Ekspedisi Bromo Hari 5: Keberuntungan Para Pejalan
Momen matahari terbit di Ngadirejo |
Paling banyak menemukan keberuntungan dalam perjalanan itu ketika memulainya tanpa beban. Tanpa praduga. Serta senantiasa memegang pepatah “Tuhan bersama para pejalan”.
Saya membuka pintu. Sekeliling rumah masih gelap. Semburat
merah muncul di ufuk timur. Sang surya perlahan keluar dari balik horizon. Ah,
sebuah kemewahan sejati. Lagi-lagi tak perlu bersusah payah mendaki gunung
untuk sebuah momen indah begini. Pula bisa lebih syahdu karena tak mendengar
celotehan puluhan orang yang sibuk dengan gawai ketimbang ciptaan Tuhan di
depan mata.
Rinta dan Krisna menyusul. Pagi ini memang sudah punya
rencana untuk menikmati momen matahari terbit. Bagi saya ini kali pertama di
Ngadirejo. Setelah rencana yang gagal beberapa waktu yang lalu.
Dingin menusuk saat kami berjalan menuju ladang di atas rumah
Bu Ika. Tempat sempurna menikmati senja. Juga pilihan yang tepat untuk
mengintip mentari bergerak dari peraduan.
Kabut masih menyelimuti hamparan ladang kubis, tomat, dan
daun bawang. Sang rembulan pun masih terlihat di ufuk barat. Bersiap untuk
pergantian tugas.
Sesekali melintas seorang bapak atau ibu dengan sarung melingkupi
bahu. Kami menganggukkan kepala tanda menyapa. Aktivitas warga sudah dimulai
sejak beberapa jam lalu. Pergerakan warga pekerja keras menembus dingin untuk
hasil panen maksimal.
Mencari Wendi Si
Pemalu
Jalan aspal menuju arah ke Gunung Kidul ini kami lewati
lagi. Kali ini misinya mencari Wendi si pemalu. Sebelum berpisah kemarin, Wendi
sempat memberikan petunjuk lokasi rumahnya. Jelas bukan di desa bagian tengah
apalagi bawah.
Tak banyak orang yang kami jumpai. Biasanya pukul 09.00
hingga sore hari jarang orang di rumah, apalagi di jalan. Sebagian besar warga
berada di ladang. Lalu kami harus tanya siapa?
Untungnya ada seorang kakek yang hendak berangkat ke ladang.
Sedari awal melihat kami, ia memang tampak mengawasi. Mungkin menangkap
kebingungan kami.
“Mbah, tahu rumahnya Wendi?” tanya kami. Si kakek langsung
mengerti maksud kami dan kembali ke rumah sembari meneriakkan nama Wendi. Lho,
Wendi cucunya si kakek?
Seorang ibu yang juga tetangga si kakek pun memberikan
verifikasi bahwa halaman rumah yang kami datangi itu ialah tempat tinggal
Wendi. Ah, akhirnya ketemu juga.
“Iya, ini rumahnya Wendi. Dia ga sekolah lagi,” jelas si
ibu. Informasi yang berbeda ini membuat kami agak ragu mengenai Wendi yang
sebentar lagi akan muncul. Perihalnya Wendi yang kami tahu masih sekolah kelas
2 SMP.
Momen aneh pun terjadi berikutnya. Seorang pemuda dengan
tindik di telinga kanan muncul dari balik pintu. Tubuhnya jangkung, suara
berat, dengan rambut semir pirang. Sudah jelas ini bukan Wendi yang kami cari.
Apakah Wendi menyamarkan namanya saat berkenalan? Atau Wendi
mengidolakan pemuda jangkung korban fantasi kota di depan kami saat ini?
Jangan-jangan pemuda ini kakaknya Wendi sehingga ia bebas menggunakan namanya?
Ah, banyak pertanyaan setelah itu. Sambil menahan malu kami pun undur diri dan
meminta maaf.
Kami melanjutkan pencarian Wendi. Namun, aktivitas dua
perempuan di depan rumah gedhek mencuri perhatian.
Seorang ibu duduk telanjang dada, menekuk kakinya. Ia memunggungi
simbah yang memegang benda serupa tongkat kayu. Simbah itu kemudian
menggosok-gosokkan kayu itu pada punggung si ibu. Rasa penasaran singgah. Tapi
saya tak enak jika menghampiri mereka.
Saya pun memanggil Rinta dan Krisna. “Eh, eh lihat deh lagi
ngapain tuh?” tanya saya pada Rinta. Mungkin Rinta pun juga mengamati hal yang
sama. Kami pun sepakat tak enak hati jika langsung menghampiri saat ini juga.
Akhirnya kami putuskan untuk menunggu sejenak, di samping tumpukan karung isi
pupuk kandang. Sampai urusan kedua perempuan itu selesai. Sesaat urusan
pencarian Wendi menguap dari ingatan.
“Ini buat kerokan,” jelas Mbah Astiyam sambil menunjukkan
sapu lidi yang saya kira tongkat kayu. Bukan sembarang sapu. Lidinya
menggunakan lidi aren. Bentuknya memang berbeda dibanding lidi kelapa. Lebih
gemuk.
