Tentang Enggano
Pertemuan itu terlambat sekitar 45 menit dari yang dijadwalkan. Mungkin karena mereka datang dari utara, jadi kondisi jalanan pastinya tak bersahabat sore itu. Tapi untungnya cerita yang dipaparkan menarik sekali. Jadi, kami tak sempat sebal.
Dua kawan baru itu mahasiswa Antropologi. Yang satu baru lulus. Sedangkan satunya sedang berjuang untuk lulus. Nah, sore itu kami mendengar dongeng dari kawan yang berjibaku dengan urusan skripsi ini.
Kawan itu melantunkan kisah-kisah dari Enggano. Sebuah pulau yang menurut beberapa tulisan yang saya baca tak pernah bersatu dengan Sumatra. Oleh sebab itu beberapa satwa di sana menurut penelitian LIPI tergolong endemik.
Soal keindahan alam, Enggano tak usah diragukan lagi. Kamu bisa berselancar untuk tahu seberapa bagus mood Tuhan ketika menciptakan Enggano. Ada hal lain yang jauh lebih menarik. Apalagi kalau bukan tentang orang-orang yang tinggal di atasnya.
Sebelum dengar cerita kawan itu, saya pikir orang-orang Enggano sama halnya dengan orang-orang di Pulau Siberut atau Nias di sisi utaranya. Tapi ternyata, jauh lebih pelik. Krisis identitas berkelindan dengan sejarah yang ditutup-tutupi. Apakah mereka termasuk suku purba? Tapi mereka bersikukuh menegaskan bahwa hanya mengenal dua agama. Semua agama wahyu, Islam dan Kristen.
Tentu saja berbeda jauh dengan orang-orang di Sumba yang masih punya kepercayaan terhadap Marapu. Sebuah tolok ukur, selain tinggalan arkeologi, untuk melihat purba atau tidaknya suatu komunitas. Kepercayaan terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya, bisa alam, atau nenek moyang.
Selain identitas, urusan pangan juga jadi hal menarik. Betapa revolusi hijau memang benar-benar meluluhlantakkan peradaban pangan suatu tempat di Nusantara ini. Dan mirisnya lagi hingga kini masih diteruskan.
Untuk isu pariwisata, sebaiknya tak perlu diperbincangkan panjang lebar di sini. Pastinya sudah bisa menebak arahnya akan ke mana? :D
#KontendiSekitarmu #Hari17
Dua kawan baru itu mahasiswa Antropologi. Yang satu baru lulus. Sedangkan satunya sedang berjuang untuk lulus. Nah, sore itu kami mendengar dongeng dari kawan yang berjibaku dengan urusan skripsi ini.
Kawan itu melantunkan kisah-kisah dari Enggano. Sebuah pulau yang menurut beberapa tulisan yang saya baca tak pernah bersatu dengan Sumatra. Oleh sebab itu beberapa satwa di sana menurut penelitian LIPI tergolong endemik.
Soal keindahan alam, Enggano tak usah diragukan lagi. Kamu bisa berselancar untuk tahu seberapa bagus mood Tuhan ketika menciptakan Enggano. Ada hal lain yang jauh lebih menarik. Apalagi kalau bukan tentang orang-orang yang tinggal di atasnya.
Sebelum dengar cerita kawan itu, saya pikir orang-orang Enggano sama halnya dengan orang-orang di Pulau Siberut atau Nias di sisi utaranya. Tapi ternyata, jauh lebih pelik. Krisis identitas berkelindan dengan sejarah yang ditutup-tutupi. Apakah mereka termasuk suku purba? Tapi mereka bersikukuh menegaskan bahwa hanya mengenal dua agama. Semua agama wahyu, Islam dan Kristen.
Tentu saja berbeda jauh dengan orang-orang di Sumba yang masih punya kepercayaan terhadap Marapu. Sebuah tolok ukur, selain tinggalan arkeologi, untuk melihat purba atau tidaknya suatu komunitas. Kepercayaan terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya, bisa alam, atau nenek moyang.
Selain identitas, urusan pangan juga jadi hal menarik. Betapa revolusi hijau memang benar-benar meluluhlantakkan peradaban pangan suatu tempat di Nusantara ini. Dan mirisnya lagi hingga kini masih diteruskan.
Untuk isu pariwisata, sebaiknya tak perlu diperbincangkan panjang lebar di sini. Pastinya sudah bisa menebak arahnya akan ke mana? :D
#KontendiSekitarmu #Hari17
Comments