula
yang muncul di samping atau di depan pekarangan rumah. Saat ini Mas Wondo
mencoba untuk membudidayakan kopi di lahan tersendiri. Kami harus menunggu
sekitar empat tahun lagi untuk melihat ranum buah kopi.
Di Osing,
Banyuwangi, saya mencoba untuk menelusuri kopi. Ternyata tak banyak pohon kopi
yang ditanam penduduk di sini. Hanya beberapa saja. Meskipun demikian orang
Osing terkenal gemar mengonsumsi kopi. Tampaknya perkebunan kopi terletak di
atas permukiman mereka. Agak sedikit lebih jauh. Dan saya tak sempat
mengunjunginya karena keterbatasan dana.
Pengalaman kopi
di Banyuwangi pun tak seperti yang saya harapkan. Saya tak melihat perkebunan,
hanya melintas saja saat menumpang truk penambang ke Kawah Ijen. Saya sempat
mampir ke dua warung kopi di kota. Geliat warung kopi di sana -2015- sedang
tinggi-tingginya. Namun, saya belum bisa menangkap tradisi ngopi di sini. Mungkin karena saya sudah terperangkap rasa manis
tomat ranti dalam sambal nasi tempongnya Banyuwangi.
Beberapa
kunjungan itu awalnya sempat saya niatkan untuk sebuah penelitian kecil tentang
sejarah kopi. Tapi pertumbuhan warung kopi di Jogja dengan segala liku
politiknya membuat saya bosan. Jengah karena kopi tampaknya tak lagi dilihat
sebagai minuman yang bebas interpretasi. Kopi lebih mirip agama yang dibaca
penganutnya sebagai sesuatu yang fundamental. Jadi saya berhenti sejenak,
hibernasi, dari kegiatan tentang kopi ini.
Lagipula kopi
bagi saya seperti cinta saja. Saya tak mau menghadirkannya terlalu sering,
setiap hari misalnya. Nanti bosan dan saya tak siap untuk kehilangan rasa
petualangan dengan kopi. Lagipula saya kan belum mencoba mencicipi kopi rasa
air akuarium itu.
Comments