Perkara Khotbah
Memulai khotbah dengan kata “penyimpangan”, Pak Ustad
panjang lebar bercerita tentang betapa semua yang dilakukan oleh manusia
diketahui oleh Tuhan Yang Maha Esa. Khotbah Idul Fitri pagi ini berlangsung
sekitar 15 menit. Seperti biasanya, Pak Ustad seperti membaca teks dan minim
interaksi dengan umat. Mungkin karena durasi waktu yang terbatas sehingga tak
memungkinkan mengajak umat sebagai bagian dari khotbahnya.
Berkali-kali ayat yang menyerukan tentang bumi yang
mengetahui apa saja perbuatan manusia di atasnya disebut. Ayatnya beda,
pesannya nyaris sama. Bahwa jangan sekali-kali manusia berbuat jelek karena
semuanya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Semua bagian tubuh akan
bersaksi. Bahkan kulit pun akan menyuarakan apa saja yang diperbuat oleh
pemilik tubuh semasa hidupnya.
Pak Ustad juga sempat menyebut hadis yang menyatakan bahwa
Rasul menyamakan bumi ini dengan ibu. Jadi, jangan pernah menyakiti bumi.
Sampai sana, saya punya sedikit harapan dari khotbah hari
raya yang dibuka dengan awalan yang tak menarik ini. Setidaknya, isu politik
samar-samar saja disentuh. Meskipun beberapa pernyataan dari Pak Ustad sudah
memberikan petunjuk kemana suaranya berlabuh saat pemilu kemarin. Pula, Pak
Ustad tak menyinggung akibat dari pemilu yang mungkin efeknya masih dirasakan
hingga kini. Tak ada ajakan untuk berdamai dan bermaaf-maafan. Mungkin sudah
jamak disampaikan oleh ustad-ustad yang lebih kondang di televisi.
Tapi, hampir sepuluh menit berjalan, khotbah masih
berputar-putar pada masalah segala tindakan manusia di muka bumi akan diputar
ulang di akhirat. Manusia tak bisa mengelak. Intinya berhati-hatilah untuk
bertindak di muka bumi ini.
Saya sebenarnya punya harapan lebih. Sudah mengangkat hadis
bumi sama seperti ibu yang melahirkan kita, namun tak merinci apa saja yang
harus kita perbuat agar tak menyakitinya. Padahal ada seabrek masalah sosial
yang terkait dengan bumi secara harafiah.
Sebut saja soal sampah plastik. Betapa kita dengan sangat
mudah memberikan segudang alasan untuk menghasilkan sampah plastik. Itu sangat
erat kaitannya dengan keseharian. Dampaknya pun dirasakan saat ini dan di masa
mendatang. Namun, tampaknya khotbah agama yang saya dengar lebih suka mengusung
jargon. Para ustad lebih suka membicarakan hal yang besar cenderung
mengawang-awang. Padahal, ujaran mereka sangat berpotensi mengubah perilaku
umat.
Untuk itulah saya tak pernah terkesan dengan khotbah agama.
Sebagian besar tak menyasar masalah keseharian. Khotbah yang saya dengar lebih
memilih menyampaikan akibat-akibat yang akan kita terima jika berbuat dosa.
Tentu saja tak dirinci mana-mana yang termasuk dosa. Termasuk juga mana-mana
yang dianggap perbuatan baik yang harus dipraktikkan dalam keseharian. Apakah melanggar lampu lalu lintas, menghasilkan
sampah plastik, membagi asap rokok tanpa diminta, menyerobot antrean,
membiarkan perilaku suap terjadi, menyogok petugas termasuk dosa?
Intinya, saya kok jarang bisa menikmati khotbah dalam Islam ya?
Apakah karena selama ini khotbah yang saya ikuti memang khotbah umum yang ga
spesifik. Atau juga karena masih kurangnya pengetahuan saya tentang khotbah
yang berkualitas. Tapi setidaknya pagi ini cukup menyenangkan karena bacaan
shalat Pak Ustad sungguh merdu. Sesuatu yang jarang saya dengar di perantauan.
Comments