Ekspedisi Bromo Hari 1: Kisah Berkereta Sembilan Jam


Petugas mengecek sesuatu di atas kereta, Stasiun Probolinggo


Jika sudah pernah melewati satu rute dan harus melewatinya lagi, maka carilah aktivitas menarik agar tak bosan.

Pernah nonton film Up in The Air yang dibintangi George Clooney sebagai Ryan Bingham? Berbeda dengan Ryan Bingham yang tampak menikmati kehidupan dengan slogan “Unpacking Your Backpack”, saya merasa sesak napas dengan jadwal beberapa waktu belakangan ini. Belum genap 48 jam setelah tiba di Yogya dari mudik panjang, saya harus mengemas barang dan bergerak ke timur untuk sebuah ekspedisi.

Berawal dari sebuah ide impulsif di penghujung Mei 2018, Jaladwara –instansi tempat saya bekerja- mendapatkan pesanan khusus. Sama seperti program Eksplorasi 2016, kami juga diminta membuat program liburan anak yang lebih berbobot. Tujuan kali ini ialah Desa Ngadirejo, Kecamatan Sukapura, Probolinggo. Salah satu desa Tengger di kawasan Bromo. Kali ini kami menamakan program ini dengan sebutan populer Ekspedisi Bromo. Agar lebih enak didengar, kami menyingkatnya Eksbro.

Persiapan untuk untuk Eksbro terbilang singkat. Hanya satu bulan sebelum pelaksanaan. Kami memberikan lima tantangan untuk para peserta [usia 12-15 tahun] saat pra ekspedisi. Grafik pemberian tantangan tak kenal garis turun. Bahkan saat malam takbiran pun peserta berjibaku mengumpulkan tantangan. Sebuah usaha yang patut diapresiasi J

Gunung-gunung Dalam Kereta

Bersama Rinta, Krisna, dan Niniek saya menempuh perjalanan lebih kurang sembilan jam menuju Probolinggo. Kami naik Sri Tanjung, kereta ekonomi yang selalu mengingatkan saya pada sensasi perjalanan tiada berujung ketika ke Banyuwangi tiga tahun yang lalu. Namun, kali ini jauh lebih pendek waktunya. Meskipun demikian saya tetap tertantang untuk menjadikan perjalanan berkereta ini berbeda dengan yang sebelumnya.

Kami duduk di gerbong dua. Gerbong penuh dengan penumpang namun pendingin ruangan bekerja dengan baik. Sehingga perjalanan tetap menyenangkan karena tidak panas.

Saya memilih duduk di dekat jendela agar lebih awas dengan hal-hal di luar kereta. Kali ini pemandangan berupa gunung-gunung menarik perhatian saya. Seumur-umur berkereta belum pernah saya punya niat khusus untuk memperhatikan gunung-gunung yang dilewati. Maka ini akan jadi proyek kecil yang seru selama sembilan jam di kereta.

Dibantu dengan kecepatan internet gawai milik Niniek, saya mencatat gunung-gunung yang dilewati. Tentu saja saya tak perlu bertanya ketika melewati Merapi dan Merbabu yang terlihat jelas di kejauhan. Memasuki Sragen, Gunung Lawu menambah daftar gunung baru yang saya amati. Sang Ancala yang dipercaya sebagai tempat moksa Raja Brawijaya V itu sebenarnya menyita sedikit ruang di memori. Di kakinya, berdiri Candi Sukuh dengan energi yang sangat kuat. Di sana saya diplonco sebelum diterima jadi anggota keluarga mahasiswa.

Gunung Lawu di kejauhan.

Berhenti di Stasiun Nganjuk, ada Gunung Ngliman atau Liman ketika menoleh ke kanan. Kelak saya ketahui dari sumber-sumber yang bertebaran di Mbah Gugel, Gunung Liman ini masuk dalam rangkaian Pegunungan Wilis.

Saya juga punya cerita di Gunung Wilis. Pada 2015 saya bersama beberapa orang teman mendaki Gunung Wilis untuk melakukan inventarisasi tinggalan arkeologis. Sayangnya saya lupa naik dari jalur mana. Entah Kediri, Nganjuk, Tulungagung atau Madiun. Saat itu, saya hanya mencatat di buku kecil yang sudah pasti hilang tak jelas rimbanya.

