Mimpi Interpretasi di Candi Kedulan


Arkeolog dari BPCB DIY menceritakan perihal perusakan arca secara sengaja.

Serombongan orang mulai menuruni tangga perlahan. Mungkin jumlahnya sekitar 20-30 orang. Mereka mengikuti seseorang mendekat ke Candi Kedulan. Kami yang datang terlambat mengekor lalu membaur dengan rombongan peserta yang lain.

Sore itu, saya dan seorang teman bergabung dalam cara National Geographic Indonesia. Kali ini mengangkat fitur edisi Maret bertajuk “Misteri Negeri Tiga Daun”. Ulasan lumayan panjang mengenai Candi Kedulan, terutama terkait temuan terkininya.

Dipandu staf BPCB, Yoses Tanzaq, kami didongengi tentang bagaimana candi ini bisa terpendam. “Jadi, yang kita pijak ini ialah lapisan budaya,” terang Yoses sambil menunjuk tebing yang merekam lapisan stratigrafi yang terbentuk akibat aktivitas Merapi masa lalu. Menurut Yoses ada sekitar lima lapisan di sini yang juga mengindikasikan bahwa aliran lahar tak datang dalam sekali waktu mengubur candi. Sementara dalam majalah, saya sempat membaca bahwa ada 13 lapis stratigrafi.

“Tatahan pada bagian arca nandi ini mengindikasikan perusakan secara sengaja,” ujar Yoses ketika kami berkumpul mengerumuni arca nandi Kedulan. Beberapa tahun yang lalu, saat mampir untuk survei rute sepeda, saya sempat mengabadikan arca ini. Saat itu saya memang melihat ada yang agak aneh dengan pola retakan pada arca. Ternyata ada kemungkinan yang mampu membangun teori baru mengenai candi di Indonesia. Keren!

Proses pemanduan bersama Yoses ini sebenarnya menarik. Saya melihat dia bagai membangun jembatan pengetahuan dengan publik. Salah satu hal yang harusnya lebih sering dilakukan oleh institusi arkeologi plat merah. Namun, akan jauh lebih baik bila dia melengkapi dirinya dengan pengeras suara. Ekor rombongan seperti saya, yang tak punya daya kompetisi bagus, hanya mendengar kata-kata terakhir saja dari ceritanya.

Saya sangat bersemangat untuk menyerap informasi sebanyak mungkin tentang Candi Kedulan. Kenapa? Karena ini penemuan arkeologi yang sangat menyegarkan. Kedulan mungkin candi yang punya prasasti paling lengkap (tiga prasasti). Dua prasasti, Panangaran & Samundul, dibuat di bawah pemerintahan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855-884 M), dan satu prasasti, Tlu Ron, dibuat atas perintah Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Selain itu candi ini punya peripih lempeng emas yang bergambarkan dewa-dewa. Biasanya lempeng emas hanya diukir nama dewa saja.

Yang paling menarik, candi yang nyaris serupa dengan Candi Sambisari ini menawarkan cerita baru yang oleh beberapa arkeolog disebut sebagai “konsep tanpa teori”. Cerita apa itu? Tentang “perusakan” arca secara sengaja oleh masyarakat pendukung candi oleh karena kebutuhan tertentu. Pada saat itu mungkin punya konteks terkait bencana. Luar biasa bukan? Ini cerita yang baru saya dengar di Indonesia. Biasanya saya hanya dapat cerita dari teman-teman yang melawat ke Angkor Wat tentang peristiwa perusakan arca-arca di sana karena terjadi konversi agama dari Hindu ke Buddha.

Selain itu dalam konteks candi dan lingkungannya, di Kedulan kita masih bisa saksikan jejak aktivitas “penguburan” candi lewat stratigrafi di dinding tebing sisi barat. Hal yang tak dijumpai lagi di Sambisari karena pengembangan lingkungan candi jadi tempat wisata. Tentu saja ini bukan hanya penting bagi teman-teman yang menggeluti geologi & geomorfologi melainkan bagi arkeolog sendiri. Cerita tentang Candi Kedulan terutama proses yang diawali dari pertanyaan, “kenapa candinya bisa ada lima-enam meter di bawah permukaan tanah?” bisa terjawab lewat stratigrafi itu.

Selama pemanduan juga sesi diskusi angan saya melayang pada metode interpretasi. Sungguh akan sangat menyenangkan bila informasi terkait Candi Kedulan dikemas dengan pendekatan interpretasi. Pasti akan lebih terstruktur dan menyenangkan.

Tak ada lagi papan informasi yang hanya menampilkan sejarah candi berserta ukuran dan temuan-temuannya yang kering. Fakta akan diolah menjadi cerita sehingga lebih menarik. Mungkin akan ada beberapa simulasi mengenai proses aliran lahar yang mampu mengubur candi. Akan banyak pernyataan-pernyataan yang membangun relevansi candi dengan pengunjung. Dan banyak kalimat provokasi. Sehingga sepulang dari kunjungan di Kedulan, ada satu hal yang menyadarkan pengunjung bahwa penting bagi mereka untuk mengetahui cerita atau sejarah candi ini.

Tapi, itu hanya mimpi. Sebagai harapan tentu saja saya mendamba jadi kenyataan. Langkah publikasi yang digandeng oleh majalah setenar National Geographic Indonesia ini jadi awal yang sangat baik untuk penyebarluasan informasi. Selanjutnya, bola kembali dilempar kepada pengelola situs. Semoga pengembangan dan pemanfaatan situs tidak mematikan imajinasi publik mengenai kondisi masa lalu candi. Yang paling utama, apapun informasi yang disajikan di Candi Kedulan harus punya relevansi dengan pengunjung yang datang.


Comments

Popular Posts