Hal Dasar Tentang Museum
Saya langsung tertarik dengan “Answer to The Ten Questions I
Am Most Often Asked”. Dalam tulisan yang versi aslinya dibuat pada 1988, Gurian
mengambil perspektif tanya jawab. Saya pikir ini menarik sekali. Seperti sebuah
liputan tapi si penulis sendiri yang mengumpulkan pertanyaan yang sering ia
dapatkan. Tentu saja ia berangkat dari sudut pandang seorang edukator museum.
Saya pun mencoba memahami jawaban-jawaban yang dilontarkan
oelh Gurian. Tentu saja tidak semua pertanyaan dan jawaban saya masukkan di
sini. Hanya yang menarik dan berhubungan saja dengan apa yang sedang saya
geluti saat ini.
Apa sih museum itu?
Pertanyaan ini seingat saya dilontarkan oleh dosen pengampu
mata kuliah museologi saat kuliah dulu. Apa itu museum? Gudang, tempat hiburan,
institusi yang berperan mengedukasi masyarakat, atau apa? Tak menyangka
ternyata pertanyaan ini termasuk yang sering ditanyakan pada seorang edukator
museum.
Gurian menjawab dengan sederhana, ”Museum tempat yang
menyimpan barang tiga dimensi.” Tentu saja ia menjelaskan lebih lanjut. Namun,
Gurian tidak secara harafiah menjelaskan maksud dari tempat penyimpanan itu.
Lewat fungsi museum itu, ia menekankan mengenai pentingnya sebuah museum untuk
mempunyai misi dan jujur dengan misinya.
Kenapa misi sebuah museum itu penting? Karena misi itu akan
menentukan koleksi beserta manajemennya. Misi ini pula yang akan menentukan
pendekatan yang digunakan museum untuk pengunjungnya. Semisal. museum seni yang
ingin menonjolkan barang dengan nilai seni yang tinggi akan punya pendekatan
yang berbeda dengan museum seni yang lebih menekankan pada sisi edukasi seni.
Apa bedanya museum
dengan sekolah?
Siapa sih yang terpikir untuk bikin pertanyaan seperti ini?
Apakah karena mereka tahu pertanyaan ditujukan pada seorang edukator di museum?
Saya menduga pertanyaan ini muncul karena yang bersangkutan ingin membandingkan
sisi edukasi di sekolah dengan di museum.
Gurian pun menjelaskan dengan analogi yang ciamik. Menurut
Gurian, museum dengan sekolah itu ibarat sepupu ketimbang saudara kandung. Nah,
Gurian sengaja membuat pembaca mengernyitkan dahi sambil berkata, "Maksudnya?”
Gurian lantas mengajak pembaca untuk masuk ke pertanyaan
selanjutnya. Karena jawaban yang menjelaskan pertanyaan ini tersedia di sana.
Sifat pembelajaran di
museum
Mata saya tertuju pada kata-kata “aha!” dalam sebaris
kalimat pembuka. Saya langsung teringat penjelasan Apu Wiwien saat kuliah
lapangan interpretasi di Ujung Kulon. “Aha!” momen ini kalau dalam interpretasi
bisa jadi parameter apakah sang interpreter berhasil membawakan cerita dengan
sukses atau tidak.
Nah, sementara itu Gurian menjelaskan bahwa sifat
pembelajaran di museum itu ialah “landmark experience” atau efek “aha!”. Saya
belum menemukan istilah tepatnya. Tapi efek itu dapat terjadi ketika kita
datang dengan ketidaksadaran, ketidakpahaman, atau ketidakfokusan terhadap satu
hal. Lalu, di satu titik kita kemudian menyadari sesuatu itu, dan dengan
spontan berkata, “aha!”.
Gurian menjelaskan, bahwa sebagai orang museum, dia tidak
bisa mengatur “landmark experience” pengunjung. Museum hanya bisa menyediakan
data mentah sehingga pengunung punya kesempatan memilih untuk dirinya sendiri
mana hal-hal yang berarti.
Gurian membagi pengalaman personalnya. Ketika di suatu masa,
anak-anaknya menceritakan hal yang sama atau membuat analogi terhadap satu
koleksi berdasarkan koleksi lain yang pernah mereka lihat beberapa tahun yang
lalu di museum berbeda. Baginya, pengalaman itu menyadarkannya bahwa ia seperti
membawa banyak potongan puzzle ke mana pun dia pergi. Lalu di suatu hari,
potongan itu disatukan ke dalam bentuk yang utuh.
Nah, di titik itulah Gurian melihat bahwa evaluasi akan
sulit dilakukan oleh museum dibanding dengan di sekolah. Coba bayangkan saja,
bagaimana kita menguji apakah pengunjung paham dengan apa yang disajikan?