Saya hanya ingat bahwa mendaki Wilis seperti mendaki puncak di atas puncak. Ketika diri sudah merasa berada di puncak ternyata di depan mata masih ada puncak lagi. Capek. Pendakian gunung untuk kali pertama dan terakhir itu juga menyisakan ingatan tentang sayur jantung pisang bumbu Bali racikan Mas Jasing. Rasanya nempel saking enaknya.

Kereta berhenti cukup lama di Stasiun Mojokerto. Mulai dari sini saya bisa puas menikmati deretan Gunung AnjasmoroWelirang - Arjuno. Seketika langsung teringat Trowulan, sebuah kawasan kaya tinggalan arkeologis yang menjadi ibukota Majapahit.  

Setelah melewati area Lumpur Lapindo, di sisi kanan samar terlihat Gunung Penanggungan. Gunung itu menyimpan ratusan tinggalan arkeologi yang hingga saat ini hanya bisa saya baca dalam artikel ataupun laporan penelitian. Penanggungan masuk daftar tempat yang ingin saya kunjungi selanjutnya. Saya ingin melihat langsung petirtaan Jalatunda, Candi Belahan, dan situs-situs lainnya.

Memasuki Pasuruan, menoleh ke belakang, Gunung Arjuno kembali menyapa. Sampai jumpa di perjalanan pulang ya. Mungkin saja saat itu saya terlelap hingga tak sempat bersua lagi dengan Arjuno.

Proyek mini pengamatan gunung-gunung ini bagi saya cukup menantang. Juga mengusir rasa bosan dan kantuk. Meskipun menggunakan bantuan gawai dalam mengenali gunung-gunung, namun ketika menuliskannya kembali tetap harus mantengin google map dengan seksama.

Beruk-beruk yang Belum Kelar Berevolusi

Bagi saya perjalanan kali ini bebas aktivitas tidur. Ada saja yang jadi bahan pengamatan atau obrolan. Salah satunya tentang iklan cerdas nan ciamik dari sebuah perusahaan mobil. Kontennya satir. Di dalamnya menggambarkan bagaimana perilaku berkendara mayoritas warga negara Indonesia di jalan raya. Dari yang lawan arus, mengangkut beban melebihi kapasitas muatan, menelpon sambil berkendara, bonceng tiga tanpa helm pula, menerobos lampu lalu lintas, dan tentunya ugal-ugalan.

Saat sedang asyik ngobrol, bagian punggung saya seperti ada yang menendang. Ternyata Rinta juga merasakan hal yang sama. Dengan desain kursi kelas ekonomi begini, menjatuhkan punggung di senderan kursi secara keras pasti akan memengaruhi penumpang di sisi sebaliknya. Yang kami rasakan bukan hanya “tendangan-tendangan” melainkan sudah mirip pijat refleksi. Sayangnya gerakan-gerakan itu tak kami inginkan.

Ketika saya mencoba membalas apa yang mereka lakukan, pasti sudah tahu kejadian selanjutnya. Seketika oknum penumpang pelaku pijat refleksi yang tak diinginkan itu nyolot dengan logat jawa timuran.

Kebingungan karena tak jelas lagi siapa menindas siapa. Saya pun membalas dengan logat yang sama. Mungkin kaget, untuk sementara si oknum duduk dengan tenang tanpa gerakan-gerakan aneh. Namun, itu tak berlangsung lama. Beberapa saat setelah serangan balik, dia pun berulah lagi. Ya sudah. Saya tunggu turunnya saja.

Kembali ke iklan cerdas yang saya ceritakan tadi. Perilaku si oknum pijat refleksi yang tak dinginkan ini serupa dengan beruk-beruk yang belum kelar evolusinya. Mereka galau, tidak menyadari eksistensinya di dunia ini harus menjadi seperti apa.

