Kisah Pala dari Negeri Run
I had a little nut tree, nothing would it bear. But
a silver nutmeg, and a golden pear. The King of Spain’s daughter, came to visit
me. And all for the sake of my little nut tree. Lirik lagu “I Had a Little Nut Tree” yang pernah
disenandungkan Ibu Tamalia Alisjahbana menggema di telinga saya saat
mengunjungi kebun pala. Lagu yang diduga sudah ada sejak abad 16 itu menunjukkan
pala sudah dikenal di Eropa.
Saat itu saya
baru tiba di Pulau Run, Kepulauan Banda Neira. Pak Abdullah, tuan rumah tempat
saya menginap, langsung mengajak berkeliling kebun palanya. Itu perjumpaan
pertama saya dengan buah pala. Buah kuning nan ranum itu terbuka sedikit,
menampakkan biji hitam berbalut fuli,
selaput merah serupa roti jala. Itulah “emas” endemik dari Banda, dihasilkan
di atas tanah subur dari letusan Gunung Api.
Ada juga pohon
kenari yang teramat tinggi sebagai pelindung pohon-pohon pala yang terkesan
ringkih. “Saat angin laut bertiup ke daratan, jika tak ada pohon kenari, maka
pohon pala bisa mati,” Pak Abdullah menjelaskan.
Pala sudah
berkelindan dalam cerita keseharian orang Banda, khususnya orang Run. Rumah
inap Pak Abdullah diberi nama Manhattan 2. Seolah ingin menunjukkan hubungannya
dengan kawasan maju di benua nun jauh di sana. Run yang saat ini hanya dialiri
listrik pukul 18.00-23.00, dahulu merupakan pulau yang diperebutkan Inggris dan
Belanda.
Demi buah pala,
Nathaniel Courthope, agen dagang Inggris, ditugaskan untuk memperjuangkan Run mati-matian
pada 1616-1620. Wajar saja karena dari semua pulau di Kepulauan Banda hanya Run
yang belum dikuasai Belanda. Sementara harga pala di Eropa bisa melonjak 200
kali lipat dari harga aslinya. Namun akhirnya Inggris kalah. Run pun terpaksa
ditukar dengan Manhattan lewat perjanjian Breda pada 1667.
Saat ini keberadaan
dua perk –istilah kebun dalam bahasa
Belanda - di Pulau Run, Perk Eldorado dan Arcadia, hanya bertahan lewat cerita saja.
Bukti fisiknya nyaris tiada. Hanya Rumah Besi, rumah pengasapan pala di Perk
Eldorado yang kini tinggal tiang-tiang penopangnya saja. Tak ada lagi denting
jam penanda waktu kerja yang terdengar
hingga Pulau Ay.
Namun begitu,
Pulau Run tetaplah menarik hati. Orang-orang tua di sini gemar bercerita.
Pancinglah dengan kata “pala” maka kisah masa lampau tentang kehidupan di
perkebunan pala akan mengalir deras dari mulut mereka. Ditambah sajian kuliner
berbahan dasar ikan laut segar dengan racikan bumbu kaya rempah seperti pala
dan cengkih yang membuat lidah menari. Nikmat sekali tanpa harus mendapat
asupan bumbu penyedap sintetis.
Rumah-rumah di Run
dibangun mengikuti kontur yang berbukit. Mereka tampaknya tak membutuhkan
kendaraan bermotor. Semua bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Jalanan di Run
lengang sekali. Tak ada raungan knalpot atau hilir mudik anak-anak dengan
sepeda motor. Ah, damai sekali.
Anak-anak di sini
masih hidup dalam kesenangan masa kecil. Mereka tak disibukkan dengan gawai dan
lebih suka bermain gundu. Hampir tiap sore mereka berenang di tenangnya pesisir
Pulau Run. Atau berbekal tokiri mereka asyik berburu kenari dan pala yang jatuh
dari pohon.
Meskipun sedikit
terisolir namun warga Run tampak bahagia. Mengutip pernyataan Ibu Tamalia bahwa
Kepulauan Banda harus mendapatkan sentuhan dari luar sesedikit mungkin. Begitu
pula Run, tak perlu bersolek agar dilirik banyak mata. Ia hanya perlu menjaga
ritme hidup yang sejauh ini sudah berjalan. Tak perlu tergesa-gesa. Tak usah
juga berharap menjadi seperti Manhattan. Justru hantu bernama modernisasi
berlebihan itu yang harus dihindari.
Comments