Abdi Dalem: Dilema di Tengah Arus Zaman



Beberapa hari yang lalu saya berbincang dengan seorang teman. Entah kenapa kok kami tiba-tiba membahas tentang abdi dalem Kraton Yogyakarta. Jika mereka ditanya tentang mengapa mau menjadi abdi dalem? Sementara bayarannya tak setimpal. Sebagian besar menjawab, "hatinya tentrem, meskipun dapetnya sedikit tapi ini berkah."

Lalu muncul cerita-cerita tentang kehidupan keluarga mereka yang tercukupi. Tentang anak-anak yang bisa bersekolah hingga jenjang yang cukup tinggi. Tentang kebutuhan sehari-hari yang tak perlu lagi dipusingkan. Karena semuanya seolah dilapangkan. Diberi jalan keluar jika ada masalah di tengah prahara kehidupan. Karena mereka percaya mengabdi pada Kraton ialah pekerjaan yang bukan sembarangan. Ibaratnya tak semua orang bisa merasakannya.

Sementara itu, dengan nada lantang teman saya berpendapat bahwa pekerjaan abdi dalem di Kraton tak ubahnya bentuk feodalisme yang masih lestari. Bentuk dari keberlanjutan sebuah tradisi. Banyak yang menafikan peran istri para abdi dalem ini. Bahwa ketika mereka bercerita tentang anak-anak dengan pendidikan yang baik maka sesungguhnya para istri lah yang banting tulang untuk mendapatkan biayanya. Jika dapur tetap ngebul, maka di belakangnya ada para istri yang tetap menjaga bara dengan sekuat tenaga. Sementara para lelakinya sibuk bikin ritual di rumah raja. Feminis banget yak? :D

Meskipun teman saya itu bukan termasuk aliran orang-orang dengan logika murni. Namun, dalam kasus abdi dalem ini dia tetap bersikukuh tak percaya dengan "mitos" yang selama ini berkembang. "Mitos" yang dijaga sepanjang masa tentang mulianya pekerjaan sebagai abdi dalem.

Persoalan mengenai abdi dalem ini pasti selalu membagi banyak pihak dalam kelompok pro dan kontra. Terutama jika dikaitkan dengan kondisi jaman yang berubah. Kalau saya sih masih masuk ke golongan oportunis ketika melihat ini. Di satu sisi rasanya sayang juga jika abdi dalem ini pupus dan hilang dari lingkungan Kraton. Tapi di sisi lain konsep-konsep feodalisme memang seharusnya ditiadakan di muka bumi ini. Namun di luar sikap mendua saya itu, dalam hati saya terus berharap agar kesejahteraan para abdi dalem ini kian membaik dengan adanya dana keistimewaan Yogyakarta. Kabarnya nilai Rp 2.500 itu telah digantikan dengan angka yang layak. Semoga!

*Bagian -lagi- menantang diri sendiri untuk menuliskan hal-hal menarik selama 30 hari.


Comments

Popular Posts