Sekelumit Tentang Label di Museum



Saya mengalami kebuntuan untuk mengakhiri satu sesi cerita di salah satu candi. Ada beberapa panil yang sudah saya cari referensi kisahnya, namun belum berujung pada hasil yang memuaskan.

Tadi pagi, sebelum ngantor saya kepikiran untuk bikin label yang interpretif. Kira-kira bisa ga ya saya menyajikan cerita dalam relief secara interpretif? Memang sih tantangannya besar karena panil-panil itu ialah tata pamer permanen yang sudah dibuat lebih dari seribu tahun yang lalu. Juga, yang sedang kami kerjakan ini bentuknya berupa buku panduan. Tapi, saya tetap masih penasaran apakah bisa mempraktikkan label interpretif pada panduan-panduan yang kami susun.

Lalu saya pun berselancar untuk menemukan referensi terkait hal tersebut. Bertemulah saya dengan Beverly Serrell lewat bukunya Exhibit Labels an Interpretive Approach. Bagai durian runtuh. Saya beruntung sekali bisa belajar dari bukunya.

Saya langsung meluncur ke bagian III subbab “Labels That Ask Questions”. Entah kenapa itu jadi hal yang paling menarik buat saya. Perkaranya mungkin selama ini kantor tempat saya bekerja sering menerapkan rupa-rupa pertanyaan dalam aktivitas permainan yang dirancang.

Saya paham pasti ada proses panjang di balik penciptaan sebuah label. Namun, tak menyangka jika prosesnya sedetail ini. Bahkan, untuk menciptakan sebuah pertanyaan terbaik itu caranya ialah dengan mengamati perilaku pengunjung. Pengunjung memberikan bocoran tentang apa yang mereka pikirkan saat melihat objek koleksi. Pertanyaan-pertanyaan spontan yang muncul saat itu yang jadi harta karun berharga bagi para pembuat label.

Serrell menyebut ada pertanyaan bagus dan juga ada pertanyaan jelek. Menurut dia kebanyakan pertanyaan-pertanyaan di label itu merupakan pertanyaan tiruan. Bukan pertanyaan sesungguhnya. Ia pun menegaskan bahwa pertanyaan tiruan itu tidak bagus dari sisi pedagogi. Wah, saya jadi mengingat kembali alat-alat permainan yang kami buat. Apakah kami masih banyak menggunakan pertanyaan-pertanyaan jelek di dalamnya? Apakah kami masih banyak memakai pertanyaan-pertanyaan yang “mekso”?

Apakah kamu pernah melihat ensiklopedia untuk anak? Pernah kah kamu menjumpai pertanyaan semacam, “Apakah kamu tahu”? Nah, begitu membaca bagian ini, ingatan saya terlempar pada rak besar di Gramedia. Di rak itu saya membolak-balik buku ensiklopedia anak bertema hewan. Persis, banyak sekali pertanyaan seperti itu.

Menurut Sherrell, meskipun tipe pertanyaan itu sangat populer. Namun, kita harus melupakannya. Sebabnya, pertanyaan itu kosong muatan untuk pembaca. Di sisi lain, sangat mudah bagi pembuat pertanyaan. Penyajian fakta menarik yang mengikuti pertanyaan itu menurut Sherrell justru mengalihkan ide besar dan perhatian pembaca. Selain itu juga punya potensi untuk menghina pembaca. Ya, mungkin sebagian besar pembaca akan jawab, “Mana gue tahu,” “Emang gue pikirin,” atau “Ga tahu lah, Njir.” Alih-alih memunculkan rasa penasaran, pertanyaan itu justru menyudutkan pembaca.