Sebagai penggemar kerokan, saya pun tertarik untuk
mencobanya. Ekspresi muka Mbah Astiyam menunjukkan rasa tak percaya dengan
keinginan saya.
Meskipun awalnya gelak tawa meledak namun Mbah Astiyam menyambut
keinginan saya. Tentu saja ini bukan kerokan yang serius. Saya hanya ingin
merasakan sensasinya saja.
Mbah Astiyam menggenggam "senjata" utamanya |
Aroma minyak angin mulai tercium. Perlahan namun pasti, Mbah Astiyam mulai beraksi.
“Pakai sapu ron ini ndak sakit,” terang Mbah Astiyam
meyakinkan saya. Dan memang betul. Dengan bidang permukaan yang lebih luas,
sapu ron –lidi aren- ini tak bikin sakit. Pula tak menimbulkan rasa geli
berlebihan. Lebih jauh lagi, jejak merah lebih cepat muncul di permukaan kulit.
Aha, saya pun langsung pengen beli sapunya. Bisa jadi saya akan kerokan tiap
hari jika pengeroknya seperti ini.
Bagi Mbah Astiyam, kerokan dengan sapu ron lebih manjur. “Kalau
pakai uang koin sakit,” ia kembali meyakinkan. Setua apa tradisi kerokan dengan
sapu ron ini tak bisa saya ketahui. Yang Mbah Astiyam tahu, dari dulu hingga
kini ia hanya mengenal satu cara kerokan. Saya lupa menggali bagaimana dengan
minyak pengolesnya. Apakah dulu menggunakan tanaman tertentu ataukah sudah
mengonsumsi minyak pabrikan?
Bakso Mbok Yayuk
Setelah kemarin dikira sales
gara-gara mencari warung bakso, akhirnya hari ini kami berhasil menemukannya.
Dari luar, warung Mbok Yayuk tidak terlihat seperti warung
pada umumnya. Meskipun ada banner produk
tertentu yang menjadi tirainya. Bangunan berukuran sekitar 2 x 4 m itu berbahan
gedhek beratap asbes.
Itulah dunia kecil Mbok Yayuk. Dari pagi buta hingga malam
sekitar pkl. 09.00 ia berkutat di sana. Membuat pentol*, menjerang air,
menggoreng tape dan tahu brontak, memasak indomie pesanan buruh tani, atau
duduk menunggu pelanggan sambil melihat tingkah lucu kucing-kucingnya.
Interior Waurng Mbok Yayuk aka Bu Sukem |
Kami memesan tiga mangkuk pentol. Tanpa bihun, polosan saja.
Asap mengepul dari mangkuk-mangkuk yang datang. Ah, sejauh ini pergi bakso jua
yang dicari. Suhu yang dingin memang jadi stimulan yang besar untuk mengonsumsi
makanan berkuah.
Pentol Mbok Yayuk tandas seketika. Nampaknya kami memang
lapar betulan. Atau memang bakso ini jadi sarana penghibur yang cocok bagi sisa
kelelahan kami. Entahlah. Karena menurut kami, untuk ukuran bakso di pelosok
seperti ini rasanya tak mengecewakan.
Pada kuahnya terdapat rasa kaldu daging. Meskipun tepung
mendominasi pentolnya namun tetap saja masih terasa dagingnya. Apalagi
dilengkapi dengan tahu brontak yang masih hangat. Jos. Saya tak hendak makan
yang lain.
Keranjingan Time Lapse
Saya berterima kasih pada pencipta aplikasi time lapse. Aplikasi itu membuat saya
dapat merekam pergerakan dalam tempo cepat. Awan berarak, hiruk pikuk pasar,
kesibukan para buruh angkut tomat, dan seabrek keriuhan yang lain. Ketika melihat
time lapse ada emosi saya yang ikut
di dalamnya. Emosi yang melahirkan perasaan takjub, panik, sibuk, atau
tergesa-gesa.
Maka setelah perut kenyang, kami turun menuju gapura desa.
Terik matahari tak jadi penghalang. Kami berteduh di sebuah gardu untuk mencari
tempat sandaran kamera.
Lalu lalang orang yang melintas jadi bahan obrolan. Dua
bocah –mungkin usia SD- berboncengan di atas motor. Mereka hilir mudik seperti
setrika. Sebuah pemandangan yang jamak dijumpai di seluruh penjuru Nusantara.
Orang tua merasa bangga ketika anaknya dapat mengendarai motor. Di sisi lain
ada beban yang bisa dibagi. Ada ketergantungan yang diurai. Meskipun nyawa
orang lain pun nyawa anak sendiri taruhannya.
Isu jumlah anak di dalam keluarga di desa ini juga kami
bahas. Sembari menunggu awan melintas. “Kenapa ya di sini, dengan suhu dingin
begini, anaknya kok dikit?” celetuk salah seorang dari kami. Apakah karena
pengaruh program KB jaman Soeharto? Mengingat relief kampanye KB yang sudah usang
masih bisa dilihat tak jauh dari gardu. Padahal daerah ini agraris. Pastinya
butuh banyak tenaga untuk mengolah ladang. Apakah ada alasan lain? Hingga
pulang, kami tak mendapat jawabannya.
*pentol sebutan Mbok Yayuk untuk bakso
Comments