Jika Begini, Mau Jalan Kaki Di Mana?


Jalan kaki menuju suatu tempat dalam jarak lebih dari satu km mungkin saya lakoni sejak kecil. Dulu saat SD, lokasi rumah kontrakan orang tua saya berada jauh sekali dengan jalan raya. Saya dan abang harus berjalan kaki -dengan ditemani dua anjing kesayangan Blacky & Belong- menuju titik yang dilewati angkot (angkutan umum). Kebiasaan jalan kaki itu nyatanya terbawa hingga sekarang. Sebuah kebiasaan yang selalu saya syukuri tak hilang dari diri. Meskipun tak setiap hari juga saya jalan kaki keluar rumah.

Beberapa tahun silam, seorang teman hijrah ke Jogja untuk mengerjakan proyek tentang pejalan kaki. Saat ia bercerita tentang proyeknya itu, saya hanya merespon miris, "siapa yang jalan kaki di Jogja?". Tentu saja semua orang yang tak punya masalah medis dengan kaki dapat berjalan kaki. Minimal jalan kaki ke kamar mandi atau mondar-mandir di dalam rumah. Tapi, siapa yang benar-benar berjalan kaki untuk menempuh satu tempat dengan jarak minimal 100 m di Jogja? Mungkin ada. Tapi pasti tak banyak.

Berkaca pada kenyataan -pahit- itu, saya yang awam ini kemudian menduga-duga. Sedikit sekali jumlah pejalan kaki. Sedikit pula yang menggunakan trotoar. Jadi, kondisi trotoar tak jadi isu penting bagi pemerintah kota. 

Jika kamu mampir ke Jogja, cobalah untuk berjalan kaki di kota ini. Mungkin sekarang kondisi tak semengerikan lima tahun yang lalu. Namun, tetap tak mengubah kenyataan bahwa konsep trotoar yang ramah untuk pejalan kaki belum dipahami seutuhnya.

Kebanyakan trotoar dibuat dengan ketinggian ekstrim. Mungkin agar motor tak dapat naik dan melaju di atasnya. Ada juga trotoar yang dibuat dengan memilih bahan yang licin sebagai permukaannya. Ga kebayang jika hujan, wong cerah saja suka kepleset. Lalu, yang paling sering, trotoar yang diramaikan oleh pot-pot gede. Mungkin untuk mempercantik namun hasilnya kacau balau. Belum lagi trotoar yang berlubang, hingga jika tak waspada bisa kejeblos ke selokan di bawahnya. 

Untuk trotoar dengan pedagang sebenarnya saya tak begitu masalah. Selama masih ada ruang untuk pejalan kaki di atasnya. Saya lebih sebal dengan trotoar yang jadi parkir mobil/motor/becak sih. Menurut saya orang-orang dengan mobil dan memarkirnya di trotoar menunjukkan kedunguan tingkat tinggi. Fenomena seperti ini banyak saya jumpai saat masih tinggal di seputaran Jalan Taman Siswa. Parah.

Mengharapkan bisa jalan kaki dengan nyaman kayak di Singapura saya pikir juga keterlaluan. Bak mimpi di siang bolong dengan kondisi pemerintahan yang seperti ini. Bukannya ga boleh bermimpi seperti itu, tapi saya takut malah mendorong kita untuk menunda berjalan kaki dan berpaling pada kunci motor :D "Jalan kaki besok saja, jika trotoar udah kayak di Singapura," gawat juga kalau begitu.

Lalu apa yang harus kita lakukan dengan kondisi trotoar yang seperti ini? Ya naik motor lah. Gampang :P Atau mobil. Nyaman :P Serius? Nggak lah.

Tetap jalan kaki namun selalu hati-hati. Kalau saya sekarang lebih sering mengisi waktu jalan kaki dengan mengabadikan hal-hal menarik yang dijumpai. Selain mengurangi seniwan (baca: senewen), berguna juga untuk cari inspirasi. Jadi, jangan menyerah untuk jalan kaki! :D

2/365



Comments

Popular Posts