Ekspedisi Bromo Hari 2: Orientasi Desa Ngadirejo
Perbukitan Pungguk Lembu, di bawahnya tersebar rumah-rumah impian ala Mooi Indie |
Ketika tiba di satu
tempat baru, hal pertama yang harus dilakukan ialah orientasi. Pengenalan
pertama terkait hal-hal fisik akan sangat membantu untuk mendalami hal-hal tak
teraba lainnya.
Lagu Let Me Love You
nya Justin Bieber feat DJ Snake membangunkan saya. Pagi pertama di Ngadirejo
rencananya akan saya nikmati dengan menyaksikan momen matahari terbit. Setelah
melihat foto hasil survei Rinta, saya pun jadi ingin melihat langsung.
Malamnya saya mengajak Rinta dan Krisna untuk bangun pagi. Namun,
yang terjadi pagi ini ialah tak ada yang bergerak. Saya tahu bahwa sebenarnya
mereka juga terbangun karena alarm saya. Tapi memilh berpura-pura tidak
mendengar ajakan saya. Jadilah saya pun ikut tidur kembali.
Setelah rencana menikmati matahari terbit yang gagal, agenda
pagi ini ialah berkeliling ke rumah-rumah yang akan menjadi tempat menginap
para peserta EksBro. Bersama Niniek kami ketuk pintu ke rumah Bu Shinta dan Bu
Ika.
Mimpi Pak Suki
Rumah Bu Shinta berada di atas rumah Pak Ngawulo. Sepelemparan
batu saja. Kami tinggal berjalan kaki dari dapur Pak Ngawulo. Tidak sampai lima
menit.
Kebetulan Bu Shinta sedang berada di depan rumah. Shinta dan
Novi, adiknya yang masih balita, ikut bergabung dalam percakapan ringan kami.
Tak lama kemudian, Pak Suki, suami Bu Shinta datang menghampiri.
Kami dikenalkan Niniek ke keluarga Bu Shinta. Obrolan pagi
di depan rumah itu berkisar pada nostalgia rombongan Niniek ketika dulu
berkunjung ke Ngadirejo. Tak lupa pertanyaan macam, “kapan nikah?” juga
dilontarkan. Tentunya bukan ditujukan pada kami.
Pak Suki juga menyampaikan keinginannya kalau satu hari
nanti ingin mencoba naik pesawat. Tapi bukan ke Bali. Karena jarak Probolinggo
– Bali ibaratnya sama dengan jarak rumah Pak Ngawulo – Bu Shinta. “Pesawat baru
naik sudah langsung turun,” kelakar Pak Suki.
Sementara Bu Shinta sungguh tak punya keinginan untuk naik
pesawat. “Ibu takut kalau jatuh gimana,” alasannya. Kelak percakapan pertama
dengan keluarga Pak Suki ini yang membuat saya tak aneh lagi ketika melihat Pak
Suki begitu bersemangat menunjukkan pesawat yang melintas di langit Bromo pada
Novi.
Namun yang paling membuat saya grantes ialah ketika tahu fakta bahwa Shinta hanya bersekolah hingga
SMP. Tak lagi melanjutkan ke tahap selanjutnya. Saya tidak mempermasalahkan
jenjang pendidikannya. Melainkan lebih menyayangkan alasan di baliknya. Tapi
saya juga tak ingin menghakimi.
Mau Ke Jogja Asal Tak
Sendiri
Dari rumah Bu Shinta kami berjalan ke utara menuju kediaman
Bu Ika dan Pak Edi. Di jalan sebenarnya kami sudah bertemu Pak Edi. Selanjutnya
bertemu kembali di rumahnya.
Niniek lagi-lagi jadi pembuka pintu bagi kami dalam
menjelaskan kegiatan yang akan digelar beberapa hari mendatang. “Iya gapapa,
santai aja, gapapa,” ujar Bu Ika berulang kali ketika kami menyampaikan maksud
kedatangan.
Berbeda dengan percakapan sebelumnya yang berlangsung
di halaman rumah bersama terpaan
matahari pagi yang hangat. Kali ini kami diarahkan untuk berkumpul di ruang
tamu. Tentu saja lebih dingin karena tak ada sinar mentari.
Ika, anak Bu Ika dan Pak Edi turut bergabung. Ika yang
bersekolah di SMK Pariwisata ini sedikit bertanya tentang latar belakang
program Ekspedisi Bromo. Selanjutnya meluncurlah ajakan Niniek untuk ke Jogja.
Dengan sumringah Ika pun sangat bersemangat dengan tawaran
itu. Terlebih lagi langsung mengantungi izin kedua orang tuanya. Hanya saja
yang menjadi permasalahan, ia tak mau jika hanya pergi sendiri. Meskipun
berangkat bersama kami dan pulang diantar dari Jogja. Jika tak ada teman dari
Ngadirejo maka ia pun tak mau.
Bagi saya pernyataan-pernyataan ini menarik. Mungkin bisa
menjawab rasa penasaran saya tentang tingkat urbanisasi yang rendah di sini.
Namun, ini baru permulaan saja.
