Mengoceh di Museum

Saya tak ingat persis kapan pertama kali mengunjungi Museum UGM. Mungkin saat museum baru dibuka. Bisa jadi enam atau tujuh tahun yang lalu. Kesan yang saya ingat dari kunjungan itu di masa kini hanya "Barrack Obama". Saya tidak bercanda. Setelah melewati panil-panil berisi ratusan kata, di akhir pameran kita akan memasuki ruang Barrack Obama. Mantan presiden AS itu katanya saat kecil pernah singgah ke rumah yang sekarang jadi bangunan Museum UGM.

Kini, 2019, saya kembali menginjakkan kaki di Museum UGM. Berita tentang revilitalisasi museum ini sudah saya dengar dari seorang junior tahun lalu. Berarti saya bisa menikmati tata pamer yang baru pada kunjungan kali ini.

Saya sengaja datang lebih awal dari waktu pertemuan yang ditentukan. Oh ya, kunjungan saya ke Museum UGM dilatari oleh undangan FGD pihak museum. Mengingat kunjungan saya sudah kadaluwarsa, maka saya ingin melihat ruang pamer baru dahulu sebelum FGD dimulai. Ya, saya tidak ingin datang dengan pikiran kosong. Terlebih juga, saya tidak ingin mengecewakan pihak yang sudah mengundang :D

Tapi ternyata saat saya tiba dua jam sebelum acara, museum tutup. Apakah mungkin karena ini Jumat ya? Mungkin juga museum UGM tidak punya staf perempuan hingga museum harus ditutup untuk sementara waktu.

Ternyata informasi mengenai tutupnya museum itu berlaku untuk seterusnya. Mas Drajat, edukator Museum UGM, menjelaskan pada saya bahwa museum akan mengalami revitalisasi tahap 2. WOW! Baru selesai revitalisasi langsung disambut dengan revitalisasi lagi. Apa sebabnya ya?

Jawabannya saya temukan setelah saya berkeliling museum, dari gedung lama ke gedung baru. Wajar saya museum ini memasuki revitalisasi tahap 2. Sumpah, kondisinya jauh lebih mengenaskan dibanding dengan kondisi sebelum revitalisasi. Sedih :(

Meskipun saat ini museum dibanjiri dengan layar-layar LED beserta dengan teknologi yang terpasang di dalamnya. Namun, tampilan itu 'kosong' belaka. Banyak alat yang tak jelas hendak menampilkan atau menyuarakan apa. Beberapa di antaranya bahkan sudah tidak bisa beroperasi.

Informasi yang dicetak dalam label serupa poster dipajang di display-display yang banyak dijumpai di toko HP. Coba ketik kata kunci "rak toko HP". Maka seperti itulah display yang ada di Museum UGM sekarang. Bedanya cuma di warna. Sebagian besar rak di sini menggunakan warna hitam.

Pemilihan font juga tak asyik. Penyajian informasi dalam bentuk label seperti tak mengenal aturan paragraf. Belum lagi resolusi foto yang kecil sehingga kita bisa lihat piksel gambarnya. Oh, jangan lewatkan pemandangan berupa terkelupasnya beberapa poster atau latar dinding yang dicetak ala warung burjo. 

Saya mengoceh sepanjang berkeliling museum. Display lemari kaca kembali hadir. Bentuknya yang gigantik jelas tidak merespon kondisi ruang yang sempit. Koleksi-koleksi 'dipenjara' dalam kotak kaca itu. Bahkan, koleksi yang sangat bisa dibuat interaktif seperti herbal kering, disimpan dalam lemari kaca ukuran jumbo itu. Untuk apa?

Kunjungan kali ini seperti mimpi buruk. Untungnya saya menghadiri forum dengan orang-orang berpikiran terbuka. Orang-orang hebat yang diminta museum untuk memberikan masukan pada mereka. Museum sebenarnya cukup terbuka untuk masukan ini. Bisa jadi agar revitalisasi tahap 2 tidak mengalami nasib buruk yang serupa. 

Ah, saya terlalu banyak nyinyir. Lusa atau kapan saya akan buat ringkasan hasil FGDnya :D

#KontendiSekitarmu #Hari18

Comments

Popular Posts