Sumatra Tempo Dulu nan Memikat

Buku "babon" pameran foto “Warna-warni Kehidupan Sumatra 1947”

Narasi tentang Pulau Sumatra tersaji dalam selembar poster A0 yang ditempel di dinding dekat penerima tamu. Tak begitu nyaman dibaca karena ukuran font terlampau kecil dengan jarak baca kurang ideal. Namun, informasi di dalamnya menarik untuk dilihat sebelum menikmati pameran foto “Warna-warni Kehidupan Sumatra 1947”.

Seperti pameran-pameran sebelumnya yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta, saya memulai “perjalanan” ke Sumatra 1947 secara pradaksina (searah jarum jam). Foto-foto yang dipamerkan merupakan reproduksi dari buku lama seperti, Tanah Air Kita karya N. A. Douwes Dekker (1950), Pusaka –Art of Indonesia- From The Collection of National Museum dengan editor Didier Millet (1990), dan Sumatraanjes karya H. C. Zentgraaf (1936).

Melancong ke Bumi Andaliman

Foto berjudul, “Buku-buku Nujum”, menyita perhatian saya. Seorang lelaki dengan tutup kepala yang unik bertelanjang dada. Di bahu kirinya tersampir kitab berbahan bambu yang memuat aksara dan gambar dengan makna tertentu. Di keterangan foto disebutkan bahwa masyarakat Batak sudah tidak menggunakan kitab ini lagi.

Di sampingnya ada foto seekor kuda dengan seorang lelaki berdiri di sampingnya. Lelaki itu mengenakan blangkon, beskap, dan kain batik. Unsur Jawa sangat kental dalam penampilannya. Namun, saya bertanya-tanya kuda cantik ini didatangkan dari mana ke tanah Batak? Apakah mereka punya kuda semacam sandel di Sumba?

Ahli nujum
Puluhan perahu “parkir” di pantai yang sangat tenang. Hanya ada sebuah rumah tak jauh dari barisan perahu. Lalu dua pohon besar dengan tajuk tak cukup rindang. Di sekitarnya ramai orang berkerumun serupa semut. Setelah melihat judu foto, ternyata foto itu menggambarkan suasana hari pasaran di Prapat, tepi Danau Toba. Wah, ramai juga ya hari pasaran di Toba. Hebatnya, mereka tak membangun pondok atau semacamnya yang bisa melindungi diri dari panas. Para pedagang ngemper dan pembeli berdiri berkerumun di dekatnya. Karena belum ada drone, kemungkinan besar foto ini diambil dari atas bukit.

Pulang Kampung

“Akhirnya ada Jambi juga,” ujar saya spontan begitu melihat foto berjudul “Sungai Batanghari di Jambi”. Ada dua pompong besar dan satu pompong kecil bersandar di –semacam- rumah apung. Sebuah kapal besar melintas di belakangnya. Ah, ingatan saya langsung tertuju pada coklat air Batanghari dengan getek (perahu kecil) di atasnya. Teringat bagaimana saya harus menyebrangi sungai terpanjang di Sumatra ini nyaris setiap hari dulu saat menyelesaikan tugas akhir. Seketika, setitik rindu terbit di sudut hati.

Masih di sungai, yang tak begitu jelas namanya, sekitar empat perahu dengan bentuk yang unik sandar di dermaga kecil. Perahu-perahu itu milik BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij). “Emang kalau di Jambi ada minyak juga ya?” tanya seorang teman yang pergi ke pameran bersama saya. 

Kilang-kilang minyak di daerah Tempino langsung hadir dalam bayangan visual saya. Betapa hingga sekarang saya tak pernah ingin tahu tentang sejarah perminyakan di Jambi. Hanya sesekali saja dengar rumor bahwa pipa minyak Pertamina sering “dibocori” untuk dicuri minyaknya. Juga selintas mengamati kehadiran para pekerja minyak dari Petrochina Oil yang seliweran di bandara. Saya cukup terkejut ketika isu minyak ini jadi sorotan kurator pameran. Sesuatu dari Jambi yang dipilih untuk ditampilkan dalam pameran ini.

Di atas Sungai Batanghari
Jika saya acuh dengan minyak di Jambi, maka foto pabrik teh Kayu Aro membuat mata berbinar. “Sebagai bekal jika satu saat berkunjung ke sana,” saya membatin. Memang sudah sangat lama saya begitu ingin menjelajahi tanah Kerinci. Ingin tahu cerita teh yang konon digemari ratu Inggris itu.

Bicara tentang Jambi tak lengkap jika tak mengundang Suku Anak Dalam. Maka citra Jambi dalam pameran ini digenapkan oleh kehadiran foto seorang lelaki Suku Anak Dalam yang berpose di tepi jalan. Hanya mengenakan cawat, ia memegang semacam lembing di tangan kanannya. Di kanan dan kirinya membentang pepohonan serupa hutan. Mungkin sekarang sudah jadi perkebunan sawit. Tak ada info lebih tentang lelaki ini.

Perspektif Kolonial Terhadap Aceh

Foto-foto untuk merepresentasikan Aceh sebagian besar berupa potret diri tokoh dari kalangan atas. Ada Panglima Polim, seorang lelaki, dan hulubalang Pantai Barat Aceh. Yang menarik perhatian saya ialah tutup kepala yang dikenakan oleh mereka. Semua mengenakan topi rajut yang nyaris serupa. Apakah sekarang mereka masih mengenakan topi yang sama?

