The Wailing: Bukan Sebuah Ulasan
Promo Perempuan Tanah
Jahanam menggema di media sosial. Cuplikan filmnya memang menggiurkan.
Entahlah, saya ini seakan berubah haluan. Dulunya tidak terlalu suka nonton
film horor Indonesia apalagi di bioskop. Bahkan Pengabdi Setan saja saya tak
saya nikmati di bioskop. Tapi setelah beberapa kali baca ulasan tentang film horor
dengan teknik menonton ala-ala pengulas film, maka saya jadi lebih berani untuk
nonton horor. Kali ini semua film horor.
Yang ada, sekarang kalau nonton film horor apalagi
Indonesia, saya pasti mengomentari sisi teknis filmnya. Sejujurnya, bagi saya
yang penakut ini, melihat dari perspektif pengulas film jauh lebih menenangkan.
Nah, dalam rangka persiapan untuk menonton Perempuan Tanah Jahanam, saya pun
mencoba menonton The Wailing. Kenapa
saya tak pilih Midsommar? Karena
dalam film terbaru Joko Anwar itu, ia berkolaborasi dengan Ivanhoe Pictures yang juga memproduseri The Wailing. Ya mungkin bisa jadi
referensi untuk melihat alur atau teknik yang digunakan. Hahaha, tentu saja
saya tak berniat jadi pengulas film beneran ya.
Ulasan tentang The
Wailing tersebar di jagat maya. Tak perlu saya ceritakan lebih detail di
sini. Saya hanya bilang bahwa nonton The
Wailing itu ga bikin ngantuk. Di awal film saya banyak mengumpat. Saya
geram karena polisi kok bisa sebego itu. Di tengah film suasana menegang. Di
akhir film seribu kebingungan menyisa di kepala saya. The Wailing itu film horor yang melelahkan. Plot twistnya ga main-main. Keren! Tapi di akhir, saya sebagai
penonton dibiarkan untuk membuat cerita sendiri. Intinya sih ga kecewa dengan
film ini.
The Wailing juga
memberikan saya gambaran mengenai kehidupan di kota kecil di Korea Selatan.
Selama ini lihat film Korea latar tempatnya kebanyakan di kota atau di pulau.
Nah, dalam The Wailing kita diajak
untuk masuk ke sebuah kota kecil yang dilingkupi perbukitan. Entah itu disebut
kota atau desa. Karena masih ada rumah sakit dan kantor polisi sih sebagai
parameternya.
Selain itu saya belajar banyak tentang arsitektur rumah
tradisional Korea Selatan. Sekilas mengingatkan dengan rumah di Plaga, Bali, tempat
saya dan dua orang teman dekat menginap dua tahun yang lalu. Rumah dipagari
seperti rumah-rumah dengan pengaruh arsitektur Tionghoa di Lasem. Ngiler kali
kalau lihat pintu gerbang yang terbuat dari kayu itu. Di dalamnya terdapat unit-unit
terpisah, mirip di Plaga. Jadi posisi kamar akan terpisah bangunan dengan ruang
makan. Begitu pula kamar orang tua dengan kamar anak.
Mereka juga punya kebiasaan untuk makan pagi, sebelum
beraktivitas. Makan juga dilakukan bersama keluarga. Tidak sendiri-sendiri.
Selain itu, masih ada yang bikin fermentasi dalam gentong-gentong.
Sistem kepercayaannya juga menarik dilihat. Dukun masih
dianggap ‘sesuatu’ banget. Mereka punya ritual yang cukup ‘meriah’ untuk
mengusir setan. Kebayang kalau di Indonesia, ritual seperti itu dilakukan dalam
senyap dan bukan dalam tabuhan genderang. Eh, tapi saya juga kurang tahu banyak
soal ini.
Uniknya, peranan gereja sebagai sebuah institusi keagamaan,
ditunjukkan seperti tak berguna. Jadi ingat Pengabdi
Setan ketika Joko Anwar membolak-balikkan logika agama. Institusi resmi itu
malah menolak membantu urusan ‘ketemplekan’ Jong Gu (Kwak Do Won).
The Wailing bagi saya justru jadi pengantar yang baik untuk melihat sisi lain Korea
Selatan. Ya, rata-rata film Korea Selatan berhasil menjadi media promosi yang
baik bagi kebudayaan dan masyarakatnya sih. Nah, saya jadi pasang harapan bahwa
Perempuan Tanah Jahanam bisa menunjukkan
sisi lain dari budaya Indonesia. Semoga! Tak sabar menunggu minggu depan.
#KontendiSekitarmu #Hari13
Comments