Lampu-Lampu di Alun-Alun Kidul
Sejak kemarin, saya menambahkan menu pada lari pagi. Terinspirasi dari warga Twitter yang ramai dengan #KontenDiSekitarMu, saya pun tergerak. Ah, jadi ingin ikut meramaikan tagar meskipun diunggah di blog. Lumayan untuk melatih pikiran dan mata agar awas melihat hal menarik dan unik.
Pagi ini saya memilih topik "lampu". Dari kemarin pagi mata saya tertumbuk pada lampu-lampu di sisi utara Alun-Alun Kidul yang masih menyala. Terlihat cantik dengan latar langit biru. Nah, baru sekarang bisa membidik beberapa lampu yang memikat mata.
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman berkomentar bahwa Jogja ini cenderung temaram kala malam. Saya tak begitu memperhatikan karena jarang keluar malam. Tapi kemarin sempat melewati Alun-Alun Kidul dan memang banyak lampu jalan yang mati, terutama di sisi selatan. Pendapat teman tadi ada benarnya, batin saya.
Saya kemudian berselancar untuk cari tahu seberapa penting pencahayaan sebuah kota saat malam hari. Beberapa artikel yang saya baca mengarahkan pada polusi cahaya. Misalnya, tulisan "Hilangnya Langit Malam di Balik Cahaya Lampu Kota" yang menyoroti tentang dampak polusi cahaya bagi hewan dan manusia. Karena mereka berangkat dari latar astronomi tentu saja hingar bingar cahaya menjadi kendala ketika mengamati langit di malam hari.
Sementara itu, dalam artikel "Polusi Cahaya: Ketika Bumi Makin Benderang di Malam Hari", Christopher Kyba dari GFZ German Research Center for Geosciences menyarankan penggunaan lampu bercahaya kuning ketimbang LED. Nah, ini pengetahuan baru bagi saya. Cahaya putih dari LED ternyata punya dampak yang tidak bagus untuk kehidupan. Meskipun kalau jalan kaki sangat terbantu dengan cahaya lampu jalan yang terang, namun kehadirannya juga jadi penyumbang degradasi kehidupan yang lain.
Saya pun teringat perjalanan di bawah langit bertabur bintang di Lambanapu, Sumba Timur. Saat itu kami mengunjungi acara mete (orang meninggal). Di Lambanapu, sekitar 15 menit dari Waingapu (dengan kendaraan bermotor), lampu jalan adalah keajaiban. Jalan biasanya mendapatkan secercah cahaya dari rumah-rumah warga yang berada di tepinya. Selebihnya, bisa dipastikan gelap gulita.
Namun, itu pengalaman menakjubkan sekaligus membahagiakan. Padahal tak ada lampu penerangan jalan. Apakah karena kami melakukannya bersama-sama? Jika sendiri, mungkin saya pun tak berani. Sebuah alasan yang muncul ketika harus jalan kaki di luar ruang dengan cahaya yang minim cenderung gelap.
Jadi, sekarang saya jadi tahu bahwa lampu temaram jauh lebih baik buat lingkungan (manusia, hewan, dan tumbuhan). Meskipun kadang bikin perasaan tak aman, namun lebih baik jika kota-kota mengganti penerangan jalannya dengan lampu bercahaya kuning.
Tentu saja dengan penggunaan seefektif mungkin karena tetap ada energi yang dipakai di sana. Saya pun jadi tak berminat dengan festival-festival lampu. Mending beraktivitas di rumah ketimbang terpapar polusi yang ternyata berbahaya.
#KontenDiSekitarMu #Hari1



Comments