Air yang Menggigit,
Cukup Sekali Sehari
Memang sudah saya niatkan untuk tetap menjaga rutinitas
mandi selama di Ngadirejo. Terbukti semalam ketika baru tiba, saya memutuskan
untuk mandi. Begitu pula dengan pagi ini. Namun, ternyata pagi yang sudah
bergeser menuju siang ternyata membuat air kian dingin.
Brrrrrrrr…..dinginnya. Seperti mengguyur badan dengan air
dari dalam freezer. Airnya
menusuk-nusuk kulit. Rasanya seperti digigit semut, tapi jumlahnya sekampung.
Saya tak berani berlama-lama meskipun ada kesegaran yang tersisa. Hikmahnya, di
sini saya jadi lebih hemat air.
Agak aneh memang. Dengan penuh kesadaran, saya tahu bahwa
air di sini sangat dingin. Namun, kenapa sama sekali tak menyurutkan keinginan
untuk mandi lengkap dua kali sehari ya? Meskipun di hari berikutnya ritual mandi
dijalankan satu kali satu hari.
Jalan Kaki ke
Jenggiri
Niniek yang awalnya akan tinggal hingga tiga hari mendatang
ternyata harus pulang hari ini. Maka saya pun tak ingin menyia-nyiakan waktu
bersama si juru kunci :) Saya menodongnya untuk berkeliling. Awalnya saya ingin
dipandu hiking ke Gunung Kidul.
Sebuah tempat untuk menikmati Bromo dari sisi yang berbeda. Namun, perjalanan
ke sana bisa memakan waktu hingga empat jam. Alhasil keinginan saya harus
disingkirkan.
Hal yang lebih mungkin ialah mengunjungi rumah Arif di
Jenggiri. Arif ialah salah satu anak ideologis komunitas BFM (Book for
Mountain). Saat ini Arif sudah bekerja di Jiwa Jawa Bromo. Jadi kami tak bisa
bertemu dengannya. Namun, Jenggiri tetap perlu untuk didatangi karena ada lahan
Bu Shinta yang harus dicek lokasinya.
Saya sangat menyukai aktivitas jalan kaki ini. Banyak hal
baru yang saya amati. Saya mulai memperhatikan tanaman-tanaman. Tentunya tak
ada yang saya kenali kecuali bunga matahari. Namun, kemudian saya mendapatkan
informasi dari Satriya tentang tanaman kaliandra. Agak lucu karena saya pikir
ada banyak binatang seperti belalang yang berloncatan di dahan-dahan pepohonan.
Cletak… jCetak…Cletak… suara kisruh
terdengar ketika melewati pepohonan itu. Ternyata itu pohon-pohon kaliandra yang
punya banyak manfaat.
Tingkat kekepoan dan “keatengan” saya tumpang tindih. Bunga
matahari yang masih kecil saya kira sebagai kenikir. Dengan percaya diri saya
kunyah di depan Rinta. Awalnya biasa, tapi lama kelamaan ada rasa getir yang
aneh. Belum sempat tertelan, semua yang ada di dalam mulut langsung saya
keluarkan.
Raspberry gunung |
Mendekati permukiman warga mulai banyak dijumpai tanaman
murbei. Tapi sepertinya murbei ini tumbuh begitu saja. Karena buah-buah yang
matang dibiarkan jatuh tanpa dipanen. Sementara kami yang jarang melihat murbei
begitu kegirangan. Gumon, begitu
istilah yang tepat untuk menggambarkan ekspresi kami ketika menemui tanaman
murbei. Seperti bertemu mainan baru, kami memetik buah-buah yang berwarna ungu
kehitaman. Rasanya bervariasi dari kecut hingga manis. Segar.
Saya dan Rinta juga mendapati raspberry gunung. “Dulu jadi
menu wajib kalau naik gunung,” terang Satriya lewat WA. Kami sungguh menyukai
buah ini. Rasanya manis, kecut, segar. Sayangnya tak ambil banyak karena takut
beracun. Sebuah pemikiran yang sangat saya sesali. Akibat menggeneralisasi
rumus hewan dengan bentuk menawan dan warna mencolok biasanya berbahaya.
Tanaman untuk Obat?
Rumah Arif tampak tak berpenghuni. Sepi. Ternyata ibu,
bapak, dan kakak Arif sedang berkumpul di dapur. Saat kami menghampiri dapur,
bapak dan kakak Arif undur diri.
Ibu Arif sedang tak enak badan. Ia tak bisa berobat karena
Bu Bidan di Ngadirejo belum kembali. Mungkin juga tidak akan kembali dalam
waktu dekat. Bu Bidan sedang menunggu waktu melahirkan. Namun, tak tampak ada
penggantinya di Ngadirejo.
Sementara itu, Bu Arif merasa paling cocok berobat ke Bu
Bidan. “Ga pernah pakai obat dari tanaman,” jelasnya saat saya tanya apakah
sering menggunakan tanaman sekitar sebagai obat. Karena menurut disertasi Jati
Baroto yang saya baca sebelumnya, masyarakat Tengger menggunakan setidaknya 121
jenis tanaman untuk obat. Lagi, saya mencatat pernyataan manarik terkait
tulisan atau hasil penelitian tentang orang Tengger.