Antena dan Geliat Piala Dunia

Ada saja pemandangan di luar kereta yang menyedot perhatian. Seperti saat melewati Nganjuk. Atap-atap rumah dihiasi dengan tiang antena TV model outdoor. Masih banyak juga yang menggunakannya. Dulu sekali keluarga saya pernah punya. Ketika “semut-semut” mulai memenuhi layar dan gambar menjadi tak jelas, maka Bapak akan keluar dan memanjat atap. Di atas, ia akan menggser-geser arah hadap antena, sambil berteriak untuk memastikan bahwa “semut-semut” benar-benar pergi dari layar TV 14” miliknya.

Ramai antena di Nganjuk.

Lain lagi di Bangil. Pemandangan atap rumah diramaikan dengan bendera-bendera peserta piala dunia 2018. Ada bendera Brazil, Inggris, Prancis, Jerman, dan masih banyak lagi. Saya selalu membatin melihat fenomena ini. Meskipun Indonesia tak ikut di ajang bergengsi sepak bola itu, namun tetap saja sebagian besar orang Indonesia juga warga dunia. Mereka punya idola masing-masing. Mereka bersedih dan berbahagia untuk tim andalannya. Saat-saat seperti inilah yang paling menguatkan saya bahwa batas-batas teritorial kenegaraan itu dapat luruh dengan sendirinya. Obat peluruhnya? Apa lagi kalau bukan sepak bola.

Mobil Mini dan Matahari Kuning Telur

Sekitar pkl. 16.00 kami tiba di Stasiun Probolinggo. Pak Marsud, sopir yang akan mengantar kami ke Ngadirejo, sudah berkali-kali mengontak saya. Karena kami harus menuntaskan urusan ke kamar kecil maka kami agak sedikit telat keluar stasiun. Termasuk rombongan yang paling akhir keluar, saya merasakan suasana khas stasiun lawas skala kecil. Jam lama merek FM Ohlenroth yang menempel di dinding bangunan utama jadi satu hal paling memikat. Saya tak sempat perhatikan produsen pembuat kolom-kolom kekar stasiun.

Dengan logat antara Madura-Bali, Pak Marsud menyambut kami dengan ramah. Ia pun langsung mengajak kami ke mobilnya. Di bayangan saya, Pak Marsud akan mengantar kami dengan mobil sekelas Elf. Tapi yang hadir di depan mata ialah Agya.

“Bisa naik ga ya ni mobil ke Ngadirejo? Ketinggiannya sekitar 1700-1800 mdpl lho” batin saya.  Tampaknya strategi yang dipakai Pak Marsud untuk mengantar kami dengan selamat sampai tujuan ialah dengan mematikan AC. Saya pun bantu doa agar mobil tak mogok di tanjakan.

Sepanjang perjalanan yang makin menanjak, kami dimanjakan dengan momen matahari terbenam. “Ini khas banget matahari terbenamnya Jawa Timur,” celetuk Krisna. Saya selalu ingat ceritanya tentang matahari kuning telur yang bikin ia tergila-gila dengan sunset di Gresik. Saat berkereta ke Banyuwangi, matahari di kala senjanya pun indah. Beruntung saja diberi keindahan Sang Surya sebagai penutup setelah perjalanan panjang hari ini.

Tiba di Ngadirejo

Pintu mobil terbuka. Udara dingin langsung menyergap. Kami tiba di halaman rumah Pak Ngawulo. Dalam beberapa hari ke depan kami akan tinggal di sini.

Pak Ngawulo dan istrinya langsung mengarahkan kami menuju dapur mereka. Pastinya untuk mendapatkan hangat dari tungku perapian. Gelas-gelas teh panas mulai disuguhkan. Begitu diseruput tinggal hangat dan manisnya saja. Panasnya menguap bersama asap yang bikin mata pedas.

Menghangatkan badan di dapur.

Tak kuat, kami pun pindah ke ruang tengah. Pak Ngawulo menyiapkan anglo berisi bara. Ah, lebih bersahabat di sini. Kami sedikit bertukat cerita tentang maksud kedatangan kali ini. Juga tentang rencana teknis yang akan kami lakukan selama di sini.

Percakapan tak berlangsung lama. Badan sudah minta untuk diisi dayanya. Kali pertama menginap di rumah suku Tengger. Saya punya kesan tersendiri untuk itu. Yang jelas ini waktunya melihat dan mengalami budaya baru di Jawa.

Menu makan malam pertama di Ngadirejo.

Comments

Popular Posts