Hal Dasar Tentang Museum



Niatnya hari ini melanjutkan membaca The Participatory Museum karya Nina K Simon. Tapi di tengah jalan kok malah tergoda untuk mengunduh beberapa buku yang jadi referensi Simon dalam menulis. Jadilah saya bertemu tulisan Elaine Heumann Gurian dalam Civilizing the Museum: The Collected Writings of Elaine Heumann Gurian.

Saya langsung tertarik dengan “Answer to The Ten Questions I Am Most Often Asked”. Dalam tulisan yang versi aslinya dibuat pada 1988, Gurian mengambil perspektif tanya jawab. Saya pikir ini menarik sekali. Seperti sebuah liputan tapi si penulis sendiri yang mengumpulkan pertanyaan yang sering ia dapatkan. Tentu saja ia berangkat dari sudut pandang seorang edukator museum.

Saya pun mencoba memahami jawaban-jawaban yang dilontarkan oelh Gurian. Tentu saja tidak semua pertanyaan dan jawaban saya masukkan di sini. Hanya yang menarik dan berhubungan saja dengan apa yang sedang saya geluti saat ini.

Apa sih museum itu?
Pertanyaan ini seingat saya dilontarkan oleh dosen pengampu mata kuliah museologi saat kuliah dulu. Apa itu museum? Gudang, tempat hiburan, institusi yang berperan mengedukasi masyarakat, atau apa? Tak menyangka ternyata pertanyaan ini termasuk yang sering ditanyakan pada seorang edukator museum.

Gurian menjawab dengan sederhana, ”Museum tempat yang menyimpan barang tiga dimensi.” Tentu saja ia menjelaskan lebih lanjut. Namun, Gurian tidak secara harafiah menjelaskan maksud dari tempat penyimpanan itu. Lewat fungsi museum itu, ia menekankan mengenai pentingnya sebuah museum untuk mempunyai misi dan jujur dengan misinya.

Kenapa misi sebuah museum itu penting? Karena misi itu akan menentukan koleksi beserta manajemennya. Misi ini pula yang akan menentukan pendekatan yang digunakan museum untuk pengunjungnya. Semisal. museum seni yang ingin menonjolkan barang dengan nilai seni yang tinggi akan punya pendekatan yang berbeda dengan museum seni yang lebih menekankan pada sisi edukasi seni.

Apa bedanya museum dengan sekolah?
Siapa sih yang terpikir untuk bikin pertanyaan seperti ini? Apakah karena mereka tahu pertanyaan ditujukan pada seorang edukator di museum? Saya menduga pertanyaan ini muncul karena yang bersangkutan ingin membandingkan sisi edukasi di sekolah dengan di museum.

Gurian pun menjelaskan dengan analogi yang ciamik. Menurut Gurian, museum dengan sekolah itu ibarat sepupu ketimbang saudara kandung. Nah, Gurian sengaja membuat pembaca mengernyitkan dahi sambil berkata, "Maksudnya?”

Gurian lantas mengajak pembaca untuk masuk ke pertanyaan selanjutnya. Karena jawaban yang menjelaskan pertanyaan ini tersedia di sana.

Sifat pembelajaran di museum
Mata saya tertuju pada kata-kata “aha!” dalam sebaris kalimat pembuka. Saya langsung teringat penjelasan Apu Wiwien saat kuliah lapangan interpretasi di Ujung Kulon. “Aha!” momen ini kalau dalam interpretasi bisa jadi parameter apakah sang interpreter berhasil membawakan cerita dengan sukses atau tidak.

Nah, sementara itu Gurian menjelaskan bahwa sifat pembelajaran di museum itu ialah “landmark experience” atau efek “aha!”. Saya belum menemukan istilah tepatnya. Tapi efek itu dapat terjadi ketika kita datang dengan ketidaksadaran, ketidakpahaman, atau ketidakfokusan terhadap satu hal. Lalu, di satu titik kita kemudian menyadari sesuatu itu, dan dengan spontan berkata, “aha!”.

Gurian menjelaskan, bahwa sebagai orang museum, dia tidak bisa mengatur “landmark experience” pengunjung. Museum hanya bisa menyediakan data mentah sehingga pengunung punya kesempatan memilih untuk dirinya sendiri mana hal-hal yang berarti.

Gurian membagi pengalaman personalnya. Ketika di suatu masa, anak-anaknya menceritakan hal yang sama atau membuat analogi terhadap satu koleksi berdasarkan koleksi lain yang pernah mereka lihat beberapa tahun yang lalu di museum berbeda. Baginya, pengalaman itu menyadarkannya bahwa ia seperti membawa banyak potongan puzzle ke mana pun dia pergi. Lalu di suatu hari, potongan itu disatukan ke dalam bentuk yang utuh.

