Ulasan: Sang Juragan Teh


Ingatan saya melayang ke waktu kali pertama saya menyeruput teh di areal perkebunan teh. Saat itu saya mampir ke Teh Ndoro Dongker di kawasan Kemuning, Karanganyar. Kedai teh itu baru beroperasi. Jadi saya masih mendapat kemewahan berupa penjelasan langsung tentang cara meminum teh ala orang Jawa. Bertahun kemudian sebuah buku dengan gambar sampul seorang pria berkuda berlatar para pemetik teh di perkebunan memikat mata. Buku itu seperti menghubungkan memori rasa  teh Kemuning yang tersimpan di otak dengan rasa penasaran yang tinggi akan kehidupan di perkebunan teh. Mungkin sedikit sama rasanya ketika membaca Mirah dari Banda.

Buku berjudul Sang Juragan Teh karya Hella S. Haase ini menggunakan surat-surat dan dokumen-dokumen dari Arsip Perkebunan Teh dan Keluarga Besar Hindia. Jadi, Haase mengakui bahwa buku ini merupakan roman yang bukan “fiksi”. Di awal cerita nama-nama seperti Eduard Douwes Dekker disinggung. Tak hanya disinggung sekilas melainkan sampai pada karakter tokoh yang selama ini jarang diketahui publik. Membuat saya bertanya-tanya apakah seperti itu karakter asli pencipta Max Havelaar?

Kata-kata indah mengalir sejak halaman-halaman awal buku ini. Mungkin dalam bahasa aslinya bisa jadi lebih memukau. Meskipun di halaman-halaman akhir alih bahasa menyebabkan cerita sedikit sulit untuk dicerna.

Sang Juragan Teh bercerita tentang kehidupan seorang juragan teh bernama Rudolf Eduard Kerkhoven. Di awal cerita digambarkan secara singkat tentang kedatangan awal Rudolf di Gambung. Lalu mundur ke masa-masa Rudolf masih di Belanda. Selanjutnya cerita menggunakan alur maju.

Buku ini cocok sekali dibaca di sejuknya hawa pegunungan. Betapa tidak, kalimat seperti,
“Akhirnya ia tertidur. Kokok ayam jantan membuatnya terjaga. Hari mulai terang. Ia membawa kursi ke luar, lalu menyaksikan dengan takjub bagaimana matahari naik ke cakrawala dan bagai membakar awan-awan di kajauhan. Puncak-puncak gunung tampak seperti digambar di langit. Gumpalan kabut yag berkilau melayang menuruni lembah, membelit batang pohon-pohon rasamala yang menjulang. Hutan penuh dengan cicit dan siul ribuan burung. Suara-suara jernih terdengar dari tempat mandi di tepi sungai yang menggemericik. Aroma kayu bakar tercium di tengah udara pagi.”
Ketika membaca bagian ini rasanya saya berharap satu saat bisa membaca ulang Sang Juragan Teh di pagi hari, di bangku taman belakang vila sambil bermandikan cahaya mentari pagi.

Haase memainkan kata-kata indah yang mengantarkan saya pada kehidupan di perkebunan teh perempat akhir abad 19 hingga awal abad 20. Ia berhasil merasukkan tokoh Rudolf ke diri saya. Bagaimana saya terbawa dengan keuletan, kegigihan, kekeraskepalaan, kejujuran, kebahagiaan, kesedihan, hingga keputusasaan Rudolf. Saya merasa begitu dekat dengan era yang terpaut seratus tahun lebih itu.

Tak hanya itu, Haase menarasikan dengan sangat baik perihal lingkungan alam dataran tinggi Parahiyangan (Preanger). Gambaran tentang sulitnya transportasi pada saat itu terpapar apik. Dan kabar baiknya Haase menyajikan semacam evolusi sistem transportasi. Sejak kedatangan awal Rudolf ke tanah Jawa hingga menetap berpuluh tahun lamanya dan menunggu detik-detik bersatu dengan bumi Gambung.

Bagaimana seorang Eropa tulen bisa jatuh hati begitu dalam kepada tanah subur yang memberikannya kehidupan. Tak terbayang bahwa saat itu ada seorang Eropa yang justru menaruh harapan besar pada tanah di Hindia Timur. Sementara itu tak sedikit pula di antara orang Eropa di Jawa yang merasa canggung dan memilih untuk mati ketimbang hidup dipeluk kesunyian pegunungan.

Sementara di sisi lain digambarkan juga dengan gamblang bagaimana benih-benih kolusi dan nepotisme dipupuk dengan begitu subur. Kedekatan dengan pemegang kuasa akan sangat berpengaruh pada kelancaran penyewaan tanah.  Begitu juga intrik-intrik di dalam perusahaan keluarga. Rasanya agak sulit menalarkan hubungan bisnis yang terasa sadis di antara saudara kandung. Harus ada yang dikorbankan dan nahasnya hal itu menimpa sang tokoh utama.

Nama seperti Daendels juga disebut berkali-kali di sini. Juga tentang pembangunan jalan raya pos yang memakan banyak korban jiwa. Bahwa Haase meniupkan unsur mistis terkait usaha Sang Marsekal Bertangan Besi itu sungguh menggembirakan. Unik saja bagi saya. Di samping Haase juga menyelipkan pendapat-pendapat pro dan kontra tentang jalan raya yang menghubungkan ujung barat dan timur Pulau Jawa itu.

Sang Juragan Teh sangat bagus dibaca oleh orang-orang pemimpi yang bermimpi bisa jadi petani di kemudian hari. Juga oleh orang-orang yang penasaran dengan kehidupan perkebunan di masa kolonial. Akan ada banyak informasi mengenai pemikiran serta gaya hidup berbagai orang Belanda kala itu. Dan akan lebih baik jika membaca buku ini di sejuknya hawa pegunungan. Apalagi jika ditemani secangkir teh atau kopi dengan camilan singkong goreng.

Comments

Popular Posts