Ekspedisi Bromo Hari 4: Santai Kayak di Pantai



Perjalanan menuju ladang Pak Ngawulo

Kesadaran tentang pentingnya olahraga selalu muncul terlambat. Jika saja rutin melakukannya, pastilah badan tak remuk seperti ini setelah ditempa perjalanan mendaki dan menuruni gunung kemarin.

Sempat terlintas sebelumnya untuk ikut keluarga Pak Ngawulo ke Yadnya Kasada. Mereka menjadwalkan akan berangkat tanggal 30 Juni. Hanya pagi hingga siang saja. Namun, aktivitas kemarin mampu merontokkan badan. Saya tak kuat. Sudah pasti pula Rinta dan Krisna memilih rehat dibanding menyaksikan lautan manusia lagi.

Saat kami bangun, bapak dan ibu sudah berangkat. Saya sempat mendengar bapak pamit ke Rinta. Namun, saya tak lantas bangun. Mata masih berat.

Di meja makan sudah tersedia menu sarapan. Ada tahu dan tempe goreng, rawon entok jatah sajen, kentang goreng, ranti rebus, dan sambal tomat goreng.

Meja Sajen Saat Kasada

Hari keempat menginap di rumah Pak Ngawulo, saya baru menaruh perhatian khusus pada meja di ruang tengah pagi ini. Diapit lemari kaca dan kulkas yang tak difungsikan, meja itu dipenuhi oleh aneka rupa makanan dan minuman.

Kelak saya ketahui bahwa tiap rumah orang Tengger di sini pasti punya satu tempat khusus untuk meletakkan sesaji. Biasanya di sana pula tiap pagi dan sore mereka sembahyang.

Dalam rangka perayaan Yadnya Kasada, keluarga Pak Ngawulo membuat aneka sajen. Biasanya memang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing keluarga. “Ya apa yang kita makan itu yang juga dipersembahkan,” ujar Pak Ngawulo menceritakan apa saja yang disajikan sajen.

Sajen Yadnya Kasada di rumah Pak Ngawulo

Sajen di atas meja Pak Ngawulo terdiri dari rawon entok, sambal tomat goreng, tahu dan tempe goreng, telur dadar, lenthok (?), nasi, pisang goreng, onde-onde, tételan (jadah tawar), kerupuk, apel Malang, biskuit, bakso berbungkus plastik lengkap dengan sambal, kecap, dan saosnya, teh, kopi, rokok, tembakau, korek api, dan dupa. Banyak juga ya. Mungkin juga disesuaikan dengan puja atau perayaan yang diperingati.

Pak Aman Bersama Gober dan Gobal Sang Penjaga

“Hari ini santai kayak di pantai”.
Kami melakukan segala hal dengan ritme pelan hari ini. Bukan untuk bermalas-malasan, melainkan pegal di sekujur tubuh tak memungkinkan kami hiperaktif seperti biasanya.

Lepas jam makan siang kami melangkah perlahan menuju ladang Pak Ngawulo. Kami menuju ke desa bagian bawah, mengarah timur sedikit ke selatan.

Di sepanjang perjalanan seperti biasa kami banyak berhenti. Entah untuk mengamati jambu wer yang tak kunjung matang sejak kedatangan kami di sini. Sesekali masuk mendekat ke halaman rumah warga untuk melihat cabai yang belum pernah kami tahu sebelumnya. Juga memetiki buah ranti yang mulai keunguan. Atau untuk mencicipi buah kopi yang sudah ranum.

Kopi di sini jenis arabika. Saya tak tahu pasti kapan kopi-kopi ini ditanam sebagai tanaman pagar pekarangan dan pembatas ladang. Tampaknya warga desa tak berminat menanam kopi. Entah karena tak tahu nilai ekonomi ketika diperlakukan dengan baik. Atau sudah terlalu nyaman dengan hasil pertanian yang ada. Saya tak sempat mengulik isu ini lebih jauh. Lagipula tak perlu juga setiap daerah yang tinggi ditanami kopi.

Konsentrasi sampah di dalam jurang kecil

Mendekati ladang, kami melintasi jurang kecil yang isinya penuh sampah kemasan. Tempo hari saat ke Jenggiri saya pun menjumpai hal yang sama. Bahkan ada sampah KFC rice box yang dibuang sembarangan di lahan yang miring.

Pola konsumsi yang berubah memang jadi masalah tersendiri untuk daerah-daerah terpencil seperti ini. Pilihan-pilihan akhir perjalanan sampah di sini antara dibakar (di ladang atau tungku rumah) atau dibuang sekenanya di ceruk-ceruk yang jauh dari pandangan mata.

Deg deg deg jantung saya berdetak lebih kencang. Di kejauhan dua anjing tampak bahagia saling berkejaran. Makin mendekat mereka berubah tingkah jadi galak. Bukan galak sih, hanya menggongong tanda menyapa. Tapi kok ya berkepanjangan. Untungnya di belakang mereka ada sang tuan yang sangat ramah.

Pak Aman, Gober, dan Gobal
Pak Aman, pemilik dua anjing –lucu- bernama Gober dan Gobal itu hendak menuju kediamannya setelah bergulat di ladang yang jauh. Beliau baru saja kena musibah. Tanaman kentang di ladang miliknya mati karena asap belerang dari Bromo. Satu risiko yang harus siap dihadapi oleh para petani di kawasan Bromo. Biasanya asap belerang mampir pada bulan kedua atau ketiga. Tapi tak tentu juga.