Nah, di titik itulah Gurian melihat bahwa evaluasi akan sulit dilakukan oleh museum dibanding dengan di sekolah. Coba bayangkan saja, bagaimana kita menguji apakah pengunjung paham dengan apa yang disajikan? Karena bagi Gurian, sifat pembelajaran di museum itu sangat individualistik dan terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Tapi museum dapat menjadi tempat belajar lintas generasi. Keluarga yang mengunjungi museum pun dapat belajar bersama.

Dari penjelasan Gurian, sudah paham kan beda antara sifat pembelajaran di sekolah dengan di museum ;)

Siapa audiens museum? Apa sih yang memotivasi mereka untuk datang?
Gurian membagi audiens museum ke dalam dua segmen. Yang pertama ialah audiens berkelompok atau grup. Gurian menamakan kelompok ini sebagai “coerced audience” atau audiens yang dipaksakan. Sontak saya tertawa membacanya. Tiba-tiba jadi teringat fenomena yang sangat khas di Indonesia.

Bagi Gurian, “coerced audience” ini datang ke museum akibat paksaan alias bukan atas kehendak sendiri. Saya menyebut audiens ini sebagai pihak yang tak punya kuasa atas kehendak sendiri. Mereka tunduk pada pemberi mandat yang mewajibkan mereka berkunjung ke museum.

Apa kabar program Wajib Kunjung Museum yang dilestarikan oleh pemerintah itu? Tentu saja masih berjalan. Menurut Gurian, bagi beberapa anak, kunjungan sekolah adalah pengalaman satu-satunya mereka berkunjung ke museum. Ketika pengalaman itu dibuat terlalu patuh dengan ketentuan (tugas dari guru) maka hal itu akan menjadi memori yang lembab, kelam, dan museum menjadi tempat yang membosankan. Kami di Jaladwara pun pernah mengalami penolakan dari beberapa anak sekolah. Saat itu kami mengajak mereka untuk berkegiatan di museum. Dan kami langsung ditolak mentah-mentah. Entah, apakah program ini meninggalkan trauma yang sebegitu gelap dalam benak anak sekolah? Perlu penelitian serius untuk menjawabnya.

Audiens yang kedua ialah audiens sukarela atau umum. Mereka ialah orang-orang yang datang ke museum karena kehendak sendiri. Mereka punya banyak pilihan dan berkuasa atas pilihannya. Mereka memutuskan berkunjung ke museum sebagai bagian dari pilihannya.

Lalu Gurian mencontohkan pengalamannya di Boston Children’s Museum terkait audiens grup. Seperti yang banyak dijumpai, audiens kelompok ini didominasi oleh anak-anak dalam label trip sekolah. Sebagian besar anak memandangnya sebagai liburan dari sekolah. Guru kemudian harus melekatkan alasan pendidikan dalam kunjungannya. Sementara pihak museum harus mencari cara untuk memuaskan guru dan membuat pengalaman kunjungan itu menyenangkan. Sehingga kunjungan itu diharapkan dapat menjadi bekal untuk menanamkan pengalaman ke museum seumur hidup bagi anak-anak. Namun sayangnya, upaya itu seringkali berakhir gagal.

Fakta menarik yang diberikan oleh Gurian ialah bahwa pada 1982, ia menghapus program sekolah dari Boston Children’s Museum. Ia berkeyakinan bahwa program itu alih-alih membuat stafnya menjadi edukator justru mengubahnya menjadi guru.

Jadi, yang bisa saya lihat dari cerita Gurian ialah bahwa kunjungan sekolah itu sama merepotkannya. Usaha yang dikeluarkan pihak museum pun termasuk besar. Namun, hasilnya seringkali jauh dari harapan.

Sementara itu audiens umum lebih dapat memberikan petunjuk lebih baik untuk sifat pembelajaran museum. Audiens umum mengunjungi museum selama waktu luangnya. Dan menempatkan museum dalam format hiburan yang terpilih dari sekian banyak ragam hiburan. Dan, perilaku pengunjung umum ini jauh lebih menarik untuk diamati. Tentu saja karena sifatnya yang lebih individu. Dan berasal dari beragam usia dan latar belakang.

Seperti apa sih program museum yang harus tersedia untuk publik?
Bicara program, Gurian bicara tentang peran interpreter. Kalau saya tak salah tangkap, interpreter di museum berada di bawah divisi edukator.

Gurian menjelaskan peran interpreter yang dibagi ke dalam tiga level. Nah, level paling atas biasanya sering kami –Jaladwara- mainkan. Level ini mengajak pengunjung untuk ‘melakukan’ sesuatu di museum. Bisa jadi bermain peran, demonstrasi, atau menyelenggarakan permainan.

