Kekasih Musim Gugur & Pikiran yang Terganggu


“Akan ada saatnya kamu merasa telah menyia-nyiakan hidupmu, karena telah susah payah memperjuangkan segala sesuatu atas nama orang lain tapi kamu tetap saja di situ-situ juga, tak meraih atau memperbaiki apa-apa. Pejabat masih korup, orang semakin konservatif, kamu jalan di tempat dan orang lain tetap jadi korban. Tiba-tiba kamu sadar sepupumu yang jauh lebih muda dan jauh geblek punya penghasilan lebih besar daripada kamu.”

Itu salah satu cuplikan percakapan antara Dara dan Amalia dalam adegan “pikiran” Dara di novel Laksmi Pamuntjak, Kekasih Musim Gugur. Hari ini saya resmi menamatkannya setelah dibeli sekitar 1 bulan yang lalu. Cukup lama karena memang sengaja dihemat. Bukan karena tidak suka namun karena menikmati. Saya ingat seorang teman yang punya kebiasaan “mengeman-eman” bacaan jika dia betul-betul menggemarinya.

Kekasih Musim Gugur agaknya kelanjutan dari Amba. Jika Amba banyak berfokus pada 65, maka Kekasih Musim Gugur menampilkan banyak fenomena sosial terkini. Mulai dari kebangkitan ormas yang tampak membuat negara seakan tunduk hingga menguatnya gerakan konservatif agama. Tarikan pada peristiwa 65 lebih subtil meskipun masih menjadi benang merah segala peristiwa yang terjadi di dalam novel.

Saya lupa bagaimana Amba disusun. Apakah juga menggunakan dua perspektif dari tokoh utama seperti Siri dan Dara dalam Kekasih Musim Gugur? Bagi saya pendekatan itu cukup menarik. Amba meskipun tak lagi mendominasi alur cerita namun tetap menjadi tokoh sentral karena dari dialah semua bermula. Sementara Siri muncul dengan percaya diri dan jujur saja banyak membuat saya mengernyitkan dahi. Terutama ketika dia sudah mengangkat istilah-istilah atau nama-nama tokoh seni.

Novel ini bagi saya awalnya agak sulit saya cerna. Namun, setelah beberapa bab saya mulai menguasai dan menikmati membacanya. Ada banyak latar yang menjadi cermin kondisi di masa kini. Mungkin di situ Kekasih Musim Gugur berhasil menahan saya selama sebulan. Isinya masih relevan dengan saya. Di situ pikiran saya banyak sepakat dengan opini atau pemikiran dari para tokohnya.

Mengenai kutipan percakapan di awal. Itu jadi percakapan paling menarik bagi saya. Mungkin karena relevan dengan kondisi saya. Saat membacanya rasanya langsung jleb. Membuat saya berpikir kembali tentang apa yang saya kerjakan saat ini. Tentang betapa sepuluh tahun terakhir saya –merasa- berjuang untuk apa yang saya yakini. Dan saya –merasa- tidak melenceng dari apa yang saya yakini. Namun, ada kenyataan pahit juga di depan mata. Bahwa saya –rasanya- masih jalan di tempat, sementara “yang lain” melesat hingga tak dapat saya lihat.

Apakah lantas hal itu membuat saya sedih? Hmmm, mungkin hanya sesaat ya. Karena kalimat sebelumnya, soal “pejabat masih korup” atau “orang semakin konservatif” jauh lebih bikin puyeng. Iya ya. Kenapa begitu ya? Semakin banyak orang yang memperjuangkan keadilan tapi kok rasanya yang jahat tumbuh kian subur.

Selain percakapan-percakapan yang bikin saya mikir, Kekasih Musim Gugur juga menggugah saya. Laksmi Pamuntjak sangat bagus menceritakan latar tempat, terutama di Jerman. Ia mampu membuat tempat-tempat di Jerman begitu hidup. 

Tak hanya nama tempat, melainkan juga kisah pahit di baliknya. Sesuatu yang tampaknya jarang saya temukan dalam novel-novel Indonesia lainnya. Bagaimana tempat selalu punya relasi dengan ingatan akan kota atau ruang tempat kita beraktivitas sehari-hari. Saya jadi terdorong untuk mendeskripsikan lebih banyak lagi tempat-tempat di kota yang saya tinggali saat ini. Selain merekam memori, saya menghidu aroma romantis ketika membayangkan dapat menarasikan sesuatu dengan tempat-tempat yang nyata. Sekali-kali kayaknya saya mau romantis!

Comments

Popular Posts