“Terserah Gusti Allah, kalau mau dihidupin ya hidup” -Pak Aman, Ngadirejo-
Dari Pak Aman kami mendapat cerita bahwa di sini tanah dengan kemiringan curam lebih bagus daripada tanah yang relative datar. Tanah datar lebih banyak mengandung pasir. Kurang bagus untuk bercocok tanam. “Nanemnya dari atas, pelan-pelan sampai ke bawah,” terangnya tentang teknik menanam di lereng yang curam.

Sebelum berpisah, Pak Aman sempat menawarkan pada kami bilamana ingin ikut ke ladangnya. Terima kasih Pak. Lain kali ya J

Danyang di Tengah Desa

Tetap waspada dengan anjing-anjing yang menggonggong, saya mencoba jalan berdampingan dengan Rinta dan Krisna. Waswas jikalau para anjing tak sekedar menyapa.

Kami memasuki gang-gang permukiman warga. Menapaki jalur yang sebelumnya tak sempat kami lewati. Sekedar memperhatikan jika ada sesuatu yang menarik mata.

Tampaknya beberapa warga Ngadirejo hobi mengoleksi kaktus. Mereka memajang kaktus-kaktus mini aneka jenis di dalam pot atau polybag di depan rumahnya. Bahkan ada juga rumah yang memiliki kaktus setinggi lebih dari dua meter.

Kaktus-kaktus di polybag

Jagung-jagung putih yang dijemur di beranda rumah juga memancing rasa ingin tahu. Sebelumnya saya sempat membaca bahwa masyarakat Tengger sudah jarang yang menanam jagung. Mereka menggantinya dengan komoditas sayuran. Namun, seorang bapak yang kami jumpai memberikan sedikit informasi yang berbeda. Ia masih menanam jagung putih, jagung lokal Tengger. Hasil panennya akan dinikmati sendiri, diolah menjadi aron (nasi jagung). Namun demikian, mayoritas orang Tengger pastinya sudah punya ketergantungan dengan beras. Sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya.

Di sebuah gang tak sengaja mata kami tertumbuk pada monumen kecil seperti tugu. Lokasinya berada di belakang rumah warga. Kebetulan Bu Sri Sari, pemilik rumah muncul saat kami mendekati monumen itu. Ternyata monumen itu ialah bagian dari danyang desa.

“Kalau orang punya permohonan, ada ucapan, atau habis panen, biasanya ke sini,” cerita Bu Sri Sari. Mereka membawa tetampingan berupa wadah berisi nasi, lauk pauk, jajan atau bahkan tumpeng. Aktivitasnya dinamakan nyekar tetamping.

Bu Sri Sari sendiri juga sering nyekar tetamping tiap malam jumat legi.

Dari beliau kami tahu bahwa di Ngadirejo terdapat tiga danyang desa. Satu di atas, satu di tengah, dan satu di bawah. Mungkin besok kami akan singgah di danyang bawah dan atas. Sedikit penasaran terkait korelasi tiga danyang ini dengan pola penataan ruang Desa Ngadirejo. Karena jika dilihat dari atas, ketiga danyang ini membentuk garis diagonal.

Akibat Mondar-Mandir

Dengan suhu sesejuk ini, bakso jadi kudapan yang dinantikan. Sempat terpikir untuk mencarinya di hari pertama orientasi. Namun, baru kali ini terlaksana.

Awalnya agak ragu juga apakah ada penjual bakso di desa sekecil Ngadirejo. Sementara Rinta cerita bahwa saat survei ia dijamu dengan bakso. Hanya saja dibeli dari bawah. Kami tak mungkin ke warung itu dengan hanya berjalan kaki.

Pencarian warung bakso ini tentu saja mencolok mata. Tiga orang asing mondar-mandir mencari sesuatu.

“Mbak, jual apa?” tanya seorang ibu yang sedang duduk berkelompok. “Hah, apa Bu?” balas saya tak kalah bingung. “Sales apa Mbak,” jelasnya.

Oalah, ibu itu mengira kami ini pedagang yang menjajakan sesuatu di desa. Raut muka Rinta seketika berubah. Hahaha. Tapi kan Bu, tidak semua orang asing yang masuk ke desa ini penjaja barang alias sales.

Jawaban kami ketika disangka sales :)

Bermandi Kabut Menanti Senja

Hari yang santai ini harus ditutup dengan sesuatu yang santai juga. Setelah “terhibur” karena dikira sales barang, kami putuskan untuk mencoba menikmati senja di lahan di atas rumah Bu Ika.

Matahari bersiap kembali ke peraduan. Namun kami tak dapat menikmatinya seperti hari yang lalu. Tiba-tiba kabut menghampiri. Lalu kami duduk dengan pikiran dan aktivitas masing-masing.

Kesunyian yang hakiki

Hari keempat jelang Ekspedisi Bromo. Sore ini saya begitu menikmati momen menghabiskan senja. Meskipun dingin, namun suasana yang saya dapatkan setimpal.
“Kesunyian yang hakiki” 
Bagi saya tak perlu mendaki hingga puncak tertinggi untuk merasakan betapa kecilnya saya. Cukup dalam balutan kabut yang memenuhi ladang-ladang kubis dan tomat juga pepohonan cemara. Momen yang tepat untuk sejenak kontemplasi tanpa meditasi.

Saya pikir cukup untuk momen santai hari ini. Santai kayak di pantai meskipun nyatanya kami lakoni di pegunungan.


Ketika mendapati suasan magis untuk kontemplasi

Comments

Popular Posts