Pertanyaan “Mengapa” juga menjadi gangguan. Apalagi pertanyaan susah banget. Jawabannya hanya diketahui oleh para ahli. Walakin, Sherrell memberikan contoh tentang bagaimana menggunakan kata tanya “Mengapa” dengan tepat. Tentunya jika dalam konteks museum, pertanyaan “Mengapa” ini harus bersatu dengan konteks koleksinya. Misal, dalam diorama manusia purba. Jawaban dari pertanyaan “Mengapa” bisa dengan mudah didapatkan pengunjung ketika mengamati diorama itu. Artinya, pertanyaan “Mengapa” ini justru digunakan untuk membangun ketertarikan pengunjung untuk mengamati lebih detail. Hahaha, agak ketampar sih pas di bagian ini.

Sherrell membagi label ke dalam tiga tipe; 1. Flip label questions, 2. Open-ended questions, 3. Talkback questions.

Untuk flip label questions, tentu saja bagi saya Museum Filateli Singapura mempresentasikan hal ini dengan sangat baik. Hahaha. Meskipun saya salah menjawab pertanyaan, namun tidak menjadikan saya merasa bodoh. Justru membangkitkan rasa penasaran saya. Interpretasi yang berhasil! Kebayang sih, contoh yang diberikan Sherrell jika diterapkan di Museum Geologi Bandung atau Museum Karst atau Museum Gunung Merapi keren banget pastinya. Oh ya, bisa juga diterapkan di Museum UGM. Saya terpikir ada beberapa koleksi yang bisa menerapkan konsep flip label questions ini.

Saya juga sepakat pakai banget dengan pendapat Sherrell, “Finding a real thing is much more exciting than more text.” Hanya dengan pertanyaan, “Apakah yang ada di balik pintu?” sudah mampu membawa pengunjung ke “dunia” lain. Saya pun asyik membayangkan sajian koleksi Museum Biologi jika menggunakan teknik ini. Sherrell bilang, flip label ini sangat menggoda. Saya pun mengiyakan. Meski demikian, kita tetap perlu berhati-hati menggunakan teknik ini. Satu aturan yang harus dipegang. Jangan sampai membuat pengunjung merasa bodoh.

Nah, tipe kedua ialah open-ended questions atau pertanyaan terbuka. Jika biasanya sebuah pertanyaan punya jawaban baku. Maka kali ini pertanyaan dijawab oleh pembaca. Terserah saja hasilnya seperti apa. Karena tidak ada kebenaran mutlak. Semua sesuai dengan perspektif pembaca. Sherrell hanya mengingatkan bahwa tipe ini dapat menjebak. Itu terjadi jika pembaca kesulitan menemukan jawabannya dengan mudah.

Tipe ketiga ialah talkback questions. Mungkin ini semacam kesan & pesan pengunjung terhadap museum. Namun, pertanyaan diajukan lebih interaktif. Ketimbang pengunjung mengisi buku kesan dan pesan yang entah siapa juga yang akan membaca dan mengevaluasi. Lebih baik mengajukan pertanyaan reflektif yang dilengkapi dengan informasi dasar.

Pertanyaan dalam talkback questions  juga bisa berupa ajakan untuk berimajinasi. Misal terkait dengan salah satu objek koleksi atau tentang ruang-ruang pamer di museum.

Hmmmm, mungkin yang membuat ini berbeda ialah biasanya saya melihat pojok kesan dan pesan ini berisi tentang pertanyaan umum. Seperti, “Apa masukanmu untuk museum,” atau “Apa kesan yang kamu alami setelah berkunjung ke museum ini.” Semuanya general. Tidak spesifik. Padahal jawaban dari talkback questions ini dapat menjadi modal besar bagi pihak museum untuk diolah jadi satu hal di masa mendatang.

Kalimat penutup dari Sherrell harus selalu diingat. Bahwa pertanyaan yang bagus akan menghasilkan jawaban yang bagus pula.

Tulisan Sherrell jadi bekal amunisi saat berkunjung ke museum hari-hari mendatang. Saya jadi tahu apa yang harus dicermati. Jadi, nyinyirnya bisa pakai dasar :D

#KontendiSekitarmu #Hari30

Comments

Popular Posts