Ekspedisi Bromo Hari 3: Mengintip Kemeriahan Perayaan Kasada
Kawah Bromo dan Gunung Batok, Eksotika Bromo meramaikan Yadnya Kasada 2018 |
Jika ada jalur kuna
yang lebih menantang, mengapa mengambil jalan umum yang biasa?
Rawon entok terhidang di meja makan. Ia jadi bagian sesaji
yang dibuat oleh keluarga Pak Ngawulo dalam rangka Yadnya Kasada. Beruntung
kami kecipratan sedikit. Lumayan untuk pengisi daya sebelum berjalan kaki
menuju Gunung Kidul.
Jangan membayangkan rawon dengan kuah hitam karena kluwak.
Rawon di dalam mangkuk pagi ini berkuah bening. Tampilannya lebih menyerupai
gulai tanpa santan. Meski begitu rasanya sangat bersahabat di lidah.
Setelah menuntaskan sarapan pagi, kami bersiap memulai
perjalanan panjang hari ini. Kami akan melihat persiapan proses Yadnya Kasada
yang puncaknya akan dilangsungkan nanti malam. Kali ini kami mencoba jalur kuna
yang saat ini sudah jarang dilewati penduduk karena hadirnya teknologi bernama
motor dan mobil.
Mendaki Tiada Henti
Menuju Gunung Kidul
“Ha, jalan kaki lewat Gunung Kidul?” tanya Pak Edi. Tak
hanya Pak Edi, beberapa orang yang berpapasan di jalan pun memberikan ekspresi “Ha? Seriusan lo mo jalan kaki lewat sana?”
seolah tak percaya bahwa kami memang akan berjalan kaki. Wajar sih karena kami
pergi seorang diri. Hanya bertiga saja tanpa warga lokal.
“Dengan jalan kaki ambil rute Gunung Kidul, sebenarnya ku berharap….”
![]() |
Sumber: Qasidah Memes for All Occasions |
“Terus aja ikutin jalan kampung, lurus ke barat lantas nanti ada belokan ke kanan ke utara, ambil jalan yang itu. Jangan ke kiri nanti malah ke B29,” terang Mas Munawi sebelum kami pergi. Mas Munawi ini ialah anak Pak Ngawulo. Selama prosesi Yadnya Kasada, ia akan lebih sering berada di Pura Ponten ketimbang di rumah.
Tempat bernama Gunung Kidul ini sudah menghiasi kosakata
kami sebelum tiba di Ngadirejo. Disebut-sebut sebagai salah satu tempat
menikmati Bromo dari sisi yang berbeda. Saya tak tahu pasti kenapa tempat itu
diberi nama Gunung Kidul. Padahal lokasinya berada di sisi barat Ngadirejo J
Sedari awal kami tak menyelipkan rasa ambisius untuk
menghadiri salah satu rangkaian prosesi kasada ini. Jalur pejalan kaki yang
kami tempuh pun dilalui dengan sangat santai. Kami lebih banyak berhenti untuk
mengamati dan mencicipi.
Melihat gerombolan jarak, berhenti. Melihat rumah ladang,
berhenti. Melihat murbei di halaman rumah orang, ingin memetik tapi tak enak
hati, berhenti. Melihat kecubung berkerumun, berhenti. Melihat perbukitan
Pungguk Lembu, berhenti. Melihat Desa Ngadirejo dari atas, berhenti. Melihat
kurungan ayam yang tampak eksotis berlatar rumah gedhek, berhenti. Melihat anak
anjing menyalak tiada henti, berhenti.
Pokoknya banyak betul berhentinya. Entah
untuk memotret, menikmati pemandangan, mengudap bekal tomat segar, tetelan (kue
tradisional Tengger serupa jadah tawar), onde-onde, atau pisang goreng, minum, atau
sekedar berswafoto.
Kian lama jalan makin menyempit. Makin berdebu. Membuat kami
harus lebih berstrategi agar tak menghirup debu terlalu banyak. Karena tak
jarang langkah kami justru menghalau debu ke muka sendiri. Hal yang paling
sering dialami oleh Rinta.
Di persimpangan jalan, kami sedikit bingung. Harus lurus
atau belok kiri. Semua toh sama-sama menuju ke barat. Untung saja ada seorang
bapak bersama anjing lucunya, yang juga hendak menuju Bromo lewat Gunung Kidul.
Kami diberitahu jalan yang benar.
Kali ini jalan yang kami lewati lebih cocok disebut setapak.
Sebelum memasuki belantara TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) saya
sempat menelpon Mbak Mel. Sedang asyik-asyiknya ngobrol –in orang- tiba-tiba
dari arah timur datang kuda dengan pemiliknya. Nyaris ditabrak kuda euy.
Mungkin ini gara-gara bergibah.