Karena bagi Gurian, sifat pembelajaran di museum itu sangat individualistik dan
terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Tapi museum dapat menjadi tempat
belajar lintas generasi. Keluarga yang mengunjungi museum pun dapat belajar bersama.
Dari penjelasan Gurian, sudah paham kan beda antara sifat
pembelajaran di sekolah dengan di museum ;)
Siapa audiens museum?
Apa sih yang memotivasi mereka untuk datang?
Gurian membagi audiens museum ke dalam dua segmen. Yang pertama
ialah audiens berkelompok atau grup. Gurian menamakan kelompok ini sebagai “coerced
audience” atau audiens yang dipaksakan. Sontak saya tertawa membacanya.
Tiba-tiba jadi teringat fenomena yang sangat khas di Indonesia.
Bagi Gurian, “coerced audience” ini datang ke museum akibat
paksaan alias bukan atas kehendak sendiri. Saya menyebut audiens ini sebagai
pihak yang tak punya kuasa atas kehendak sendiri. Mereka tunduk pada pemberi mandat
yang mewajibkan mereka berkunjung ke museum.
Apa kabar program Wajib Kunjung Museum yang dilestarikan
oleh pemerintah itu? Tentu saja masih berjalan. Menurut Gurian, bagi beberapa
anak, kunjungan sekolah adalah pengalaman satu-satunya mereka berkunjung ke
museum. Ketika pengalaman itu dibuat terlalu patuh dengan ketentuan (tugas dari
guru) maka hal itu akan menjadi memori yang lembab, kelam, dan museum menjadi
tempat yang membosankan. Kami di Jaladwara pun pernah mengalami penolakan dari
beberapa anak sekolah. Saat itu kami mengajak mereka untuk berkegiatan di
museum. Dan kami langsung ditolak mentah-mentah. Entah, apakah program ini
meninggalkan trauma yang sebegitu gelap dalam benak anak sekolah? Perlu penelitian
serius untuk menjawabnya.
Audiens yang kedua ialah audiens sukarela atau umum. Mereka
ialah orang-orang yang datang ke museum karena kehendak sendiri. Mereka punya
banyak pilihan dan berkuasa atas pilihannya. Mereka memutuskan berkunjung ke
museum sebagai bagian dari pilihannya.
Lalu Gurian mencontohkan pengalamannya di Boston Children’s
Museum terkait audiens grup. Seperti yang banyak dijumpai, audiens kelompok ini
didominasi oleh anak-anak dalam label trip sekolah. Sebagian besar anak
memandangnya sebagai liburan dari sekolah. Guru kemudian harus melekatkan
alasan pendidikan dalam kunjungannya. Sementara pihak museum harus mencari cara
untuk memuaskan guru dan membuat pengalaman kunjungan itu menyenangkan.
Sehingga kunjungan itu diharapkan dapat menjadi bekal untuk menanamkan
pengalaman ke museum seumur hidup bagi anak-anak. Namun sayangnya, upaya itu
seringkali berakhir gagal.
Fakta menarik yang diberikan oleh Gurian ialah bahwa pada
1982, ia menghapus program sekolah dari Boston Children’s Museum. Ia
berkeyakinan bahwa program itu alih-alih membuat stafnya menjadi edukator
justru mengubahnya menjadi guru.
Jadi, yang bisa saya lihat dari cerita Gurian ialah bahwa
kunjungan sekolah itu sama merepotkannya. Usaha yang dikeluarkan pihak museum
pun termasuk besar. Namun, hasilnya seringkali jauh dari harapan.
Sementara itu audiens umum lebih dapat memberikan petunjuk
lebih baik untuk sifat pembelajaran museum. Audiens umum mengunjungi museum
selama waktu luangnya. Dan menempatkan museum dalam format hiburan yang
terpilih dari sekian banyak ragam hiburan. Dan, perilaku pengunjung umum ini
jauh lebih menarik untuk diamati. Tentu saja karena sifatnya yang lebih
individu. Dan berasal dari beragam usia dan latar belakang.
Seperti apa sih
program museum yang harus tersedia untuk publik?
Bicara program, Gurian bicara tentang peran interpreter. Kalau
saya tak salah tangkap, interpreter di museum berada di bawah divisi edukator.
Gurian menjelaskan peran interpreter yang dibagi ke dalam
tiga level. Nah, level paling atas biasanya sering kami –Jaladwara- mainkan.
Level ini mengajak pengunjung untuk ‘melakukan’ sesuatu di museum. Bisa jadi
bermain peran, demonstrasi, atau menyelenggarakan permainan.
