Hidup Harus Rukun


Seekor bangkai tikus tergeletak di depan pagar tetangga. Nahasnya, bangkai itu berada di perbatasan pagar antara rumah kami dengan tetangga. Kemarin, saya melihat bangkai itu masih berada di teritori tetangga. Pagi ini, posisinya sudah bergeser ke depan rumah kami.

"Ih, ada tikus mati," ujar bocah-bocah anak tetangga sore kemarin. Sudah pasti mereka membicarakan tikus mati kena racun atau sakit tua yang terbujur kaku di depan rumah mereka. Saya tak melihat orang dewasa di rumah itu tergerak untuk mengenyahkan si bangkai dari halaman mereka. Buktinya pagi ini posisi si bangkai bergeser. Tak mungkin ia pindah atas kehendak sendiri. Jiwa sudah terpisah raga. Tak ada kemampuan di sana, selain kehendak manusia -tetangga-.

Bau busuk bangkai tikus itu nyaris masuk ke rumah kami. Dari garasi saja, yang biasanya dilewati oleh bau busuk ayam, baunya sudah mulai tercium. Iya, tetangga kami punya usaha potong ayam :D

Wah, si bangkai bisa terlindas kendaraan jika tetap dibiarkan dalam posisi yang sekarang. Jika kejadian, tentu saja apes bagi kami akan bertambah. Sudah baunya lari ke rumah, akan lebih repot lagi membereskan bangkai yang tercerai berai.

Maka, dengan segenap kejengkelan dan ingatan akan karma, saya menyerok si bangkai lalu memasukkannya ke dalam kresek. Saya pakai kresek bekas yang selalu mampir dari jalanan di depan rumah. Setelah itu saya mampir ke TPS terdekat untuk membuang si bangkai. Ada sedikit rasa bersalah karena para pekerja sampah pasti akan mencium tambahan bau tak sedap di tempat kerjanya. Tapi, saya tak punya pilihan lain. Rumah yang kami sewa tak punya tanah segar, semua sudah ditutup paving blok.

Kejadian pagi ini menjadi bahan refleksi hari ini. Betapa mudah orang lain melempar bangkai, sampah, hal-hal yang menjijikkan lainnya, dari rumah mereka. Betapa sebuah rumah yang dihuni oleh para lelaki dengan patriarki tingkat dewa begitu malas menyingkirkan bangkai yang -kebetulan- tergeletak di depan halaman mereka. Lebih mudah 'menyundul' dan memberikan kotoran pada tetangga. Yang penting rumah tetap bersih, asri, dan nyaman dipandang serta dihirup.

Ketika kita bicara sistem sosial, apakah sistem seperti ini yang kita harapkan? Yang penting rumahku bersih, tak peduli jika harus membuat rumah orang lain kotor. Yang utama bisnisku berjalan lancar, tak urus apakah itu berdampak jelek pada lingkungan sekitar. Oh, memang benar kata adik saya. Bahwa sudah waktunya dunia berakhir. "Wes wayahe." Jika melihat perilaku orang-orang di sekitar, di jalan, di gedung wakil rakyat, di media sosial, rasanya memang lebih baik cepat berakhir saja.

#KontendiSekitarmu #Hari6

Comments

Popular Posts