![]() |
Sumber: Qasidah Memes for All Occasions |
Kejadian selanjutnya menimpa Rinta. Saat tengah konsentrasi mendaki, tiba-tiba seekor makhluk nyaris mengenai mukanya. Makhluk berwujud hitam itu sekilas mirip ayam. Saya pikir itu ayam hutan. Saat kami tanyakan pada Pak Ngawulo, kemungkinan besar makhluk yang hampir menabrak Rinta itu ialah ayam malas. Sayangnya saya tak sempat mendokumentasikan kejadian yang lucu tapi ngenes itu.
Kotoran kuda di setapak yang kami lewati |
Setelah itu setapak yang kami lewati terus menanjak. Makin
atas setapaknya serupa parit. Sesekali kami harus meloncat kecil menghindari
kotoran kuda. Sesekali pula berhenti untuk mengatur napas. Kami tetap optimis
untuk sampai di Bromo tengah hari ini, karena…..
![]() |
Sumber: Qasidah Memes for All Occasions |
Mentigi & Wendi
Si Pemalu
Di penghujung desa kami bertemu remaja kelas 2 SMP. Wendi
namanya. Sejak perkenalan pertama itu Wendi jadi teman baru kami. Kadang dia
jalan di belakang kami, kadang di depan. Saat mendengar ramai kicauan burung,
ia menjelaskan kalau itu suara burung uwit-uwit. Burung macam mana saya pun tak
tahu :D
Wendi tak banyak bicara. Kalau tak ditanya ia akan diam
saja. Tapi diamnya bukan diam yang dingin. Meskipun diam, bahasa tubuhnya
menunjukkan kalau ia ingin jalan bersama kami.
Buah mentigi |
Saat berjalan di depan, ia memanjat sebatang pohon. Lalu memetik buah kecil berwarna hitam keunguan dan memberikannya pada kami. “Coba buah mentigi* ini,” tawarnya pada kami. Saya pun langsung memakannya. Buah kecil dengan daging yang lembut ini seketika jadi favorit kami. Sangat menolong membunuh lelah karena kami punya aktivitas baru. Ternyata beberapa warga yang lewat juga memetik buah mentigi sebagai kudapan.
Bahkan dalam perjalanan pulang seorang anak membawa wadah
seperti rantang untuk menampung hasil “panen” buah mentigi. “Mau ga Mbak?”
tawarnya pada kami yang fokus pada kondisi lutut akibat medan yang menurun.
Myrica javanica
jadi tumbuhan kedua yang menambah perbendaharaan dalam kamus flora saya. Buahnya
sangat kecil. Mirip raspberry hutan namun ukurannya lebih kecil dan memiliki
biji di bagian tengah. Pohonnya bisa mencapai lima meter.
Myrica javanica |
Kami mendapat mainan baru. Tentu saja kegirangan saat memetik buah yang matang. Rasanya manis dan kecut. Zat pewarna alamnya menjejak di bibir. Membuat bibir berwarna hitam. “Seperti habis makan bayi,” canda Rinta melihat bibir Krisna yang membiru kehitaman. Jika kamu ingat buah “jagoan neon” aka harendong gede (Melastoma polyanthum), maka seperti itulah warna yang tersisa di bibir dan lidah.
Ketika asyik dengan Myrica
javanica kami kehilangan jejak Wendi. Tampaknya orang tua Wendi
memanggilnya untuk berjalan lebih cepat. Yah, padahal kami masih ingin
berinteraksi dengannya.
Akhirnya Bromo….
Di tengah belantara, sambil terengah-engah tiba-tiba kami mendengar nada dering….
![]() |
Sumber: Gerobak Walls |
Wah, berarti sebentar lagi kami tiba di Gunung Kidul. Tak
lama berselang, deru mesin motor bersahut-sahutan. Seperti tong stan di Pasar
Malam Sekaten. Apakah kami menuju arah yang benar? Bukankah Di Bromo sedang ada
prosesi ritual Yadnya Kasada? Kenapa hiruk pikuk begini ya?
Pertanyaan-pertanyaan awam yang baru berkunjung kali pertama ke kasada memenuhi
kepala.
Kami terus mendaki. Sang Rawi mulai bergeser nyaris tepat di
atas kepala. Sebentar lagi tengah hari. Perut mulai rewel minta diisi. “Ayo,
sebentar lagi sampai,” saya membatin.
Benar saja, tak lama sejak mendengar tong stan dan es krim
walls tadi, kami pun tiba di bibir bukit. Di depan mata, kaldera Bromo
terhampar. Kawah Bromo, seperti biasa aktif mengeluarkan asap belerang. Di
sampingnya Gunung Batok anggun dalam diamnya. Masih hijau kecoklatan, sama saat
11 tahun yang lalu saya memandangnya.
Setelah sekitar 3,5 jam berjalan kaki mendaki Gunung Kidul
akhirnya kami sedikit bernapas lega. Belum benar-benar plong karena masih harus
berjalan kaki menuju Cemoro Lawang.
Rujak Bromo & Indomie Telur
Sepertinya kami tak sanggup lagi ke Cemoro Lawang. Sebuah
warung gedhek dengan empat orang pengunjung di dalamnya lebih memikat hati.
