Slow Living, Sebuah Babak Baru
Saya memulai aktivitas lari pagi di awal Desember ini. Sebagai sebuah bentuk komitmen untuk menjaga diri tetap waras. Ada yang bilang kalau lari bikin tekanan jiwa terurai sepotong demi sepotong. Kesehatan jadi bonus saja bagi saya. Saya menargetkan pengelolaan emosi dengan berlari. Loh, gimana ceritanya? Saya pun tak tahu karena baru mulai mencoba ☺
Berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya, kali ini saya diberkahi lingkungan yang sangat mendukung untuk pertumbuhan jiwa yang sehat. Pepatah "mens sana in corpore sano" tampaknya bisa diwujudkan di sini. Selain itu konsep slow living yang baru saya pelajari sampulnya juga senada dengan lingkungan baru ini.
Di akhir pekan lapangan yang dulunya tempat mengadu kerbau dengan macan ini ramai pengunjung. Sebagian besar tentu saja sedang berolahraga. Sebagian kecil lainnya berburu sarapan atau jajanan SD. Yang terakhir biasanya berolahraga dulu baru menyantap kuliner -apapun itu- kemudian.
Saya hanya sanggup berlari mengelilingi lapangan yang jadi salah satu dari sedikit ruang publik warga Jogja ini sebanyak satu kali. Tiga keliling sisanya saya tuntaskan dengan berjalan kaki. Maklum saya bukan atlet, hanya ingin cari keringat dan pelepasan emosi.
Di kawasan seramai ini, jika merujuk pada hal-hal yang bisa dilakukan dengan konsep slow living tentu saja ada banyak hal yang menarik diperhatikan. Mulai dari alas kaki para "pelari". Saya menjumpai ada beberapa yang menggunakan sandal. Bahkan ada juga yang tanpa alas.
Lalu aura-aura positif yang bermekaran dimana-mana ketika banyak ayah dan anak menghabiskan pagi ini dengan bermain bersama. Saya perhatikan bahkan ada sepasang ayah dan anak yang berganti hingga tiga kali jenis olahraga. Mulai dari lari, bola, dan badminton ☺ Menyenangkan melihat keintiman-keintiman di dalam keluarga dibangun. Tak ada gawai di antara mereka. Yang ada hanya keriaan murni.
Tiba-tiba saya teringat masa kecil. Ketika dibonceng Bapak dengan sepeda menuju rumah Lek Abas. Ritual setiap pagi itu tak saya pahami saat itu. Kenapa setiap pagi hari harus bertandang ke rumah orang? Bukankah itu mengganggu? Kini saya sadari betapa saya bersyukur bisa merasakan momen-momen itu. Itulah salah satu cara Bapak menikmati hidup. Salah satu bentuk slow living yang sudah beliau terapkan jauh hari sebelum konsep itu didefinisikan. Bertandang ke rumah teman, bercengkerama barang sesaat, serta mengayuh sepeda perlahan lebih dari cukup sebagai booster hari itu.
Lalu siapkah saya berjuang untuk membuka halaman pertama buku besar bernama slow living? Pertanyaan yang harus saya selesaikan sendiri setidaknya hingga akhir tahun depan.
*Bagian -lagi- menantang diri sendiri untuk menuliskan hal-hal menarik selama 30 hari.
Comments