Coco: Konsep Kematian yang Menyenangkan
(sumber: dari sini)
Selang beberapa jam setelah membaca status seorang teman di dunia maya, adek saya mengajak nonton Coco. "Itu kan film tentang kematian," ujar saya sambil mengingat. Adek saya menjawab lebih polos, "Oh iya? Wah, ga tahu aku." Lalu saya jadi penasaran sendiri dan melihat cuplikannya di Youtube.
Coco menjadi jendela yang sangat jernih untuk melihat budaya kematian di masyarakat Mexico. Kematian bukan jadi hal mengerikan yang dihindari. Bahkan kematian selalu diperingati setahun dalam satu kali dalam The Day of the Dead atau Día de los Muertos atau Hari Orang Mati. Jika merujuk pada banyak artikel yang mengangkat tentang hal itu, maka tanggal 1 dan 2 November jadi hari perayaannya. Namun ada pula yang mulai sejak 28 Oktober.
Tampaknya lokasi yang diangkat di Coco ialah bagian lembah Mexico di mana perayaan ditekankan pada dekorasi altar untuk orang-orang yang telah mati. Tak lupa juga kemeriahan di makam.
Di rumah terdapat ruang khusus untuk meletakkan altar menyerupai Meru. Foto yang diletakkan paling tinggi biasanya leluhur yang paling awal. Di antara foto orang-orang mati itu diselipkan bunga-bunga, benda kesayangan, minuman dan makanan, juga lilin-lilin. Meriah.
Bagaimana dengan di makam? Malam hari makam penuh dengan keluarga dan handai tolan. Makam serupa pasar malam, gemerlap dengan lilin-lilin. Mereka yang berkunjung ke makam membawa aneka makanan dan minuman. Di makam wajah mereka semringah, seperti bertandang ke rumah pacar. Di sini, Coco memberikan perspektif yang teramat beda dengan budaya kematian di sini. Coba ingat film Pengabdi Setan (hihihi, saya pun tak berani menontonnya).
Yang paling menarik ialah penggambaran dunia arwah. Dunia yang tak terjangkau di pikiran saya selain hal-hal mengerikan karena cerita tentang kematian tak pernah lepas dari azab atau siksa kubur. Sementara di Coco, dunia orang mati ya sama seperti dunia orang hidup. Ada bangunan bertingkat, ada petugas keamanan, ada transportasi publik, ada permukiman kumuh, dan juga ada party-party. Yang membedakan hanya bentuk fisik saja. Di dunia orang mati manusia digambarkan seperti tulang belulang layaknya alat peraga saat mata pelajaran biologi.
Nah, saat Hari Orang Mati itulah para arwah berkesempatan untuk "menyeberang" ke dunia manusia. Dengan satu syarat, orang-orang yang hidup masih mengingat dan memasang foto mereka. Jika tak ada lagi yang memasang foto maka para arwah tak bisa menikmati plesir yang cuman satu kali dalam setahun itu.
Tapi yang paling menyedihkan ialah ketika tak ada lagi yang mengingat mereka. Ketika kerabat yang masih hidup tak ada lagi yang mengingat si mati maka itu berarti kematian akhir. Kematian yang bagi para arwah sendiri tak dipahami. Tak ada yang tahu seperti apa rupa kematian akhir. Di bagian ini saya berusaha untuk tidak meneteskan air mata. Konsep kematian yang awalnya terlihat menarik tadi kembali terurai dengan ketidakpastian "Yang Akhir" ini.
Saya jadi introspeksi diri. Seberapa sering saya mengingat kakek dan nenek yang sudah pergi ke alam sana. Atau teman-teman yang sudah mendahului saya. Lalu, bagaimana dengan saya kelak. Akankah ada yang memajang foto atau mengingat dalam memorinya tentang saya?
Sebagai sebuah film yang turut melibatkan antropolog dalam riset ceritanya, Coco wajib ditonton. Coco mampu memberikan sudut pandang lain tentang kematian. Sebuah budaya di Mexico yang lahir antara perkawinan budaya Aztex dengan tradisi Kristen bawaan Spanyol pada abad ke-16. Sebuah budaya yang menawarkan konsep kematian yang menyenangkan.
*Bagian -lagi- menantang diri sendiri untuk menuliskan hal-hal menarik selama 30 hari.
Comments