Kami mampir ke warung Mbah Sum. Saat kami datang ia masih
repot melayani pesanan pengunjung. Saya tertarik dengan pesanan seorang ibu
peziarah. Di dalam piringnya tersaji panganan serupa gado-gado. “Seger juga nih
makan sayur,” pikir saya. Saya pun memesan makanan yang bernama rujak itu.
Rujak Bromo |
Isi rujak terdiri dari toge dan kangkung rebus, tahu goreng, bakwan, timun, lontong daun, yang disatukan oleh saus kacang berbumbu petis. Rasanya pedas, manis, gurih. Saya tidak menyesal memesannya. Malah ingin pesan lagi jika saja tak tergoda dengan aroma yang dipesan oleh dua teman jalan saya.
Aroma apalagi yang paling menggoda di dunia ini selain aroma
indomie rebus dengan telur. Saya pun tak tahan untuk memesan hal yang sama.
Meskipun melanggar aturan tapi saya makan tanpa rasa berdosa. Yang ada hanya
rasa indomie yang bakal terkenang sepanjang masa. Maafkan.
Bengong Bersama Para Peziarah
Pejalan Kaki
Bising di kaldera. Jeep lalu lalang. Motor dengan knalpot
berisik hilir mudik. Pengeras suara dari Eksotika Bromo mengumandangkan
himbauan-himbauan pada wisatawan yang mulai berdatangan. Juga menyuarakan
alunan musik sebagai bagian dari cek suara.
Kami memutuskan untuk tidak mampir ke Pura Ponten. Tak
mengikuti saran Mas Munawi. Kami sadar, jika turun ke kaldera maka pastilah tak
sanggup pulang. Saat ini kondisi kaki bak berkonde, lalu gembos, dan minta ditambal.
![]() |
Sumber: Qasidah Memes for All Occasions |
Bergabung bersama ibu-ibu peziarah, kami mengaso sejenak sambil melihat keriuhan di bawah sana. Eh, kami juga bertemu lagi dengan bapak yang ditemani anjing lucunya. Si bapak memberi kami jeruk. Ibu-ibu yang lain pun juga memberikan miliknya. Jadi, masing-masing kami mendapatkan satu jeruk. Lumayan.
Para ibu ini berjalan kaki dari desa masing-masing untuk
melarung sesaji. Dari dulu hingga kini mereka setia berjalan kaki. Ibu Tamiyari
(Ngadirejo), Ibu Kartuyin (Ngadas), dan Ibu Sugiyanti (Ngadas) jadi teman baru
kami. Mereka tampak begitu menikmati suasana di kaldera. “Ini baru beberapa
waktu belakangan saja, dulu tidak seperti ini,” ujar Bu Tamiyari saat saya
bertanya perbandingan kesada dulu dan kini.
Duduk menggendong boneka Panji yang dibeli di lautan pasir seharga
Rp 40.000, Bu Sugiyanti memandang kerumunan di bawah sana. Tadi area itu ia
lewati. Saya tak tahu apa yang ada di benaknya saat itu.
Memandang keramaian di bawah sana. |
Entah mengapa saya merasa kasada seperti menjadi komoditas. Keriuhannya seakan menutupi maksud ritual itu. Meskipun mayoritas orang yang datang ialah mereka yang memang melakukan ritual. Namun, tak dapat dipungkiri ada banyak wisatawan yang membaur ke dalam rombongan warga. Kalau warga membawa sajen, wisatawan memegang kamera atau gawai. Bisa jadi penilaian saya berlebihan. Tapi agaknya saya tak begitu tertarik untuk melihat langsung prosesinya. Mungkin karena saya tak mendapatkan aura sakralnya. Tertutupi oleh kebisingan di dalam kaldera.
Naik Memang Lebih
Menarik
Seperti hidup, kondisi di atas memang lebih nikmat. Saya pikir
termasuk cara mencapainya. Mendaki dari bawah hingga ke atas meski melelahkan
namun tetap saja terasa lebih mudah pada akhirnya. Apalagi setelah tiba di atas
disuguhi pemandangan ciamik.
Lantas bagaimana dengan turun? Sama seperti perumpamaan
hidup. Proses untuk turun jauh lebih melelahkan. Meskipun waktunya terasa lebih
cepat namun tenaga yang dikeluarkan tampak lebih besar. Untuk turun dari tempat
yang tinggi, kondisi lutut harus prima. Agar tak terjatuh dan tak goyah saat
beristirahat sejenak.
Itulah yang kami alami saat menuruni Gunung Kidul. Hasrat
ingin santai namun tak bisa. Setapak yang serupa parit penuh debu ini tak bisa
dijalani dengan perlahan. Mungkin hukum gravitasi berlaku. Aih, sebenarnya saya
tak paham. Yang saya tahu kami harus mengatur jarak agar tak saling dorong.
Juga agar tak menghirup debu bekas jejak teman di depan. Dan yang terpenting
menjaga kaki agar tak keseleo.
Comments