Foto: Media Belajar nan Menyenangkan


Foto demi foto diputar di tengah cuaca super panas siang itu. Sebagian besar latarnya ialah pasar tradisional. Mulai pasar di Kepulauan Banda Neira hingga Jakarta. Puluhan pertanyaan pun mengalir mengikuti foto-foto yang ditampilkan. Beragam imajinasi bermunculan ketika melihat momen yang dibekukan itu.

Ya, siang itu kami bermain-main dengan data visual. Kami ingin menguji seberapa besar media foto dapat dijadikan bahan ajar yang menyenangkan. Kami mengambil tema "Pasar Tradisional" untuk memantik kejelian observasi dan membangkitkan hasrat keingintahuan. 

Ternyata media foto sangat menarik untuk proses belajar. Ah, andai saja dulu saat sekolah saya mendapatkan kesempatan belajar seperti ini. Bayangkan saja, kita bisa belajar geografi, ekonomi, antropologi, biologi, atau bahkan isu-isu HAM hanya dari sebuah foto. Menarik bukan?

Tak ada lagi hapalan angka tahun atau peristiwa yang wajib dilakukan. Karena semuanya dibahas secara kontekstual dan informasi dicari sesuai kebutuhan. Kalau saya jadi pengajar pastinya saya akan memperbanyak porsi belajar lewat foto seperti ini. Meskipun saya tidak belajar teori fotografi. Tapi rasanya ini cukup mudah dipraktikkan. Oh, kemana saja saya selama ini? Kok bisa baru menyadari setelah ratusan ribu tombol rana saya tekan.

"Ih kok gitu sih, aku ga mau lihat," ujar seorang peserta. Komentarnya muncul setelah melihat sebuah foto kepala lumba-lumba yang sudah terpisah dengan badannya. Foto itu saya ambil ketika bertandang ke Pasar Mbongawani, Ende. Dua kesempatan main ke sana, dua kali pula saya melihat lumba-lumba diperjualbelikan di sana.

Lalu bagaimana saya merespon komentar peserta itu? Saya kemudian menceritakan alasan mengambil foto itu. Tentu saja saya dirundung perasaan bersalah ketika mengabadikan momen itu. Tapi, saya pikir poinnya bukan di sana. Foto itu nyatanya memberikan saya media untuk mengajarkan teori-teori dasar bagaimana mengenal kebudayaan orang lain. Bahwa kita berbeda, dan perbedaan itu hadir bukan untuk kita hakimi.

Lewat foto 'penjual lumba-lumba' itu saya bercerita pentingnya berpikir kritis dengan cara yang halus. Bagimana mungkin saja mendapatkan cerita di balik nasib si lumba-lumba itu ketika saya sudah menetapkan nilai saya pada fenomena itu. Alih-alih mendapatkan kisah, bisa jadi saya malah diusir dari sana. 

Nah, dari sana kemudian saya bercerita bahwa pasar -tempat momen itu dibekukan- merupakan tempat yang sangat menarik dan wajib dikunjungi oleh tiap pejalan. Dari pasar kita bisa melihat orang dan budaya sebuah tempat. Pun kita bisa lihat karakter dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat setempat. Pasar tradisional ialah tempat sempurna untuk mengenal lebih dalam sebuah tempat baru.

Kembali ke foto 'penjual lumba-lumba', saya kemudian memberi pancingan informasi pada peserta. Bahwa ada banyak pertanyaan -tanpa proses menghakimi- yang muncul terkait si lumba-lumba dan warga setempat. Dari lumba-lumba kita bisa lihat hubungan antara masyarakat di pegunungan dengan di pesisir. Sebuah isu yang mungkin tak akan disinggung di bangku sekolah. 

Walakin, foto 'penjual lumba-lumba' hanya satu contoh kecil tentang bagaimana foto dapat menjadi media populer untuk membahas banyak isu. Masih banyak contoh foto lainnya yang mengantarkan kami pada budaya dan sistem ekonomi yang dijalankan oleh orang-orang di luar tempat kami tinggal. Penerapan metode baru ini pun membuat saya lebih bersemangat lagi mengabadikan momen.

#KontendiSekitarmu #Hari10
*Terima kasih pada rekan kerja yang memberikan inspirasi metode ini. Ya, mungkin metode ini juga sudah ada sebelum dia usulkan dalam kegiatan kami :D

Comments

Popular Posts