Sajian Kuliner di Candi Borobudur

Rinai hujan membasahi Borobudur siang itu (7/12). Beberapa wisatawan yang berada di atas candi mengambil langkah cepat untuk turun. Beberapa lainnya sigap membuka payung karena benar-benar menerapkan pepatah “sedia payung sebelum hujan”. Sementara saya hanya bisa memakai jas hujan sembari menanti bantuan payung dari seorang teman.

Ini kali pertama saya menikmati hujan di atas candi. Kalau bukan karena panil relief tentang penyajian panganan yang menggoda, saya pasti akan menyerah pada hujan. Apa asyiknya berhujan-hujan ria di atas candi?

Bagi saya mengulik segala hal terkait kuliner, dalam rupa lama maupun baru selalu menarik. Dalam Antropologi, kuliner sebagai bagian dari kebudayaan bahkan dikaji khusus lewat Antropologi Kuliner. Kuliner nyaris selalu renyah dalam sajian berupa buku, film, lagu, catatan perjalanan,  naskah-naskah kuna, prasasti, atau bahkan dalam wujud batu yang dipahat.

Di Candi Borobudur isu kuliner menjelma dalam banyak rupa lewat relief-relief yang diukirkan di dinding tubuh dan pagar langkan candi. Sejauh apa kita bisa mengaitkannya dengan kuliner tergantung pada luasan imajinasi kita tentang hal itu. Namun, fokus pengamatan kali ini ialah pada dua panil relief di teras kedua sisi barat dan timur candi. Saya sengaja mengabaikan cerita utuh dari Lalitavistara atau Jataka-Avadana.

Saya harus berjalan perlahan untuk menemukannya. Dengan prinsip pradaksina –berjalan mengelilingi candi searah jarum jam- akhirnya saya bertemu dengan panil yang pertama di sisi barat. Panil itu masuk dalam cerita Jataka-Avadana. Digambarkan di dalam relief, Raja Rudrayana sedang duduk di bale-bale. Di hadapannya tersaji aneka macam makanan yang tersusun rapi. Di seberang sajian itu berdiri dua orang. Yang satu memegang mangkuk dan pengusir lalat. Sementara yang satu lagi membawa tampah dengan wadah berisi makanan di atasnya.


Makanan apa saja yang ada di hadapan sang raja? Cukup sulit untuk bisa mengidentifiksi jenis panganan yang disajikan dalam rupa pahatan batu. Tidak semudah membayangkan lezatnya pindang, empal, pecel, atau ikan gabus goreng telur di dalam prasasti-prasasti yang berasal dari abad 10 M. Yang paling jelas terlihat pada relief ini ialah sajian ikan dan nasi di dalam porsi jumbo. Apakah ikannya dipepes atau digoreng, kembali lagi pada rekaan masing-masing J

Relief kedua ada di sisi timur, teras kedua Candi Borobudur. Relief yang masuk dalam cerita Lalitavistara ini menggambarkan Buddha yang sedang duduk di atas alas yang sederhana. Jamuan nasi dalam wadah besar, serta aneka lauk pauk yang sulit diidentifikasi tersaji di hadapannya. Panganan yang dipahatkan di sini beberapa di antaranya juga dijumpai pada relief sebelumnya. Semua makanan di dua relief tersebut disajikan di atas meja dengan naungan atap.


Kedua relief itu memberikan gambaran budaya makan pada golongan atas masyarakat Jawa tempo dulu. Adegan makan juga tampaknya cukup penting hingga harus diwakilkan dalam relief. Tentang jenis panganan yang terpilih untuk dipahatkan, sepertinya para pemahat sengaja memberikan ruang kepada generasi penerusnya untuk berimajinasi. Yang pasti, relief tentang kuliner di Candi Borobudur ini menambah khazanah cerita makan di Indonesia. 

Comments

Popular Posts