Religiositas Lewat Tampilan
Pagi ini saya dan adik sarapan di warung soto di daerah Jogokaryan. Warung soto ayam kampung dengan harga yang teramat murah. Tempat yang selalu masuk daftar teratas tujuan saya jika ingin sarapan berkuah.
Akan tetapi, pagi ini suasana lebih ramai dibanding hari biasa. Mungkin saja karena ini Sabtu. Tapi yang makan kok kebanyakan seperti peserta pengajian. Rasa penasaran saya akan terjawab secepatnya.
Adik memesan soto untuk kami. Sementara saya mencari meja kosong. Kebetulan hanya ada satu meja panjang dengan dua bangku tersisa. Saya pun mengambil tempat.
Saya sudah tahu apa yang akan dia pesan. Apalagi kalau bukan soto tanpa penyedap rasa. Namun, yang datang ialah dua mangkuk soto kulit. "Lho, tadi pesannya apa?" saya memastikan ke adik. Tapi adik sangat yakin dia memesan soto ayam biasa. Lha kok si mas soto dengan PD meletakkan dua mangkuk soto kulit tanpa sempat kami konfirmasi.
Karena kondisi warung yang teramat ramai, maka kami pun menyantap makanan yang ada di depan mata. Lagipula saya tak hendak muni-muni pagi itu. Ya sudahlah, nikmati saja.
Eh tapi kok, ini soto nasinya cuman beberapa butir ya. Biasanya warung ini royal dengan takaran nasi. Tapi kali ini, sudahlah kulit ayam tak akan saya sentuh, tak banyak pula butiran nasi yang saya dapatkan. Sial!
Karena tak banyak nasi yang diberikan untuk kami, maka adik mencoba untuk mengecek tempe goreng. Biasanya tempe goreng tepung itu jadi teman makan soto yang nikmat. Sementara saya memilih sate ayam kampung. Semata-mata untuk mendapatkan daging ayam kampung yang tak saya temukan di soto pesanan.
Sebelumnya serombongan ibu berjilbab masuk ruangan tempat kami makan. Mereka memenuhi dua meja panjang di seberang kami. Tapi ada beberapa orang yang belum mendapatkan bangku. Nah, ada satu orang dari mereka yang sekonyong-konyong mengambil bangku adik. Saya pun hanya menatapnya saja (bayangkan kejadiannya dalam tempo lambat ya). Lalu dengan pelan saya bilang, "Masih ada yang pakai." Lalu dia meletakkan kembali bangku itu.
Tak lama kemudian adik kembali. Mungkin melihat muka sebal saya dia meminta maaf. Tapi dengan intonasi tinggi. Ya ampun, saya ga paham deh kejadian pagi ini. Kok ya sial sekali :(
Saya tak hendak menggeneralisasi. Pun saya tak ingin membawa label tertentu untuk kasus asal comot tadi pagi. Saya cuma mempertanyakan, sudah begitu sulit kah orang untuk mengucapkan kata "permisi" atau "maaf, apakah ini masih dipakai?" alih-alih langsung mengambil sesuatu.
Malamnya, saya berselancar di daratan Twitter. Sedang ada ricuh soal tidak diizinkannya kelompok yang menamakan diri Muslim United menggelar acara mereka di Masjid Gedhe Kauman. Lalu mereka pindah ke UAD namun pada akhirnya juga ditolak. Akhirnya mereka bisa menyelenggarakan acaranya di Masjid Jogokaryan.
Lalu saya mengingat kembali kejadian pagi ini. Saya yakin mereka itu pesera Muslim United. Karena pasti ada acara tertentu yang menyebabkan kawasan Jogokaryan ramai begitu. Apalagi dari dialeg mereka, kentara sekali bukan orang yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Betawi mungkin. Lalu, sisi gelap diri saya langsung komentar, "O pantes kelakuannya begitu."
#KontendiSekitarmu #Hari12
Comments