“Rumah Orang Aceh yang Kurang Beruntung” saya pikir menjadi foto paling menarik dari semua foto yang dipamerkan kali ini. Sebuah rumah panggung beratapkan jerami, mungkin dengan dinding gedhek berdiri di tepi sungai dengan perbukitan jadi latarnya. Ada beberapa pohon kelapa menjulang tinggi. Sebatang pohon durian atau sialang turut meramaikan rimbun pepohonan di sekitar rumah. Tapi, mengapa fotografer memilih judul seperti itu?

Apa yang salah dengan rumah ini? Ada banyak bahan pangan tersedia di sekitarnya. Kelapa tinggal petik, durian (jika bukan sialang) atau madu (jika bukan durian) tinggal ambil, ikan tinggal pancing, pemandangan menyenangkan. Lalu di mana “kurang beruntungnya”?

"Kurang Beruntung"
Judul ini menarik karena memberikan label berdasarkan perspektif kulit putih. Bisa jadi hal ini masih terus direproduksi. Stigma bahwa rumah berbahan bambu, gedhek, atau kayu sebagai rumah orang miskin tampaknya masih dipelihara. Padahal bisa jadi mereka menggunakan bahan-bahan atau teknik panggung untuk merespon lingkungan yang sering gempa atau terkena banjir misalnya.

Lalu, anggapan bahwa tinggal bersama lingkungan pohon kelapa atau kebun tidaklah menarik dibandingkan dengan tinggal di dalam komplek yang nyaris tanah permukaannya ditutup konblok. Bahwa tinggal di desa dengan halaman luas, pepohonan rindang, bahan pangan tinggal ambil di sekitar, tetap saja dianggap “miskin” dibanding dengan orang-orang yang tinggal di kota. Hantu pelabelan miskin dan kaya ini semakin subur disemai oleh sinetron-sinetron sampah yang selalu hidup di rumah-rumah orang di desa.

Minangkabau yang Memukau

“Kata Bapakku, daerah yang harus kukunjungi di Sumatra itu ialah Sumatra Barat. Gila! Menarik banget,” ujar teman saat kami melihat foto kehidupan di Sumatra Barat. Memang, daerah ini sudah masuk dalam daftar kunjung saya sejak lama. 10 tahun yang lalu, saya hampir datang ke provinsi ini. Namun, karena urusan pemilu saya batal singgah ke sini. Dan hingga kini belum juga ada tanda untuk melancong ke sana.

"Memikat"
Tiap daerah di Sumatra pasti kaya warna budaya. Namun, entah mengapa Sumatra Barat selalu jadi prioritas saya. Tetangga provinsi tempat saya lahir ini mampu menguarkan wangi aroma rempah begitu saya membayangkannya. Solok, Bukittinggi, Padang, Pariaman, Lima Puluh Kota, dan masih banyak lagi tempat di sana yang ingin saya jelajahi. Mencicipi ragam kuliner kaya rempah dan singgah ke kampung Tan Malaka. Memang tak cukup seminggu untuk mengenal daerah yang pernah didiami oleh Adityawarman ini. Seorang penguasa Melayu yang foto arcanya juga ditampilkan dalam pameran ini.

Menerbangkan Asa Menebar Hasrat

Jika dilihat lagi, pameran fotografi tetap saja masih mengandalkan prinsip “foto mewakili seribu kata”. Begitu pula yang saya amati dalam “Warna-warni Kehidupan Sumatra 1947” ini. Hanya ada judul foto dan lokasi. Terkadang memang ada sedikit penjelasan lengkap terkait foto. Namun, jangan berharap banyak untuk mendapatkan cerita terkait objek yang difoto.

Untuk alur cerita foto, mungkin akan lebih baik jika ditampilkan berdasarkan kategori batas wilayah. Misal memulai dari Aceh atau sebaliknya dari Lampung baru kemudian merunut ke daerah-daerah di sisi selatan atau utaranya. Susur Sumatra dengan logika jalur darat bagi saya lebih menyenangkan karena tidak perlu lompat-lompat. Ketika saya memulai dari Batak kemudian diselingi Sumatera Barat dan Riau lalu singgah lagi ke Tapanuli, rasanya kok rada capek ya. Hehehe. Padahal hanya melihat foto bukan singgah langsung ke tempat-tempat itu.

Andai saja pameran ini disajikan dengan pendekatan interpretasi maka pastinya akan jauh lebih menarik. Saya bisa betah berlama-lama di sini karena ada koneksi dengan tanah kelahiran. Kurang tahu kalau pengunjung yang lain. Namun, pastinya akan sangat disayangkan jika kunjungan ini hanya terjebak pada citra “mooi indie” yang dibangun dalam foto-foto yang dipamerkan. Kecuali foto “Rumah Orang Aceh yang Kurang Beruntung” ya :D.

Namun, meskipun tak pakai interpretasi, pameran ini tetap berhasil membuat saya makin ingin singgah ke tempat-tempat lain selain Jambi. Tinggal lebih lama dan menanggalkan perspekstif “mooi indie”. Saya ingin mengenal lebih dalam lingkungan dan orang-orang yang membangun kebudayaan di bumi Suwarnadwipa ini. Semoga. Berucap saja dulu, siapa tahu akan nyata dalam waktu mendatang.

Comments

Popular Posts