"Slow Living", Sebuah Pengantar



Awal Desember saya mulai dengan pagi yang teramat pagi dari rutinitas biasanya. Sebabnya ialah saya harus menjemput adek di Stasiun Lempuyangan. Lalu kami menjalani ritual sarapan di Mi Ayam Bandung, tepat di sisi selatan Pasar Pathuk. Saat kami datang nyaris seluruh kursi terisi pelanggan yang sebagian telah menyantap pesanan dengan khusyuk. Sebagian lagi sabar menanti sambil bercengkerama. Sebagian yang lain sabar mengantre, berdiri di depan warung. 

Kami termasuk yang langsung duduk manis menanti pesanan. Di samping kami duduk seorang pelanggan setia yang sedang fokus menuntaskan bihun dengan asap yang masih mengepul.

Tak lama datang dua orang duduk berhadapan dengan kami. Pesanan pertama mereka datang lebih dulu dari pesanan kami. Semangkuk mi koclok Bandung mendarat mulus di meja, menanti untuk dilahap. Namun, si bapak tak jua mengaduk karena hendak menunggu pesanan istrinya. Tapi menunggu terlalu lama, tak sabar jua ternyata. Maka ia pun mulai mengaduk mi koclok dan menandaskannya dengan cepat. Pesanan istrinya belum juga datang. 

Saya yang juga dalam masa penantian mi manis pedas datang lantas jadi terlalu selo untuk memperhatikan perilaku sepasang manusia di hadapan kami ini. Si istri terus saja resah menanti pesanan. Mengisi penantian, ia menawarkan suaminya tahu goreng yang ternyata hadir dalam menu yang ditawarkan hari ini. Tahu panas datang, sepotong demi sepotong disantap.

Ternyata gelisah singgah lebih cepat dari yang dibayangkan. Si istri menoleh ke kesibukan Om dan Tante Mi Bandung yang sedang menyiapkan pesanan-pesanan. Masih gelisah, ia pun menoleh ke belakang. Tempat datangnya pesanan-pesanan mi. Namun, mi yang dipesan selalu saja melewatinya, malah singgah ke meja orang lain.

Tak tahan, si istri pun memanggil pelayan dan menanyakan pesanannya. Tentu saja dijawab dengan penuh diplomasi. Begitu terus, menoleh dan menoleh, yang kebanyakan ditingkahi dengan muni-muni (ngomel).

Padahal kami yang datang lebih dulu juga belum kebagian. Karena antrean pagi itu memang luar biasa gilanya. Antrean makan di tempat, antrean bawa pulang, ditambah antrean para gojek. Yang terakhir sejujurnya yang bikin senewen. Bukan pada sopir gojeknya, tapi pada pemesan yang terlalu malas melihat dunia luar.

"Aku tahu perasaan Om dan Tante Bandung dapet antrean segini banyak orang. Bahkan lebih banyak dari ini. Jadi kita yang antre sabar saja lah,"komentar adek. Maklum saja, hari-harinya selalu saja diawali dengan barisan orang-orang yang minta pelayanan prima.

Tapi tampaknya si istri memang tak sabaran dari lahirnya. Jadi, menunggu baginya tentu saja bukan sebuah momen yang bisa diisi dengan planga plongo, bengong, atau berbincang dengan suami tercinta.

Mbok ya kayak saya ini. Sambil nunggu yang memang lama sekali itu bisa tetap selo merhatiin mereka. Ngeliatin kucing berjemur di atas atap sambil merapal mantra-mantra pengusir hujan. Sampai mi ayam manis pedas yang dipesan datang dan makan dengan khusyuk. Serupa bapak yang duduk di samping kami. Yang bahkan hapal pesanan-pesanan pelanggan lain ketika para pelayan sibuk mengumumkan pesanan-pesanan yang tanpa nama itu.

Ini awal Desember. Awal dari akhir Si Ayam Api. Awal yang baik bagi saya untuk berkenalan dengan konsep slow living. Juga awal yang baik untuk mengakhiri hidup yang berlalu terlalu cepat tanpa sempat saya nikmati tiap detiknya.

*Bagian -lagi- menantang diri sendiri untuk menuliskan hal-hal menarik selama 30 hari.


Comments

Popular Posts