Orang-Orang Oetimu: Bukan Resensi

 


"Maka dari itu, Bapak dan Ibu sekalian, jangan biarkan kita mewarisi kebiasaan yang salah dan keliru itu. Mari, mari kita mulai makan nasi. Kita harus makan nasi, agar kita dan anak-anak kita menjadi manusia yang lebih berbudaya, lebih beradab, dan senantiasa beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai sila pertama Pancasila".

Percakapan itu salah satu favorit saya dari novel Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi. Sudah lama saya mendengar novel ini disebut. Sebagai pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 saya rasa Felix memang layak mendapatkannya.

Kalimat-kalimat sarkas bertebaran di dalam novel setebal 220 halaman ini. Felix menonjok banyak pihak. Mulai dari militer, gereja, partai politik, hingga institusi pendidikan. Masyarakat umum juga sesekali disentil, lebih karena perilaku mereka merupakan akibat dari bentukan sistem yang berlaku.

Saya teringat percakapan dengan seorang teman ketika tebersit untuk mengajak membuat klub baca di tengah pandemi yang tak kunjung usai ini. "Sayangnya novel yang bagus-bagus itu di dalamnya mengandung adegan yang belum bisa dikonsumsi anak di bawah umur," ungkapnya. 

Setelah menamatkan Orang-Orang Oetimu ini saya jadi paham. Padahal novel-novel bagus sebelumnya yang pernah saya baca juga pasti mengandung adegan orang dewasa. Tapi kok ya baru sadar sekarang.

Sebabnya, Felix mampu memotret kondisi politik Oetimu (daerah pelosok di NTT) era 70-90an dengan sangat baik. Bagaimana kejahatan terhadap HAM yang dilakukan oknum tentara negeri di bawah angin tak pernah diusut hingga kini. Juga gambaran kengerian hidup di bawah rezim Soeharto begitu hidup. Yang spesial ialah ini gambaran dari Timor, negeri jauh. Saya malu karena selama ini hanya membayangkan kengerian di wilayah Jawa dan Sumatra saja. Ternyata sama saja kondisinya, sama-sama "hamsyong". Dan seperti ketika Soeharto membersihkan PKI dan simpatisannya, institusi keagamaan pun juga turut membantu. Mungkin biar tak terkena masalah.

Aduh, saya sungguh suka bagaimana orang-orang baik di dalam novel ini berujung pada kematian. Misalnya saja Maria, si tukang protes yang mulutnya kelu jika tak memaki. Saya rasa dia orang baik karena mempertahankan pendapat yang menurutnya benar -dan emang benar sih-. Tapi ujung-ujungnya kematian jua yang menjemputnya. Tak ada akhir bahagia. Begitu pula Sersan Ipi. Meskipun jadi polisi karena jasa kakek angkatnya. Dan juga ia sering memukuli orang-orang berdasarkan suasana hatinya. Namun, Sersan Ipi sebagai polisi tak pernah terima suap. Toh, hidup Sersan Ipi berakhir tragis.

Lantas bagaimana dengan Romo Yosef yang suci di balik jubah kebesarannya? Padahal ia menggusur kaum miskin dari akses pendidikan yang jadi satu-satunya cara untuk menunda pelacuran dini. Meskipun ia melahirkan sekolah dengan standar internasional, namun kemunafikannya sungguh membuat saya merinding. Jijik. Tapi, Romo Yosef mungkin disayang Tuhan dengan diselamatkan dari noda duniawi. Romo Yosef melenggang aman hingga akhir cerita.

Mengapa saya suka akhir novel ini? Karena bagi saya Felix menggambarkan realita. Coba, ada berapa banyak orang baik di dunia nyata yang tergilas mesin kekuasaan? Tak berdaya. Nyawanya tak lebih dari sekedar angka statistik yang diperebutkan tiap lima tahun sekali. 

Nah, sayang sekali kan bahwa kenyataannya novel ini punya tanda 19+ di sampul belakang. Padahal muatannya ideal untuk mengganggu pikiran Gen Z agar tak disesatkan dengan ajaran sejarah di sekolah.


Comments

Popular Posts