Program ini bertujuan untuk membuat pengunjung merasa istimewa. Namun, kelemahannya, pengunjung jadi tak punya kesempatan untuk menikmati koleksi museum secara utuh. Berhubung tulisan ini dibuat tahun 1988 saya pikir tak ada salahnya dengan fokus di satu tema dan beberapa objek koleksi saja. Terang saja cerita Gurian ini mengingatkan saya pada program Misteri Arca Bertangan Delapan di Museum Sonobudoyo.

Namun Gurian menekankan pentingnya menyediakan program yang seimbang untuk pengunjung. Misal, di beberapa lokasi di mana pengunjung bebas untuk melihat-lihat dan mendapatkan bantuan jika dibutuhkan (Level 1); beberapa lokasi di mana mereka akan menaruh fokus pada objek koleksi spesifik (Level 2); dan beberapa di mana pengunjung akan mendapatkan program tambahan khusus (Level 3).

Untuk keperluan itu edukator harus memberikan pelatihan pada interpreter. Gurian sendiri, berkaca pada pengalamannya di Boston Children’s Museum memberi satu istilah “orchestration”. Istilah itu mengacu pada kemampuan interpreter untuk mengubah level dan bagaimana dalam rangka mencapai keseimbangan program dalam satu waktu. Pyuh, kebayang sih ini rumitnya seperti apa.

Ah, tapi saya jadi mendapat pencerahan untuk pelayanan di dalam museum.

Teknik pameran yang efektif
Terkait teknik pameran yang paling efektif untuk edukasi publik, Gurian menjelaskan panjang lebar. Agar rumit sebenarnya bagi saya untuk memahaminya. Tapi intinya, pameran biasanya dibuat sesuai target audiens. Namun, tidak menutup kemungkinan museum mengakomodir beberapa target. 

Dengan sederhana Gurian menjelaskan, “semua teknik punya tempat mereka sendiri”.
Gurian sangat detail ketika memberikan pengarahan pada desainer dan pengembang pameran. Mana kah tombol tekan yang efektif, bagaimana proses labeling diselesaikan, apa saja yang dimasukkan dalam elemen “hands-on”, bagaimana sumber material tambahan disajikan?

Setelah mengunjungi Museum Dharma Wiratama, saya jadi bertanya-tanya, apakah orang yang bertanggung jawab terhadap tata pamer mempunyai pemikiran yang sama dengan Gurian?

Karena Gurian berasal dari latar belakang museum anak, maka ia sangat memperhatikan tingkat kesulitan dari tata pamernya. Gurian cenderung memikirkan kebutuhan berbagai level. Dari pengunjung level pemula hingga level mahir.

Kita toh tak bisa menampik bahwa pengunjung museum itu datang dengan isi kepala yang beragam. Ada yang sudah punya pengetahun tentang koleksi yang dipamerkan. Ada pula yang sedikit tahu. Namun, banyak pula yang datang dengan kepala kosong. Untuk itulah museum harus hadir secara inklusif. Apalagi melibatkan pengunjung anak. Setidaknya hal dasar berupa label harus diperhatikan dengan cermat. Namun, meski inklusif di sisi lain tak bikin bosan orang-orang yang sudah punya pengetahun. Hehehe, menjebak banget sih jika ngobrolin tata pamer ini.

Menariknya, sebelum membuat pameran di Boston Children’s Museum, Gurian dan rekan-rekannya melakukan uji coba dan revisi terhadap ide-ide individu. Apakah itu akan berhasil, atau justru gagal? Pendekatan ini baginya justru meningkatkan rasa optimis pada stafnya. Bahwa percobaan yang gagal bisa mengantarkan pada kesuksesan (Mario Teguh mode on).

Kembali pada pertanyaan di atas. Gurian menjawab bahwa saat itu ia sedang tergila-gila dengan teknik “hands-on” yang melibatkan pengunjung. Coba kita ingat kembali bahwa tulisan ini awalnya dibuat pada 1988. Kebayang kan 1988 seorang Gurian sudah tergila-gila dengan aktivitas “hands-on”. Saya lantas teringat dengan tata pamer di Museum Filateli, Singapura. 

Bagi saya, Museum Filateli jadi contoh yang baik untuk menurunkan ide Gurian ini. Ada banyak display di mana kita bisa membuka laci atau rak kecil untuk menemukan pertanyaan dan menebak jawaban berdasarkan perangko. Tak hanya itu, museum itu dilengkapi dengan fasilitas interaktif yang bejibun jumlahnya. Rasanya saya ingin menginap di sana agar bisa puas mendalami satu per satu fasilitas interaktif yang disajikan.

Nah, begitu hasil pembacaan ulang saya terhadap tulisan Gurian. Sepertinya harus sering-sering baca hal-hal terkait museum –lagi-. Agar tak ketinggalan informasi.

#KontendiSekitarmu #Hari16

Comments

Popular Posts