Akhirnya Ngopi Juga
Meskipun kami memaksa untuk tidak dibuatkan minuman, namun
Bu Arif bersikeras. Kami tak enak hati karena beliau sedang tak sehat. Kunjungan
ini malah terasa merepotkan.
Tapi bukankah suguhan tak boleh ditolak? Empat gelas cairan
hitam mendarat mulus di meja kecil. Kehadirannya dilengkapi dengan
toples-toples berisi klithikan. Lumayan juga untuk pelengkap
obrolan.
Suguhan kopi nikmat di rumah Bu Arif |
“Yeah, akhirnya aku ketemu kopi,” bisik Rinta. Sejak survei hingga
kunjungan kedua ini, ia sama sekali tak pernah berjumpa dengan kopi. Sementara
hasrat minum kopi terpendam sejak menjejakkan kaki di Ngadirejo. Ya meskipun
terlalu berlebihan ketika diibaratkan mendapat durian runtuh. Namun, kami
sangat menikmati kopi di suhu seperti ini. Terima kasih Bu Arif J
Jarak Pengganti
Kemiri
Satu hal yang paling saya sukai selama perjalanan ke dan di
Jenggiri ini ialah rumah-rumahnya. Saya menyebutnya sebagai rumah impian.
Bayangkan saja, tiap pagi sarapanmu ialah gugusan perbukitan nan hijau. Sejauh
mata memandang yang ada hanya ladang-ladang miring dan perbukitan.
Tentu saja saya menggunakan perspektif mooi indie. Semua indah adanya. Padahal hidup tentu saja tak
begitu. Apalagi di sini. Dengan kondisi alam seperti ini masyarakat Tengger
tertempa menjadi pekerja keras. Bangun pkl. 02.00 pagi hanya untuk menyiram
sayuran. Lalu dilanjutkan dengan seabrek kesibukan rumah tangga, menjadi ojek
motor dan kuda di Bromo, mengolah lahan pertanian. Nyaris tanpa henti hingga
malam hari.
Uwek Karti menceritakan cara memasak dengan menggunakan bumbu biji jarak |
Kembali ke rumah impian. Sebuah rumah bercat hijau menarik
perhatian saya. Seorang nenek sedang menjemur pakaian saat saya hampiri. Nenek
Karti, begitu ia menyebut namanya. Kelak saya memanggilnya uwek* Karti karena
ternyata masih berhubungan dengan Bu Shinta.
Melihat saya yang gumon
dengan tanaman jarak di samping rumahnya, uwek pun bercerita. “Biji jarak itu
pengganti kemiri kalau di sini,” jelas uwek. Uwek menggunakan biji jarak untuk meragi
atau membumbui rawon. Biasanya untuk meragi lembu atau ayam saat hari raya
Karo. Tinggal tambahkan kunyit, kencur, laos, dan daun jeruk purut. Air liur
langsung terbit mendengar cerita uwek. Rasanya ingin kembali ke sini saat Karo.
Memang ada banyak tanaman jarak yang saya jumpai di sini. Tak
pernah terlintas bahwa biji jarak menjadi substitusi kemiri. Saya pikir hanya
buat bahan bakar masa perang Jepang. Ternyata beberapa orang masih
menggunakannya ketimbang harus membeli kemiri. Lumayan untuk penghematan.
Rumah Jamur, Punden
Desa, Tahanan Air, dan Hal-hal Yang Kelak Akan Kami Ketahui
Orientasi desa dalam satu hari tentu saja tak akan cukup.
Apalagi ditempuh dengan berjalan kaki dan medan yang naik turun.
Namun, setidaknya saya mencatat momen tersendiri. Momen itu
ialah perjalanan ke Jenggiri sekitar 2 jam pergi dan pulang. Di tengah perjalan
pulang saya ingin mengetes kekuatan dengan membantu Bu Suli menggendong seikat
kayu bakar. Ternyata berat juga ya. Hebat, di usia Bu Suli yang mungkin sudah
masuk 60-an masih sanggup melakukan aktivitas fisik seberat itu.
Hal-hal baru seperti sajen yang diletakkan di jembatan,
tahanan air, punden, masuk ke dalam daftar pencarian lebih lanjut.
Kutipan hari ini :) |
Kami juga bertemu rumah-rumah berbahan gedhek. Ada yang
tertutup rapat. Ada pula yang terbuka namun tak terawat. Dari Niniek, kami tahu
bahwa itu adalah rumah-rumah jamur.
Gapura desa yang tak terlihat ketika datang ke Ngadirejo juga
termasuk obyek yang kami kunjungi. Kami ingin tahu batas desa. Yang ternyata
masih samar-samar juga. Mungkin memang karena tak ada yang tahu jelasnya
seperti apa.
Namun, orientasi hari ini membantu kami untuk mengingat
tempat-tempat. Esok hari hingga masa kepulangan kami, tempat-tempat itu akan
kami cari tahu kisahnya. Perjumpaan pertama tentunya tak menghasilkan banyak
informasi, bukan?
*uwek = nenek
Comments