Ekspedisi Bromo Hari 7: Orientasi Awal Ngadirejo


Pagi ini bangun di kasur yang berbeda. Di kamar yang berlainan dengan lima hari yang lalu. Juga dengan teman tidur yang bertambah. Berempat kami menempati kamar depan di rumah Bu Rendy. Kamar ini yang akan kami pakai sebagai markas (tidur, menyimpan barang, gibah, ngaso) hingga 8 Juli mendatang.

Menuju pukul 08.15 kami beranjak ke rumah Bu Ika. Markas Ekspedisi Bromo yang sesungguhnya. Saat kami tiba para petualang muda sudah berkumpul. Wah, mereka sungguh disiplin di hari kedua ekspedisi ini. Mesin pengingat waktu di kepala nampaknya harus diperbanyak. Agar tak sering telat di hadapan mereka :D

Kenali Desa dengan Tema

Kami berangkat dengan tema-tema tertentu untuk mengenali Ngadirejo. Ada empat tema yang kami tawarkan. Tiap kelompok memilihnya dengan cara mengambil undian. Kebetulan kelompok yang saya temani mendapatkan tema “dokumentasi perubahan”. Agaknya terminologi ini bikin kening berkerut. Lalu mereka mengambil kertas undian terakhir. Ganti topik menjadi “Hindu Tengger”. Ada wajah semringah di sana.

Dua kelompok lain mendapatkan tema “sejarah desa” dan “kalender musim dan budaya”. Tema-tema itu akan menjadi patokan mereka selama menjelajahi Desa Ngadirejo dalam beberapa hari mendatang.

Sebenarnya bisa saja perjalanan dilakukan tanpa tema tertentu. Namun, pastinya akan kemana-mana. Tidak fokus. Juga dapat menyebabkan ga tahu mau ngapain. Karena ekspedisi ini memang dirancang sebagai program berlibur sambil belajar maka kami tetap memerlukan tema tertentu sebagai titik awal mengenali desa.

Keliling Ngadirejo Lewat Permainan

Ada beberapa potongan gambar yang dipegang oleh tiap kelompok. Mereka harus menemukan bentuk utuhnya. Saya sebagai teman jalan hanya memantau dari jauh saja. Tak boleh banyak terlibat di dalam aktivitas mereka.

Pendatang baru, membawa potongan gambar, lalu menanyakannya pada warga lokal. Saya tak tahu pasti apa yang dirasakan para petualang muda saat berkeliling dengan alat permainan itu. Mungkin grogi? Tapi mereka memang didorong untuk berinteraksi dengan warga. Tanpa ditemani orang dewasa!

Di awal-awal pertemuan dengan warga lokal, memang ada rasa canggung. Namun, setelah ngobrol dengan dua tiga orang, selanjutnya sepertinya rasa grogi bisa sedikit disimpan.

Informasi-informasi menarik sedikit demi sedikit terkumpul. Senang juga karena ada satu narsum yang tanpa sengaja mereka datangi justru mengundang untuk panen jamur esok hari.

Jalan Sore Bersama Kak Ika

Ika, salah satu remaja Ngadirejo yang bersekolah di SMK jurusan perhotelan. Rencananya Ika menemani kami berkeliling desa pagi hari. Namun karena ada urusan mendadak akhirnya jadwal digeser ke sore hari.

Bersama Ika, para petualang muda diajak mengenali tempat-tempat penting di Ngadirejo. Kami menuju ke barat dengan medan menanjak. Ika menceritakan sedikit tentang sistem pertanian lahan miring di Ngadirejo. Juga tentang kecubung dan cemara yang menjadi tanaman pembatas antar lahan.

Lalu kami berputar haluan menuju ke timur. Kali ini lebih santai karena medannya menurun.
Melihat bak air besar, kami berhenti. Ada beberapa bak penampungan air di Ngadirejo. Di tengah desa bak itu diberi label “tahanan air”.

Para petualang muda terpancing untuk menanyakan tentang sumber air di Ngadirejo. Saya belum pernah menjumpai sumur selama di sini. Ternyata air memang disalurkan dari sumber yang cukup jauh dari desa. Mengikuti telunjuk Ika, mungkin sumber air berada di hutan di sisi selatan agak ke barat dari Ngadirejo.

Tempo hari  Pak Ngawulo sempat berkisah mengenai sumber air di hutan itu. Mereka punya ritual khusus untuk menghormati sumber air. Jika terjadi kerusakan pada pipa penyalur air maka akan ada warga yang pergi ke sana memperbaiki. Namun, dalam perjalanan kali ini isu ini tak jadi bahasan utama. Saya pun tak punya ruang yang cukup untuk menggali informasi karena sedang “bertugas”.

Ika lalu mengajak kami ke lokasi tiga danyang desa. Biasanya desa-desa Tengger hanya memiliki dua danyang saja. Namun, Ngadirejo punya tiga. Yang ketika dilihat dari atas nyaris membentuk garis diagonal yang membelah desa. Artinya apa? Saya pun tak paham.

Danyang yang berada paling bawah dikerumuni pohon cemara. Istilah danyang mungkin sama dengan istilah di Kotagede ketika menyebut “bahu danyang”. Artinya mengacu pada nenek moyang. Menurut Ika tempat-tempat itu diyakini sebagai tempat dimakamkannya leluhur desa. Saya berasumsi danyang-danyang itu semacam penjaga desa dari bala yang mengancam desa.

“Tapi ga masuk ya Mbak, kalau mau masuk sama Bapak,” ujar Ika ketika di hari sebelumnya kami memintanya untuk mengantar ke beberapa danyang di Ngadirejo. Ternyata tak semua orang bisa masuk ke sana. Ika yang terhitung beranjak dewasa saja tak berani masuk apalagi kami yang pendatang. Maka kami pun mengikuti sarannya. Lagipula, danyang-danyang itu (bawah dan atas) secara fisik dan spasial memang mengesankan kewingitan.

Hanya danyang (tautkan ke postingan hari keempat) yang berada di tengah desa saja yang terbuka. Berada di kebun dan hanya berjarak lima meter dari rumah penduduk. Pak Ngawulo menyebutnya sebagai puser desa. Mungkin karena lokasinya berada di tengah desa.

Comments

Popular Posts