Program ini bertujuan untuk membuat pengunjung merasa
istimewa. Namun, kelemahannya, pengunjung jadi tak punya kesempatan untuk
menikmati koleksi museum secara utuh. Berhubung tulisan ini dibuat tahun 1988 saya
pikir tak ada salahnya dengan fokus di satu tema dan beberapa objek koleksi
saja. Terang saja cerita Gurian ini mengingatkan saya pada program Misteri Arca
Bertangan Delapan di Museum Sonobudoyo.
Namun Gurian menekankan pentingnya menyediakan program yang
seimbang untuk pengunjung. Misal, di beberapa lokasi di mana pengunjung bebas
untuk melihat-lihat dan mendapatkan bantuan jika dibutuhkan (Level 1); beberapa
lokasi di mana mereka akan menaruh fokus pada objek koleksi spesifik (Level 2);
dan beberapa di mana pengunjung akan mendapatkan program tambahan khusus (Level
3).
Untuk keperluan itu edukator harus memberikan pelatihan pada
interpreter. Gurian sendiri, berkaca pada pengalamannya di Boston Children’s Museum
memberi satu istilah “orchestration”.
Istilah itu mengacu pada kemampuan interpreter untuk mengubah level dan
bagaimana dalam rangka mencapai keseimbangan program dalam satu waktu. Pyuh,
kebayang sih ini rumitnya seperti apa.
Ah, tapi saya jadi mendapat pencerahan untuk pelayanan di
dalam museum.
Teknik pameran yang
efektif
Terkait teknik pameran yang paling efektif untuk edukasi
publik, Gurian menjelaskan panjang lebar. Agar rumit sebenarnya bagi saya untuk
memahaminya. Tapi intinya, pameran biasanya dibuat sesuai target audiens.
Namun, tidak menutup kemungkinan museum mengakomodir beberapa target.
Dengan
sederhana Gurian menjelaskan, “semua teknik punya tempat mereka sendiri”.
Gurian sangat detail ketika
memberikan pengarahan pada desainer dan pengembang pameran. Mana kah tombol
tekan yang efektif, bagaimana proses labeling diselesaikan, apa saja yang
dimasukkan dalam elemen “hands-on”, bagaimana sumber material tambahan
disajikan?
Setelah mengunjungi Museum
Dharma Wiratama, saya jadi bertanya-tanya, apakah orang yang bertanggung jawab
terhadap tata pamer mempunyai pemikiran yang sama dengan Gurian?
Karena Gurian berasal dari
latar belakang museum anak, maka ia sangat memperhatikan tingkat kesulitan dari
tata pamernya. Gurian cenderung memikirkan kebutuhan berbagai level. Dari pengunjung
level pemula hingga level mahir.
Kita toh tak bisa menampik
bahwa pengunjung museum itu datang dengan isi kepala yang beragam. Ada yang
sudah punya pengetahun tentang koleksi yang dipamerkan. Ada pula yang sedikit
tahu. Namun, banyak pula yang datang dengan kepala kosong. Untuk itulah museum
harus hadir secara inklusif. Apalagi melibatkan pengunjung anak. Setidaknya hal
dasar berupa label harus diperhatikan dengan cermat. Namun, meski inklusif di
sisi lain tak bikin bosan orang-orang yang sudah punya pengetahun. Hehehe, menjebak
banget sih jika ngobrolin tata pamer ini.
Menariknya, sebelum membuat
pameran di Boston Children’s Museum, Gurian dan rekan-rekannya melakukan uji
coba dan revisi terhadap ide-ide individu. Apakah itu akan berhasil, atau
justru gagal? Pendekatan ini baginya justru meningkatkan rasa optimis pada
stafnya. Bahwa percobaan yang gagal bisa mengantarkan pada kesuksesan (Mario Teguh mode on).
Kembali pada pertanyaan di
atas. Gurian menjawab bahwa saat itu ia sedang tergila-gila dengan teknik “hands-on”
yang melibatkan pengunjung. Coba kita ingat kembali bahwa tulisan ini awalnya
dibuat pada 1988. Kebayang kan 1988 seorang Gurian sudah tergila-gila dengan aktivitas
“hands-on”. Saya lantas teringat dengan tata pamer di Museum Filateli, Singapura.
Bagi saya, Museum Filateli
jadi contoh yang baik untuk menurunkan ide Gurian ini. Ada banyak display di
mana kita bisa membuka laci atau rak kecil untuk menemukan pertanyaan dan
menebak jawaban berdasarkan perangko. Tak hanya itu, museum itu dilengkapi
dengan fasilitas interaktif yang bejibun jumlahnya. Rasanya saya ingin menginap
di sana agar bisa puas mendalami satu per satu fasilitas interaktif yang
disajikan.
Nah, begitu hasil pembacaan
ulang saya terhadap tulisan Gurian. Sepertinya harus sering-sering baca hal-hal
terkait museum –lagi-. Agar tak ketinggalan informasi.
#KontendiSekitarmu #Hari16
Comments