Nailaka Sang Penjaga
Pulau Nailaka menjadi tameng bagi Pulau Run saat perebutan kuasa antara Inggris dan Belanda di awal abad 17. |
“Mbak, itu Pulau Nailaka.
Pantainya punya pasir putih. Halus sekali. Bagus,” ujar Fian, seorang remaja
asal Pulau Run kepada saya di atas atap kabin kapal Riskys Expres. Sehari
kemudian kami berada di atas perahu penangkap tuna milik Pak Zuki. Saya,
seorang rekan dari Jawa, dan Fian menuju Nailaka yang sunyi. Saya ingin melacak
jejak Inggris di pulau kecil itu. Menurut catatan, Inggris pernah mendirikan
satu benteng kecil di tengah pulau guna melindungi Pulau Run jika ada serangan
dari Belanda. Sementara itu Fian meyakinkan saya bahwa tak ada benteng di
Nailaka.
Saya sengaja
memilih berangkat pagi dari Pulau Run. Menurut informasi warga biasanya hujan
akan datang sore hari. Perkiraan yang agak melenceng khusus hari itu. Cuaca
cukup cerah ketika kami bertolak dari Pulau Run. Sepanjang perjalanan saya
sempat berpapasan dengan beberapa nelayan yang mencari ikan di atas kole-kole
(sampan). Tapi di separuh perjalanan tiba-tiba cuaca berubah drastis. Ada yang
berubah di cakrawala.
Pulau Nailaka
dengan pasir putihnya yang cantik seolah dikuasai nenek sihir. Awan hitam
berarak seperti berkumpul di atas Nailaka. Air yang terkandung di dalamnya siap
dimuntahkan. Rintik gerimis berubah jadi bulir-bulir jagung yang menggigit kulit.
Kami terperangkap dalam badai.
Saya yang awalnya
tak henti-hentinya mengembangkan senyum, menikmati panorama memukau, kini
bermuka kaku dan harus meringkuk di dalam haluan perahu. Saya berbagi ruang
dengan dirigen solar dan alat pancing. Segera saja peralatan elektronik saya
amankan ke dalam tas anti air.
Rasanya seperti
berada di dalam salah satu adegan Life of
Pi. Bedanya saya tak sedang bersama harimau. Pun bukan saya yang
mengemudikan perahu. Pak Zuki yang kesehariannya bekerja mencari tuna berusaha
sebaik mungkin mengendalikan perahu agar bisa merapat ke Nailaka. Kondisinya
memang cukup sulit karena ombak mengamuk tanpa ampun.
Wah, masak saya
harus berakhir di sini? Di titik yang hanya sekitar 20 m dari bibir pantai yang
oleh warga lokal bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Pulau Run ketika air meti. Bukan guyonan yang menarik di
tengah kecamuk badai. Tapi saya sangat cemas bahwa perahu akan pecah dimakan
gelombang ganas. Bahkan saat itu saya tak bisa berenang. Tamatlah saya.
Namun, saya memang
tak boleh cemas berlebihan. Saya harus percaya bahwa Pak Zuki sebagai warga
lokal pastilah sudah menguasai medan dengan baik. Pak Zuki pasti tahu sekali
mengendalikan perahu di saat seperti ini. Lagipula bukankah ia berkawan dengan
laut sedari kecil? Ia pasti tahu titik yang amat untuk kami mendarat.
Meskipun harus
mencoba tiga kali pendaratan toh akhirnya kami bisa menjejakkan kaki di Pulau
Run dengan selamat. Di kemudian hari saya mengamini kesan orang-orang Inggris
yang mencoba mendarat di sini. Berlayar di perairan Run berarti harus siap
dengan ketidaramahan gelombang laut yang siap menghempaskan kita ke
karang-karangnya.
Kami harus
melalui gugusan karang nan licin untuk sampai ke daratan Nailaka. Harus ekstra
hati-hati jika tak ingin kuyup. Fian menyarankan saya untuk melepas alas kaki.
“Mbak coba rasakan pasirnya, halus banget,” ujarnya menguatkan. Sebuah saran
yang sulit untuk ditolak. Namun tetap saja harus memakai alas kaki jika ingin
menjelajahi bagian tengah pulau karena permukaan tanah didominasi oleh karang.
Inggris membangun
sebuah pertahanan bernama “Defence” di tengah pulau ini. Ada tiga meriam yang
diletakkan di sana. Dengan membangun benteng di atas pulau karang ini mereka
akan dengan mudah menghalau Belanda yang selalu mencoba untuk mendekat. Namun
kenyataan terkadang berkata lain. Mereka tak menghitung angin timur yang mampu
melayarkan kapal Belanda menyusup ke Run. Kemudian kisah Inggris di Pulau Run
dihujani dengan kesialan-kesialan. Hingga pada akhirnya Inggris harus merelakan
Run ditukar dengan Manhattan lewat perjanjian Breda 1667.
Cuaca mulai
bersahabat kembali. Dua kawan saya sibuk bermain air. Sementara saya memilih
membuang sisa cemas dengan membiarkan telapak kaki tersapu gelombang terakhir
yang mampir ke pantai. Di kejauhan saya melihat satu garis tebal berwarna hijau
pekat. Itulah Pulau Ai, yang jadi induk emosional Pulau Run.
Sejurus kemudian
kami memasuki pulau. Menurut peta 1907 ada sebuah baterai (benteng kecil) di
tengah pulau. Mungkin itu mengacu kepada keberadaan Benteng Defence yang
dibangun Inggris. Apakah jejaknya masih bisa dilacak?
Kosong. Tak ada apa-apa di tengah pulau selain
sebuah makam keramat. Fian beberapa kali memperingatkan kami untuk
berhati-hati. “Jangan mengambil gambar makam ya,” ujarnya pelan. Sekilas saya
menangkap rona ketakutan di wajahnya. Bikin saya ikut merinding. Saya pun tak
jadi mengambil gambar. Bukan karena percaya melainkan rinai hujan yang
menghalangi untuk mengeluarkan kamera.
Fian juga tak
tahu menahu makam siapa itu. Ia hanya tahu bahwa banyak orang berziarah ke
sini. Oleh sebab itu ia tak henti-hentinya meyakinkan saya bahwa tak ada
benteng di Nailaka. Ah, andai saja perjalanan ini dalam rangka berlibur maka saya
akan ke Nailaka untuk piknik di pasir putihnya. Tidak blusukan ke tengah pulau.
Saat ini Nailaka
jadi tempat wisata. Baik bagi warga lokal maupun turis. Pasir putih dengan
kemolekan perairannya menjadikan Nailaka jadi idaman banyak orang. Didukung
cuaca cerah mereka piknik di sini. Bermain air dan berjemur di tepi pantai. Satu
kondisi yang sulit dibayangkan ketika Inggris berusaha mempertahankan Pulau Run
dari sini pada awal abad 17.
Comments