Ekspedisi Bromo Hari 6: Datangnya Para Pemuda Pemudi Harapan Bangsa
Jika masa lalu seperti sekarang ini, pastilah saya ikut bergabung dengan program sekeren ekspedisi ini. Dengan catatan, saya punya cukup uang.
Pagi ini, sama seperti beberapa pagi yang lalu. Saya
beranjak dari kamar yang hangat. Berjalan pelan menuju jendela depan.
Menyaksikan semburat merah di ufuk timur. Lantas mengimajinasikan betapa
damainya jika hari tua dilewati dengan santapan pagi seperti ini.
Ah, ritual pagi yang belum membuat saya bosan. Tentu saja
karena saya memakai sudut pandang pendatang. Turis yang sedang berlibur melepas
penat. Tak ada pergulatan dengan lahan yang miring. Juga tak perlu berkawan
dengan cangkul. Atau berdamai dengan seikat kayu yang menempel di punggung. Oleh
sebab itu, saya tak boleh terlalu lama di sini. Takutnya terkena sindrom “white
savior”. Ya meskipun saya tidak akan membangun jembatan atau gedung sekolah.
Kegelisahan Pagi Hari
Saat sarapan kami sibuk membahas sindrom yang lekat dengan
kegiatan relawan kulit putih di Afrika itu. Namun, kami meletakkannya pada
konteks lokal. Apakah orang Indonesia juga terkena sindrom serupa?
Tak usah bicara Afrika. Bagaimana dengan kegiatan relawan
yang dilakukan di banyak desa di Jawa? Atau yang sedang tren belakangan ini tentang
kegiatan berbagi barang-barang di kawasan Indonesia Timur? Bisa sepatu, buku,
alat tulis, makanan, apa saja. Barang-barang yang nantinya mengikuti standar
kebutuhan orang kota. Apakah bebas dari
kecenderungan sindrom “white savior”?
Rasanya sulit menemukan kegiatan amal tanpa foto bersama
dengan pihak yang menerima bantuan. Jika bukan akun pribadi yang mengunggah
aktivitas “heroik”, maka akun lembaga relawan lah yang dengan senang hati
menyebarluaskannya. Apakah itu termasuk sindrom ”white savior”? Kalian dapat
mengecek sendiri lewat Mbah Google. Ada banyak contoh bertebaran di Indonesia
terkait sindrom ini.
Sementara datang hanya sekali, lalu mengajar bahasa Inggris
pula. Sungguh mulia sebenarnya. Tapi alangkah lebih baik kalau tinggal barang
setahun dua. Ilmu yang ditularkan barangkali lebih mengena. Tapi jangan
mengunggah foto diri bersama murid-murid baru ya?
Entahlah, saya jadi begini nyinyirnya. Bukan karena hati
dengki. Tapi agak pusing melihat dampak aktivitas kerelawanan nan heroik ini.
Memang dampak buruk tak terjadi di tiap tempat yang
tersentuh gerakan kerelawanan. Namun, pening juga melihat satu dua kasus betapa
banyak modal sosial warga babak belur gara-gara aksi ini masuk ke tempat
mereka. Ah, semoga ini hanya pengamatan yang belum komplit dari saya.
Muka Kering
Memasuki hari keenam di Ngadirejo. Ritual mandi yang awalnya
mampu dijalani normal dua kali sehari berganti menjadi hanya sekali sehari.
Namun, guyuran air pagi ini terasa menyiksa. Seperti dihujani ribuan jarum.
Rggggghhhhhh, badan membeku. Muka seketika kaku bagai dilem. Padahal saya
menggunakan air hangat untuk menyapu muka.
Saya baru merasakan setelah mandi kulit muka makin kering.
Lapis terluarnya mengelupas di sana-sini. Bibir pecah-pecah. Sakit sekali.
Apakah karena saya menggunakan air hangat ya?
Tampaknya saya harus menemukan strategi jitu agar kulit tak
makin parah keringnya. Yang jelas saya tak akan memakai air hangat lagi. Cukup
sudah!
Pindah Rumah
Rumah Pak Ngawulo akan ditempati oleh peserta ekspedisi.
Maka kami pun harus pindah hari ini. Saya pikir urusan pindah gampang saja.
Karena tujuannya hanya berjarak dua rumah saja. Rumahnya juga milik Bu Rendy,
anak Pak Ngawulo.
Namun, ternyata urusan pindah menguras tenaga dan emosi
juga. Pasalnya, selain harus menentukan waktu yang sesuai ternyata ada “adat”
yang harus kami ikuti. Jadilah kami bolak-balik dari rumah Pak Ngawulo ke Bu
Rendy berkali-kali.
Memang jaraknya dekat, tapi lumayan juga ditempuh dalam suhu
yang kian rendah ini.
Para Petualang Muda
Ekspedisi Bromo
Sedari awal Jaladwara merancang program ini, saya selalu
berandai-andai jika program serupa hadir saat saya kecil dulu. Pastilah seru
sekali. Melakukan perjalanan dengan serangkaian tantangan. Berlibur tak hanya
melepas penat melainkan menambah keahlian yang mungkin saja selama ini belum
tergali atau terasah.
Sambil membayangkan, saya membatin betapa beruntungnya para
petualang muda ini. Di usia muda mereka sudah terpapar dengan konsep-konsep
pejalan yang bertanggung jawab. Prinsip minim sampah, respek terhadap warga
lokal, penggalian informasi, penulisan catatan harian, jadi hal yang
dipraktikkan saat berwisata. Ngiler banget lihatnya. Tapi apakah orang tua saya
mampu membiayai program seperti ini untuk anaknya? Nah, itu lain cerita ☺
Zaman bergerak, budaya berubah. Pengetahuan tak lagi harus
dipetik dari bangku sekolah. Dengan berwisata pun kita dapat menerapkan
teori-teori atau bahkan melakukan pengujian terhadapnya. Tentu saja cara ini
yang Jaladwara pilih untuk menularkan informasi yang mungkin saja selama ini
terkunci dalam lemari kaca yang dingin.
Apalagi berjalan bersama darah muda yang haus petualangan.
Kali ini ada sembilan petualang muda yang bergabung ke dalam Ekspedisi Bromo.
Malam ini mereka tiba di Ngadirejo setelah berkereta dari Jogja. Proses
pembelian tiket secara offline serta
pemilihan kursi mereka lakukan mandiri. Sebelum perjalanan mereka pun diwajibkan
menyelesaikan empat tantangan pra ekspedisi.
Beberapa wajah baru saya jumpai malam ini. Sebelumnya kami
hanya berkomunikasi lewat grup WA. Ternyata mereka masih terlampau muda. Terasa
begitu kecil dengan barang bawaan yang sebegitu beratnya. Meskipun kelak kami
ketahui bahwa berat terkecil barang bawaan mencapai 1,8 kg. Ternyata ga
berat-berat amat.
Setelah menyeruput teh hangat buatan Bu Ngawulo mereka
menyebar ke orang tua asuh masing-masing. Selanjutnya kami berkumpul di
kediaman Bu Ika untuk pemaparan kegiatan esok hari. Wajah letih dan lelah jelas
terpancar dari mereka. Namun, semangat muda turut saya rasakan. Ga sabar
menunggu petualangan esok hari.
Comments